Mohon tunggu...
Salman Alfarizhi
Salman Alfarizhi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa jurusan Informatika yang gemar berbincang masalah teknologi,seni dan transformasi digital.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Saat AI Menyelesaikan Masalah,Apakah Manusia Masih Perlu Berpikir?

11 Juli 2025   02:27 Diperbarui: 11 Juli 2025   02:27 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A dramatic chess match between a human and a humanoid robot(Sumber: AI-generated via ImageFx oleh penulis)

Kemajuan yang Justru Menumpulkan Daya Pikir

Zaman sekarang, segalanya terasa makin mudah. Butuh jawaban? Tinggal tanya ke mesin pencari atau AI. Mau bikin konten, desain, atau bahkan naskah akademis? Semua bisa jadi dalam hitungan detik. Tapi di balik kemudahan itu, ada satu pertanyaan yang mengganjal: kalau semua bisa diselesaikan oleh teknologi, khususnya AI, lantas kapan manusia benar-benar berpikir?

Kita sudah terbiasa dengan solusi instan. Tidak heran kalau budaya "yang penting cepat jadi" jadi makin kuat. Orang lebih fokus pada hasil, bukan proses. Padahal dulu, mencari jawaban itu butuh waktu membaca, berdiskusi, bahkan merenung. Sekarang? Semua tersedia dalam bentuk template atau ringkasan otomatis. Tanpa sadar, kita mulai kehilangan kebiasaan untuk bertanya "kenapa?" dan hanya terpaku pada "bagaimana caranya cepat selesai?"

Ketika AI Jadi Pemikir Utama

AI memang keren. Dalam banyak hal, ia jauh lebih cepat, lebih teliti, dan lebih efisien dibandingkan manusia. Tapi ketika kita mulai menyerahkan terlalu banyak proses berpikir ke mesin, kita seperti mundur selangkah dari esensi kita sebagai manusia. Bukan lagi kita yang mengendalikan alat, tapi alat yang secara halus mulai menggantikan posisi kita.

AI tidak salah. Ia hanyalah alat. Tapi kalau kita terbiasa hanya memakai dan mengandalkan hasilnya tanpa benar-benar mencoba memahami, maka bisa jadi kita sendiri yang membuat otak kita "berkarat." Bayangkan jika anak-anak di masa depan tidak lagi belajar logika atau menulis dengan tangan karena semua bisa dikerjakan otomatis. Apa jadinya generasi itu nanti?

Masalah Lama Selesai, Masalah Baru Tumbuh

Banyak yang mengira, ketika AI hadir, maka segala masalah akan selesai. Tapi realitanya, masalah baru justru bermunculan. Misalnya, bagaimana kita memastikan AI tidak bias? Siapa yang bertanggung jawab kalau keputusan AI merugikan seseorang? Apakah adil jika hanya segelintir orang yang punya akses ke teknologi ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak bisa dijawab oleh AI. Mesin bisa memberi prediksi, rekomendasi, atau analisis data, tapi urusan nilai, etika, dan keputusan moral tetap milik manusia. Maka, justru sekaranglah waktunya kita berpikir lebih dalam, bukan malah berhenti berpikir. Hanya saja, jenis pikirannya mungkin bukan lagi soal teknis, tapi soal arah dan makna.

Kita Masih Diperlukan, Tapi Perannya Berubah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun