Mohon tunggu...
Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Dan sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penikmat Kajian keislaman dan filsafat.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Becoming

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pentingnya Belajar Akhlaq Menurut Al-Ghazali

16 September 2021   21:29 Diperbarui: 16 September 2021   21:33 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Corak Etika Al-Ghazali

Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan bahwa amal itu baik kalau menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ketujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan. 

Masalah kebahagiaan menurut Al-Ghazali- kebahagiaan ukhrawi (al-saadah al-ukhrawiyah), bisa diperoleh jika persiapan dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengan membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu bagi kebahagiaan akhiratnya. 

Karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat pokok memperoleh kebahagiaan ukhrawi. Barang siapa yang gagal mendapatkannya, maka ia adalah lebih hina dari hayawan yang rendah, karena hewan adalah makhluk yang akan musnah, sedangkan orang-orang yang gagal tersebut akan menderita dan sengsara. Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan yang tanpa duka cita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan (ghina)  yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna. 

Tentu saja, kebahagiaan yang dimaksud sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits, adalah surga. Sedangkan tempat kesengsaraan adalah neraka. Nasib setiap orang akan ditentukan pada hari kebangkitan. Pada hari kebangkitan, jiwa itu dikembalikan lagi ke jasad, orang yang bangkit itu demikian akan mempunyai badan dan jiwa, dan akan hidup abadi dalam bentuk yang seperti semula.

Kebahagiaan disurga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesenangan inderawi mengenai makanan dan minuman, pergaulan dengan bidadari, pakaian indah, istanah dan seterusnya. Tingkat ini pantas bagi orang yang baik kelas rendah yang disebut sebagai orang shaleh (abrar al-shalihun), yang takwa kepada Allah (muttaqun) dan orang-orang benar (ashhab al-yamin). Kesenangan inderawi akan memuaskan sekali bagi mereka, karena untuk kenikmatan seperti itulah mereka membekali diri dalam hidup ini. 

Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah berada dekat Allah, dan senantiasa menatap wajah yang sang Maha Agung. Kenikmatan (ruya) dan pertemuan (al-liqa) dengan dia merupakan kebahagiaan tertinggi- puncak kesejahteraan dan kebahagiaan Allah yang terbaik. Tidak ada surga yang lebih nikmat dari pada memandang keindahan Ilahi. Kesenangan inderawi seumpama, adalah kesukaan yang dinikmati hewan makan rumput di padang. Sedangkan kesenangan yang disebut terakhir, adalah kesenangan spiritual yang disebut dalam Hadits Bukhari, No: 4407: 

Artinya:Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Nashr. Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Al-A'masy. Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi SAW, Allah SWT berfirman: "Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang shalih sesuatu yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas dibenak manusia. "Sebagai simpanan, biarkan apa yang diperlihatkan Allah pada kalian." Lalu beliau membaca ayat: "Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan (As-Sajdah:17). Abu Mu'awiyah berkata: dari Al-A'masy dari Abu Shalih, Abu Hurairah membaca dengan lafazh 'Qurraat A'yun.

Kebahagian tertinggi bagi manusia adalah mencapai apa yang diperoleh sama seperti Nabi, orang suci (para auliya), ahli marifah (arifah), yang paling jujur (shiddiqun), yang mendekatinya (muqarrabun), yang mencintainya (muhibbun), dan yang ikhlas (mukhlishun). Tiap tingkat kebahagiaan dibagi lagi menjadi anak tingkat atau anak derajat kebahagiaan yang tak terbilang jumlahnya. Anak derajat terendah dari tingakat yang tertentu, bersinggungan dengan anak derajat tertinggi dari tingkat yang langsung dibawahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun