Mohon tunggu...
salma aulia
salma aulia Mohon Tunggu... mahasiswa hukum keluarga UIN syarif Hidayatullah Jakarta

hobi membaca dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sengketa tanah wakaf oleh ahli waris: telaah yuridis dan solusi penyelesaiannya

9 Juli 2025   12:44 Diperbarui: 9 Juli 2025   12:43 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Abstrak
Penelitian ini membahas sengketa tanah wakaf yang terjadi ketika ahli waris mengambil alih atau
mengklaim kembali harta benda wakaf yang telah diikrarkan oleh pewaris. Fenomena ini masih
sering dijumpai di Indonesia, khususnya pada tanah-tanah wakaf yang tidak memiliki pencatatan
resmi atau dikelola dengan pengawasan yang lemah. Padahal, dalam perspektif hukum Islam
maupun hukum positif Indonesia, harta benda wakaf bersifat permanen, tidak dapat diwariskan,
dijual, ataupun dialihkan kepada pihak lain termasuk ahli waris. Namun kenyataannya, pemahaman
masyarakat yang minim terhadap aturan perwakafan dan lemahnya peran nadzir serta pengawasan
dari instansi terkait menjadi faktor utama penyebab sengketa ini.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui pendekatan
kualitatif. Sumber data diperoleh dari literatur hukum, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah,
serta dokumen resmi terkait perwakafan. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa
tanah wakaf dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur non-litigasi seperti musyawarah, mediasi,
dan arbitrase, serta jalur litigasi melalui Pengadilan Agama yang memiliki kompetensi absolut dalam
perkara wakaf sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Solusi penyelesaian yang disarankan dalam jurnal ini menekankan pentingnya penguatan
kelembagaan nadzir, peningkatan literasi hukum masyarakat terkait wakaf, serta perlunya sistem
pengawasan wakaf yang lebih ketat dari pihak Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia.
Selain itu, regulasi tentang pencatatan dan sertifikasi tanah wakaf juga perlu dioptimalkan agar
keberadaan harta benda wakaf tidak rawan diklaim kembali oleh ahli waris. Dengan langkah-
langkah tersebut, diharapkan potensi konflik dan sengketa terhadap tanah wakaf dapat diminimalisir
dan fungsi sosial wakaf sebagai instrumen ibadah dan kesejahteraan umat dapat terus terjaga.
Kata Kunci: Hukum Perdata, Wakaf, Tanah Wakaf, Ahli Waris, Sengketa, Penyelesaian Hukum,
Litigasi, Non-Litigasi.
A. Pendahuluan
Wakaf merupakan salah satu lembaga ekonomi islam yang sangat berperan dalam
pemberdayaan ekonomi umat, Wakaf juga sebagai bentuk ibadah yang bersifat sosial dilakukan
dengan cara memisahkan sebagian harta milik dan melembagakan untuk selama-lamanya atau
sementara untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya sesuai dengan syariat
(hukum) Islam yang pahalanya terus mengalir kepada yang mewakafkan (wakif), meskipun ia
telah meninggal dunia. Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
tertentu sesuai dengan kepentinganya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum
menurut syariah. Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya
juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf adalah
tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan
lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh
sebagian negara-negara Islam.
Hubungan manusia dengan tanah adalah merupakan hubungan yang bersifat abadi, baik
manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Selamanya tanah selalu dibutuhkan
dalam kehidupan, sebagai salah satu bentuk kemanfaatan benda wakaf biasanya digunakan untuk
tempat umum seperti mendirikan masjid, yayasan, sekolah dan lain sebagainya.
Sementara praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak dijalankan atau
dipelihara sebagimana mestinya, terlantar atau beralih tangan kepihak lain yang tidak sesuai
dengan hukum. Indonesia masih terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas
penduduknya beragama Islam dan menempati ranking pertama dari populasi umat Islam dunia.
Implikasi dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus
dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Negara Indonesia memiliki masyarakat yang
mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini tentunya menjadikan masalah pengelolaan
wakaf, menjadi suatu masalah yang sangat urgen dan sangat rentan.
Persengketaan tanah wakaf yang diambil alih oleh ahli warisnya dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satu faktor utama adalah kurangnya kontrol dari Kantor Kementerian
Agama terhadap nadzir dan benda wakaf yang ada. Keterbatasan kontrol ini dapat menyebabkan
pemanfaatan tanah wakaf sendiri tidak optimal, sehingga ahli waris dapat mengambil alih tanah
wakaf tersebut tanpa melalui prosedur yang benar dan sah.
Faktor lain yang dapat menyebabkan persengketaan tanah wakaf adalah ketidaktahuan
masyarakat tentang hukum wakaf dan peraturan yang mengatur wakaf. Masyarakat umum tidak
memahami bahwa wakaf adalah suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan secara tertulis dan
dengan prosedur yang benar. Keterbatasan pengetahuan ini dapat menyebabkan masyarakat
menganggap bahwa wakaf adalah suatu hak yang dapat diwarisi oleh ahli waris, sehingga ahli
waris dapat mengambil alih tanah wakaf tanpa melalui prosedur yang benar dan sah.
Selain itu, kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap pengelolaan wakaf juga dapat
menyebabkan persengketaan tanah wakaf. Pemerintah tidak mempunyai perhatian yang cukup
terhadap pengelolaan wakaf, sehingga nadzir dan ahli waris dapat mengambil alih tanah wakaf
tanpa melalui prosedur yang benar dan sah.
Dalam beberapa kasus, persengketaan tanah wakaf juga dapat disebabkan oleh ketidaktahuan
masyarakat tentang harta benda wakaf yang diwakafkan. Masyarakat umum tidak memahami
bahwa harta benda wakaf yang diwakafkan harus dipertahankan dan dipelihara secara baik agar
dapat memberikan manfaat yang optimal. Keterbatasan pengetahuan ini dapat menyebabkan
masyarakat menganggap bahwa harta benda wakaf yang diwakafkan dapat diambil alih oleh ahli
waris tanpa melalui prosedur yang benar dan sah. maka dengan itu dalam jurnal ini akan dibahas
soal pengertian, fungsi, rukun dan syarat, kewajiban dan pengalihan harta, serta penyelesaian
sengketa wakaf.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode penelitian normatif atau kepustakaan dengan
pendekatan kualitatif karena data yang dikumpulkan lebih berfokus pada data kualitatif, seperti
data verbal, bukan data berbentuk angka. Tujuan utamanya adalah untuk mendeskripsikan realitas
sebagaimana adanya dan kemudian menganalisis serta mengabstraksikan data menjadi teori. Selain
pendekatan kualitatif, peneliti juga menggunakan berbagai pendekatan dalam penelitian hukum,
seperti pendekatan undang-undang tentang perwakafan, jurnal dan lain sebagainya. Kemudian dari
data tersebut di olah dan di deskripsikan untuk mendapatkan analisis yang menyeluruh.
Hasil dan Pembahasan
A. Pengertian dan Fungsi Wakaf
Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab, yaitu waqafa yang berarti menahan,
menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa indonesia kata waqaf biasa diucapkan dengan
wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di indonesia1. Menurut istilah
wakaf adalah" menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
meneruskan bendanya ('ainnya) dan di gunakan untuk kebaikan2
.
Menurut syari'at, wakaf adalah habsul ashli wa tasbiluts tsamrah (menahan pokoknya dan
melepaskan buahnya). Artinya, menahan harta dan mendistribusikan manfaatnya dijalan Allah.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fiqih Lima Mazhab mengatakan, wakaf adalah
( sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal
ialah ) ( lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksudkan dengan ,)
menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan sejenisnya. 3
Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf tanpa imbalan. Dalam bahasa Indonesia Kata wakaf diucapkan dengan wakaf
ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan Indonesia. Menurut istilah lain, wakaf
ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,
sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dalam
kompilasi hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.
Pengertian wakaf menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan batasan
mengenai wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqih adalah sebagai berikut :
a. Mazhab Maliki
1 Departemen Agama, Ilmu Fiqih 3, (Jakarta: Depag RI, 1986), cet. ke-II, h. 207.
2 H. Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta:1989), h. 23.
3 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: UI Press, 1988, cet 1, hlm. 80
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan
dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat
melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban
menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya4
.
b. Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa
saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikanya kepada
yang lain, baik dengan tukar atau tidak. atau "Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
dengan tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan
pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama5
.
c. Mazhab Hambali
Menurut golongan Hambali, wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua
hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Allah"6
.
Tujuan wakaf terbagi 2:
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa wakaf memiliki fungsi sosial. Allah memberikan
manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam. Dari sinilah, kemudian timbul kondisi
dan lingkungan yang berbeda di antara masing-masing individu. Ada yang miskin, kaya, cerdas,
bodoh, kuat dan lemah. Di balik semua itu, tersimpan hikmah. Di mana, Allah memberikan
kesempatan kepada yang kaya menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh
dan yang kuat menolong yang lemah, yang demikian merupakan wahana bagi manusia untuk
melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi antar
manusia saling terjalin7
.
2. Tujuan khusus
4 Depertemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Waqaf, 2007), h. 2.
5 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr alMuashir, 2008, hlm, 151.
6 Abd. Shomad, HukumIslam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana 2010), h. 370-371.
7 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Depok: IIMan Press, 2004, hlm.83.
Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu pengkaderkan,
regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia. Sebab, manusia menunaikan wakaf untuk
tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor maksud-maksud syari'at Islam, di
antaranya: Semangat keagamaan, yaitu beramal karena untuk keselamatan hamba pada hari akhir
kelak. Maka, wakafnya tersebut menjadi sebab keselamatan, penambahan pahala, dan
pengampunan dosa.
Semangat sosial, yaitu kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan
bermasyarakat. Sehingga, wakaf yang dikeluarkan merupakan bukti partisipasi dalam
pembangunan masyarakat.
Motivasi keluarga, yaitu menjaga dan memelihara kesejahteraan orang-orang yang ada dalam
nasabnya. Seseorang mewakafkan harta bendanya untuk menjamin kelangsungan hidup anak
keturunannya, sebagai cadangan di saat-saat mereka membutuhkannya.
Dorongan kondisional, yaitu terjadi jika ada seseorang yang ditinggalkan keluarganya,
sehingga tidak ada yang menanggungnya, seperti seorang perantau yang jauh meninggalkan
keluarga. Dengan sarana wakaf, si wakif bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-
orang tersebut8
.
Tujuan wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 4 menyatakan bahwa:
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Sedangkan fungsi
wakaf dalam KHI Pasal 216 adalah: Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf
sesuai dengan tujuannya. Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bahwa Wakaf
berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan
ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Jadi fungsi wakaf menurut KHI Pasal 216
dan Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dimaksudkan dengan adanya wakaf
terciptanya sarana dan prasarana bagi kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan
bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam hal mu'amalah. Dengan demikian orang yang
kehidupannya di bawah garis kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf.
Kemudian umat Islam yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum
sekaligus dapat mengambil manfaatnya.
8 Ibid h. 85
B. Rukun dan Syarat Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat
(4), yaitu:
1. 2. 3. 4. Wakif (orang yang mewakafkan harta)
Mauquf bih (barang atau benda yang diwakafkan)
Mauquf alaihi (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf)
Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian
harta bendanya.)9
Para ulama' berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan tersebut
merupakan implikasi dari perbedaan mereka memandang substansi wakaf. Menurut pengikut
Malikiyyah, yafiiyyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf terdiri dari
waqif, mauquf alaihi, mauquf bih dan shighat, maka berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi
yang menyebutkan rukun wakaf hanya sebatas Shighat yang menunjukkan makna/substansi
wakaf.10
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada Pasal 6
menyatakan bahwa:
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Wakif
b. Nadzir
c. Harta benda wakaf
d. Ikrar wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dari rukun wakaf yang telah disebutkan adalah:
a. Waqif (orang yang mewakafkan)
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum. Dalam
menggunakan hartanya. Kecakapan bertindak meliputi11:
9 Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, dikutip oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006, hlm, 21.
10 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, op. cit, hlm. 87
11 sulaiman Rasjid, fiqh islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 340.
1. a. Merdeka
b. Baligh
c. Berakal Sehat
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Sedangkan dalam KHI Pasal 217 ayat 1 bahwa:
Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturab
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa:
Waqif meliputi:
a. Perseorangan
b. Organisasi
c. Badan Hukum
Sedangkan dalam Pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang wakaf, bahwa:
a. Perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda wakaf.
b. Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda
wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran saran organisasi yang bersangkutan.
c. Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda
wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar hukum yang bersangkutan.
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal
1 ayat 2
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
Mauquf Bih (harat benda wakaf)
Mauquf dipandnag sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan, dan hak
milik wakif murni.
Benda yang diwakfkan dipandnag sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Benda harus memiliki nilai guna
Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang beangkut paut dengan
benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain sebagainya. Tidak sah juga mewakafkan
benda yang tidak berharga menurut syara', yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya,
seperi benda memabukkan dan benda-benda haram lainnya.
b. Benda tetap atau benda bergerak
Secara umum yang dijadikan sandaran golongan syafiiyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat
dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak serupa, benda
bergeark maupun barang kongsi (milik bersama)
c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.
Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus juta rupiah, atau juga bisa
menyebutkan dengan nisab terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain
sebagainya. Wakaf yang tidsk menyebutkan secara jelas terhadap harta yang aka diwakfkan tidak
sah hukumnya.
d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap si wakif ketika terjadi akad
wakaf.
Dengan dimikian jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum miliknya maka
hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli
dan lan sebagainya.12
Dalam KHI Pasal 217 ayat 3 menyatakan bahwa:
Benda wakaf sebagaimana dalam 215 ayat 4 harus merupakan benda milik yang bebas segala
pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.
Dalam pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa:
Harta benda wakaf terdiri dari:
a. Benda tidak bergerak, meliputi:
1) Harta atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
yang sudah maupun yang belum terdaftar.
2) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri diatas sebagaimana yang dimaksud pada huruf
1.
3) 4) Tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah.
Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundnag-
undangan yang berlaku.
12 Elsa Kartika Sari, op. cit, hlm 60-61
5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundnag-undangan
yang berlaku.
b. Benda bergerak adalah harta yang tidak bisa habis dikonsumsi meliputi:
1) Uang
2) Logam mulia
3) Surat berharga
4) Kendaraan
5) Hak atas kekayaan intelektual
6) Hak sewa, dan
7) Benda bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti mushaf, buku dan nikah.
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf Pasal 15
Jenis harta benda wakaf meliputi:
a. Benda tidak bergerak
b. Benda bergerak selain uang
c. Benda bergerak berupa uang
2. Mauquf alaihi (penerima wakaf)
Yang dimaksud mauquf alaihi adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf).13 Mauquf alaihi
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf
sebagai salah satu bagian dari ibadah.14
Dalam Pasal 22 Undang-Undang No 41 Tahun 2004, disebutkan:
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat diperuntukkan bagi:
a. Sarana dan kegiatan ibadah
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c. Bantuan kepada fakur miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa.
13 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, op, cit, hlm. 46
14 Elsa Kartika Sari, op. cit, hlm 62
d. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan.
3. Sighat/ ikrar wakaf
Adapun lafadz shighat ada dua macam yaitu:
a. Lafadz yang jelas (sharih)
Lafadz wakaf bisa dikatakan jelas apabila laal itu populer sering digunakan dalam transaksi
wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: al waqf (wakaf), al-habs
(menahan), dan al tasbil (berderma).15
b. Lafadz kiasan (kinayah)
Lafadz " Tashaddaqtu wa Harramtu wa Abbadtu"
Lafal ini dipakai harus dibarengi dengan niat wakaf. Sebab lafadz tashaddaq berarti shadaqah
wajib seperti zakat dan shadaqah sunnah. Lafadz Harramtu bisa berarti dzihar, tapi bis juga
berarti wakaf. Kemudian lafadz abbadtu juga bisa berarti semua pengeluaran harta benda untuk
selamanya. Sehingga semua lafadz kiyasan yang di pakai untuk mewakafkan sesuatu harus
disertai dengan niat wakaf secara tegas.16
Sedangkan dalam KHI Pasal 223 menyatakan bahwa:
1) Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan pejabat Akta Ikrar
Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2) 3) 4) Isi dan bentuk Wakaf ditetapkan oleh menteri agama.
Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf dianggap sah juka dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang sanksi.
Dalam melakukan ikrar seperti dimaksudkan ayat 1 pihak yang mewakafkan diharuskan
menyertakan kepada pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai
berikut:
a. Tanda bukti pemilikan harta benda
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari kepala desa, yang diperkuat oleh camat setampat yang menerangkan
pemilikan banda tidak bergerak dimaksud.
15 Ibnu Qudama, Al Mughni, juz 6, dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, op. cit, hlm. 89
16 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, op, cit, hlm. 56
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa:
1) 2) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 paling sedikit memuat:
a. Nama dan identitas wakif
b. Nama dan identitas nadzir
c. Data dan keterangan harta benda wakaf
d. Peruntukan harta benda wakaf
e. Jangka waktu wakaf.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
C. Kewajiban dan Hak atas Benda Wakaf
* Tugas Dan Kewajiban Nadzir
Sesuai dengan UU wakaf No. 41 tahun 2004, seorang nadzir, baik perseorangan, organisasi atau
badan hukum memiliki beberapa tugas sebagai berikut:
1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
2. Menjaga, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, sesuai dengan tujuan, fungsi
peruntukannya.
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
4. Melaporkan pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka menumbuh kembangkan harta
wakaf dimaksud. Pada intinya, baik nadzir perseorangan, organisasi ataupun badan hukum
memiliki kewajiban yang sama, yaitu memegang amanat untuk memelihara, mengurus dan
menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuannya.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang nadzir yang begitu berat, maka
seorang nadzir yang begitu berat, maka seorang nadzir hendaknya memiliki beberapa ke-
mampuan, diantaranya:
1. Kemampuan atau keahlian teknis, misalnya mengoperasikan komputer, mendesain ruangan
dan lainnya.
2. Keahlian berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat, khususnya kepada pihak-pihak
yang secara langsung terkait dengan wakaf.
3. Keahlian konseptual dalam rangka memeneg dan memproduktifkan harta wakaf.
4. Tegas dalam mengambil keputusan, setelah dimusyawarahkan dan dipikir secara matang
5. Keahlian dalam mengelola waktu
6. Termasuk didalamnya memiliki energi maksimal, berani mengambil resiko, antusias, dan
percaya diri.
Kewajiban dan hak-hak Nadzir diatur dalam pasal 20 kompilasi dan pasal 7 PP No.28 Tahun
1977 sebagai berikut:
1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggng jawab atas kekayaan wakaf serta
hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung
jawabnya sebagimana dimaksudkan dalam ayat (1) kepada kepala kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan camat
setempat.
3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan Menteri agama.
Nadzir sebagai manager harta wakaf, juga berhak mempekerjakan seseorang atau lebih dalam
rangka menjaga, memelihara, dan menumbuhkembangkan harta wakaf. Nadzir juga memiliki
kewajiban untuk membagikan hasil dari harta wakaf tersebut kepada yang berhak menerimanya
sesuai dengan peruntukannya. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa harta wakaf boleh
disewakan dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat.
D. Perubahan Dan Pengalihan Harta Wakaf
Dalam Hukum Islam pada dasarya perubahan status wakaf tidak diperbolehkan, kecuali wakaf
tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka perubahan itu dapat
dilakukan terhadap wakaf yang bersangkutan. Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam
pendapatnya, tentang boleh tidaknya melakukan perubahan status pada benda wakaf, seperti
menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain.
A. B. Perbedaan Status Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah
Dalam perspektif madzhab Hanafi, ibdal (penukaran) dan istibdal (penggantian) bole
dilakukan. Kebijakan ini berpijak dan menitikberatkan pada maslahat yang meyertai praktik
tersebut. Menurut mereka, ibdal boleh dilakukan oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain,
maupun hakim, tapa menilik jenis barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni,
tidak dihuni, bergerak, maupun tidak bergerak.17
Perbedaan Status Wakaf Menurut Ulama Malikiyah
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian barang wakaf,
namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang
wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak
Barang Wakaf Yang Bergerak
Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian barang wakaf yang
bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang wakaf yang
bergerak, ulama Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa
dimanfaatkan lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi
bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi.
Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual buku- buku itu selama masih bisa digunakan.
Barang Wakaf Yang Tidak Bergerak
Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang tidak
bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat jarang terjadi atau demi
kepentingan umum. Jika keadaan memaksa, mereka membolehkan penjualan barang
wakaf, meskipun dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah
bahwa perjualan akan berpeluang pada kemashlahatan dan kepentigan umum.18
17 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan
Wakaf serta Penvelesaian atas Sengketa Wakaf. Penerjemah Ahrul San Faturrahman, dkk KMPC (Jakarta: Dompet Dhuata Republika
dan IIMaN Press, 2004), h.349.
18 Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Makat serta Penvelesaian
atas Seneketa Wakal. h.366-368
C. Perbedaan Status Wakaf Menurut Ulama Syafi'iyah
Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi'iyah dikenal lebih berhati-hati
dibanding ulama mazhab lainnya, hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal
dalam kondisi apa pun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau
penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan ekstra hati-hati, mereka tetap membahas masalah
penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua
kelompok:
Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau menggantinya. Mereka
melarang penjualan barang wakaf apabila tidak ada jalan lain untuk memanfaatkannya,
selain dengan cara mengkonsumsi sampai habis. Sebagai implikasi pendapat tersebut, jika
barang wakaf berupa poon yang kemudian mengering tak berbuah dan hanya bisa
dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf mempunyai wewenang untuk
menjadikannya sebagai kayu bakar, tapa memiliki kewenangan menjualnya. Sebab, dalam
pandangan mereka meskipun barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara
mempergunakannya sampai habis, barang tersebut tetap memilki satu unsur yang
menjadikannya sebagai barang wakaf, sehingga tidak boleh dijual.
D. Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan tidak mungkin
diman faatkan seperti yang dikehendaki waqif. Pendapat ulama Syafi' iyah tentang
kebolehan penjualan barang wakaf ini berlaku jika barang wakaf tersebut berupa benda
bergerak. Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak, ulama Syafi iyah tidak
menyinggung sama sekali dalam kitab-kitab mereka. Hal ini mengindikasikan seolah-
olah mereka meyakini bahwa barang wakaf yang tak bergerak tidak mungkin kehilangan
manfaatnya, sehingga tidak boleh dijual atau diganti.
Perbedaan Status Wakaf Menurut Ulama Hanabilah
Dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf, ulama Hanabilah tidak
membedakan antara benda bergerak dan tak bergerak. Mereka juga tidak membedakan apakah
benda wakaf itu berbentuk masjid atau bukan masiid. Di sini terlihat Mazhab Hanbali tidak
1. memberikan pembatasan yang ketat mengenai kebolehan menjual tau memindahkan tanah wakaf
dan masjid sekalipun.19
Perubahan Dan Pengalihan Status Wakaf Dalam Prespektif UU No. 41 Tahun 2004
Pengalihan harta tanah wakaf tidak hanya dibahas di dalam hukum Islam, tetapi juga telah
dibahas di dalam hukum positif di Indonesia yang diatur dengan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf. Tidak hanya ulama-ulama klasik dan kontemporer yang beradu argument tentang
pengalihan fungsi harta tanah wakaf, tetapi para pakar hukum Indonesia juga berargumen tentang
pengalihan fungsi atau perubahan harta tanah wakaf.
Di dalam UU No. 41 Tahun 2004 Pasal 40 dijelaskan bahwa, harta yang telah diwakafkan
oleh si wakif dilarang untuk dijual, dihibahkan, diwariskan, ditukar, bahkan dialihkan dalam
bentuk pengalihan hal lainnya.20 Jika dilihat dari penjelasan UU tersebut bahwa jelas
tercantumkan pelarangan untuk mngalihfungsikan harta wakaf dalam bentuk apapun. Baik itu
penukaran ataupun diperjualbelikan harta wakaf tersebut.
Namun demikian, pada UU No. 41 Tahun 2004 Pasal 41 dijelaskan pula bahwa, ketentuan
tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umum. Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertentangan dengan syari'ah dan hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf
Indonesia.21
Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib
ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta
benda wakaf semula (Pasal 41). Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41
di atas, izin perubahan status/pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan, jika pengganti
harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (Pasal 49 ayat 3 (a) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).22
19 Mugniyah, al-Ahwal al Svakhsivah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333.
20 Undang-undang No. 41 Tahun 2004, UU tentang wakaf, Bab IV, Pasal. 40.
21 Undang-undang No. 41 Tahun 2004, UU tentang wakaf, Bab IV, Pasal 41.
22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Bab VI, Pasal 49.
Berdasarkan aturan yang telah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP
No. 42 Tahun 2006 Tentang Penegasan UU No. 41 Tahun 2004. Maka pengalihan fungsi harta
benda wakaf dibolehkan dengan ketentuan yang berlaku dan pengalihan tersebut dapat
memberikan manfaat terhadap masyarakat umum dan tidak melanggar syariat. Pengecualian
tersebut hanya terjadi apabila harta benda wakaf sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana tujuan
pertama dari si wakif.
E. Penyelesaian sengketa wakaf
Sebagaimana diketahui, dalam kenyataannya tidak jarang terjadinya perselisihan atau
persengketaan terhadap benda wakaf, hal ini timbul bisa di karenakan pihak-pihak yang terlibat
didalam pengelolahan benda wakaf, atau kurang amanah dalam menjalankan tugasnya dan atau
bisa di sebabkan dari ahli waris pewakaf tersebut. Karena itulah perlu diatur bagaimana solusi
atau jalan keluarnya jika terjadi persengketaan terhadap benda wakaf tersebut yang jelas-jelas
dapat merugikan kepentingan umum.
Pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1997 menegaskan: "Penyelesaian sepanjang yang menyangkut
persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui pengadilan Agama setempat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku". Hal ini juga sama halnya dengan Kompilasi
Hukum Islam pada Pasal 226 yang Menyatakan: "Penyelesaian perselisihan sepanjang yang
menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir, diajukan kepada Pengadilan Agama setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Hal ini juga sejalan
dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989: "Pengadilan Agama bertugas
dan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama orang-orang
yang beragama islam dibidang:
a. Perkawinan.
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
Sedangkan dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Pasal 17
menyatakan:
1) Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan
menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syariat Agama Islam yang antara
lain mengenai:
a. Wakaf, wakif, nadzir, ikrar, dan saksi.
b. c. Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf.
Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.
Tidak sedikit kasus-kasus yang mengemuka di Pengadilan Negeri, pihak-pihak yang
berusaha untuk "menarik kembali" wakaf yang sudah dilakukan oleh orang tuanya atau pada kasus
"penarikan kembali tanah wakaf oleh ahli warisnya". Padahal jika kita telusuri bahwa benda wakaf
tersebut adalah benda wakaf yang sudah menjadi milik publik atau milik Allah Swt.
Pada kasus-kasus yang serupa diatas permasalahan sengketa wakaf yang terjadi di negara
kita Indonesia. Untuk penyelesaian masalah sengketa dalam tradisi hukum positif Indonesia dibagi
2 adalah:
1. Jalur Non-Litigasi
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Konsep perdamaian ini merupakan penyelesaian suatu sengket yang bersifat conditio
sine quo non dalam kehidupan Masyarakat dimanapun berada. Pada hakekatnya
perdamaian tidak lain hanya pranta positif belaka, tapi yang dilihat berupa fitrah dari
manusia. Karena seyogiyanya manusia ingin kehidupan yang nyaman, aman, tentram,
dalam aspek kehidupan. Maka perdamaian ialah institusi bagi kehidupan manusia. Dasar
hukum penyelesaian sengketa diluar Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut:
1) 2) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi:
"Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara
dan ditetapkan dengan undang-undang". Pada penjelasan Pasal 3 ayat (1): Pasal ini
mengandung arti, bahwa penyelesaian sengketa diluar boleh dilakukan dengan cara
perdamaian melalui abritase.
Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan: "Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah
timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara
tertulis".23
3) Pasal 1855 KUHPerdata: "Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-
perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud
mereka dalam perkaraan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat
disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan"
4) Pasal 1858 KUHPerdata : "Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak
suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak
dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan klekhilafan mengenai hukum atau
dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan".
5) Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal yakni Pasal 6
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
b. Mediasi
Dalam hal ini penyelesaian persengketa dilibatkan oleh pihak ketiga yang
independent untuk memberikan fasilitas mediasi. Dengan kata lain mediasi merupakan
negosiasi antara kedua belah pihak yang dibantu pihak ketiga yang bersifat netral.
Penyelesaian perkara secara mediasi di Pengadilan berbeda dengan penyelesaian
perkara melalui arbitrase dan lain-lain. Arbitrase menurut Subekti diartikan sebagai
berikut: "Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim
atau para halim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
mentaati keputusan24 yang diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau
tunjuk tersebut".
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai
berikut: "Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa". Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di
mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa
untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator,
23 Junaidi A, Nur Q, Penyelesaian Sengketa Wakaf Dalam Hukum Positif, (Journal IAIN Kudus, 2014), hal, 46
24 Ibid, hal. 47
yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak
untuk menyelesaiakan persoalanpersoalan yang dikuasakan kepadanya.
Tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa perwakafan Pasal 62 UU No.
41/2004 (BAB VII Pasal 62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf)
menjelaskan sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau
pengadilan.
Mediasi menurut Takdir Rahmadi dalam bukunya Mediasi Penyelesaian
Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu
proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau
cara mufakat dengan bantuan pihak yang netral yang tidak memiliki kewenangan
memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan
prosedural dan substansial. Pasal 62 UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa dalam
menyelesaikan permasalahan terhadap harta benda wakaf agar terlebih dahulu
mengutamakan25 sikap musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila dengan cara
musyawarah untuk mencapai mufakat tidak berhasil dilakukan, dapat diselesaikan
melalui mediasi maupun arbitrase. Jika ketiga cara tersebut juga tidak berhasil
dilakukan, maka cara terakhir yang harus ditempuh adalah melalui jalur pengadilan
(litigation). Berdasarkan setelah pemberlakuan UU No.3/2006 tentang perubahan atas
UU No. 7/1989 tentang kekuasaan mutlak (absolut competence) Peradilan Agama
bahwa perkara perdata antara orang yang beragama Islam, dalam hal ini masalah yang
berkaitan dengan praktik perwakafan harus diselesaikan di Pengadilan Agama.
2. Jalur Litigasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan
25 Ibid, hal. 48
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Agama.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang
terdiri dari pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. Dalam kontek wakaf, Lembaga
Peradilan Agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah
menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas
dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang
beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan ekonomi syari'ah.
Penyelesaian perkara perdata wakaf melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya
pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Agama saja, tetapi bisa juga di Pengadilan
Negeri karena jika dengan putusan26 peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak
yang merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi
yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut
mengakibatkan salah satu pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat
mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah
satu pihak merasa keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi,
dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada
kondisi yang demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan
waktu yang cukup lama, tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak
sedikit jumlahnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama (1999) bahwa para
pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya
banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan
kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. Oleh karena itu
tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang kurang
diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada
perkembanganya, terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang
internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh
pihakpihak yang bersengketa. Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004 terdapat
26 Ibid, hal. 49
ketentuan pidana, yaitu masih terbatas sasaran Nazdhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf. Hal ini terjelaskan dalam pasal 67 ayat (1) dan ayat (3);
a. Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf
yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar
harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana27 dimaksud dalam Pasal 41,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
c. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Ketentuan tersebut merupakan wujud dari Negara yang berdasarkan hukum
sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Mempunyai sifat normatif sehingga
berdasarkan asas legalitas, hukum tersebut merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu
Negara. Oleh karena itu, dengan adanya sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan efek
jera terhadap pelaku tindak pidana tersebut.28
KESIMPULAN
Wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan
tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT. Wakaf
dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat (4), yaitu: Wakif
(orang yang mewakafkan harta), Mauquf bih (barang atau benda yang diwakafkan), Mauquf alaihi
(pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf), Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya.) Sesuai dengan UU wakaf No. 41 tahun 2004,
27 Ibid, hal. 50
28 Ibid, hal. 51
seorang nadzir, baik perseorangan, organisasi atau badan hukum memiliki beberapa tugas sebagai
berikut: Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf : Menjaga, mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf, sesuai dengan tujuan, fungsi peruntukannya , mengawasi dan
melindungi harta benda wakaf, Melaporkan pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka menumbuh
kembangkan harta wakaf dimaksud.
Apabila terjadi persengketaan cara penyelesaian masalah sengketaa ialah dengan tradisi
hukum positif Indonesia dibagi 2 adalah: Jalur Non-Litigasi : Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Mediasi, Jalur Litigasi : Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UndangUndang
Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Agama. Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak yang
diselesaikan oleh pengadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun