Mohon tunggu...
Salma Airandia Yumna
Salma Airandia Yumna Mohon Tunggu... Mahasiswa UNNES

Mahasiswa FISIP

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tik Tok Brain Bikin Gen Z Susah Fokus!?

16 September 2025   16:34 Diperbarui: 16 September 2025   16:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Fenomena yang dikenal sebagai "TikTok Brain" telah menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam diskusi tentang dampak media sosial terhadap perkembangan kognitif generasi muda . Istilah "brain rot" bahkan dinobatkan sebagai kata tahun 2024 oleh Oxford, didefinisikan sebagai "kemunduran mental atau intelektual seseorang" akibat terlalu banyak mengonsumsi konten "sepele atau tidak menantang" secara online. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997-2012, merupakan generasi pertama yang tumbuh dalam ekosistem digital penuh, menjadikan mereka subjek utama penelitian tentang dampak platform video pendek terhadap fungsi otak.

Berdasarkan data dari Statista, Indonesia memiliki basis pengguna TikTok terbesar secara global. Distribusi pengguna berdasarkan usia menunjukkan dominasi generasi muda: 34,9% berusia 18-24 tahun, 28,2% berusia 25-34 tahun, dan 14,4% berusia 13-17 tahun. Hal ini menunjukkan sekitar 77,5% pengguna TikTok Indonesia berasal dari kelompok Generasi Z dan Milenial muda. Survei American Academy of Sleep Medicine mengungkapkan bahwa 93% Gen Z kehilangan waktu tidur karena bermain media sosial, dengan TikTok menjadi platform yang paling banyak menyita waktu tidur.

"TikTok Brain" merupakan istilah yang menggambarkan perubahan kognitif dan neurologis yang diamati pada individu yang intensif menggunakan platform TikTok. Dr. Patrick Porter, ahli neurosains dan pendiri BrainTap, mendefinisikan fenomena ini sebagai kondisi yang ditandai dengan rentang perhatian yang sangat berkurang, sering dibandingkan dengan rentang perhatian ikan mas yang hanya sekitar lima detik. Kondisi ini memanifestasikan diri sebagai peningkatan kebutuhan akan gratifikasi instan dan berkurangnya kesabaran untuk tugas-tugas yang lebih panjang dan kompleks. Ketika pengguna menggunakan TikTok, otak mengalami stimulasi intensif melalui multiple sensory channels. Telinga menerima stimuli auditori yang dikirim ke korteks auditori otak, sementara mata menyerap energi fotik dari layar dan mengirim serangkaian stimuli cepat ke korteks visual. Sebagai respons terhadap konten yang menghibur, otak mempompa dopamin di area yang disebut nucleus accumbens.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal NeuroImage oleh tim dari Tianjin Normal University China menunjukkan temuan mengkhawatirkan. Studi yang melibatkan pemindaian otak pada 112 mahasiswa berusia 17-30 tahun menemukan bahwa individu dengan tingkat kecanduan video pendek yang tinggi menunjukkan peningkatan aktivitas otak di region yang terkait dengan regulasi emosi dan pemrosesan reward. Penelitian ini menemukan bahwa partisipan yang paling terikat dengan video pendek memiliki perbedaan struktur otak yang mencolok . Mereka memiliki lebih banyak gray matter di orbitofrontal cortex (OFC) - region di bagian depan otak yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan regulasi emosi. Demikian pula, mereka memiliki lebih banyak gray matter di cerebellum - struktur kecil berbentuk kembang kol di bagian belakang otak yang berperan dalam gerakan dan emosi.

Studi yang dilakukan oleh Romy Victoria Siehoff dari Radboud University Nijmegen melibatkan 191 partisipan menunjukkan bahwa paparan TikTok berpengaruh terhadap rentang perhatian berkelanjutan, khususnya dalam hal distractibility. Pengguna TikTok berat mengalami kesulitan yang lebih besar dalam memblokir pikiran yang mengganggu dibandingkan pengguna ringan. Sedangkan penelitian Anna Lonka dari Aalto University yang menggunakan metode semi-structured interviews dan micro-phenomenological methods menemukan bahwa konten TikTok yang dinamis dan algorithm-driven secara signifikan mempengaruhi fokus perseptual sebagian pengguna, menyebabkan pergeseran fokus yang sering dan berkurangnya kemampuan berkonsentrasi pada tugas. 

Lalu bagaimana caranya supaya kita sebagai pengguna dapat mengurangi dampak dari "TikTok Brain" tersebut? Salah satu caranya adalah dengan melakukan digital detox. Digital detox adalah upaya menahan diri tidak menggunakan perangkat digital dalam waktu tertentu untuk memberikan waktu istirahat bagi otak agar tidak terus-menerus terkena paparan digital. Tentunya metode ini sangat bergantung dari seberapa kuat kontrol diri kita. Jika mengalami kesulitan, Tik Tok sendiri menyediakan fitur screen time timer yang bisa digunakan untuk membantu kita dalam menerapkan digital detox.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun