Mohon tunggu...
Salma Nurjannah
Salma Nurjannah Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswi Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Saya suka menulis sastra, konten, dan aktif di kegiatan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Suku Badui: Identitas, Entitas, dan Eksistensi Kearifan Lokal Suku Badui

16 Mei 2024   21:20 Diperbarui: 16 Mei 2024   21:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Suku Badui merupakan salah satu bagian dari masyarakat adat yang eksistensinya masih bertahan hingga saat ini. Masyarakat adat memegang peranan penting dalam mempertahankan lingkungan alam agar tetap stabil dan lestari.  Suku Badui merupakan bagian dari Suku Sunda, yaitu masyarakat asli Jawa Barat khususnya di daerah Banten. Secara administrasi, Suku Badui termasuk ke dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Lokasinya berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah ini terletak di Pegunungan Kendeng, memiliki elevasi antara 300 hingga 600 meter di atas permukaan laut, dan memiliki topografi yang berbukit-bukit dan bergelombang dengan kemiringan rata-rata mencapai 45%. Wilayah ini juga dikenal memiliki jenis tanah yang beragam, termasuk tanah vulkanik di bagian utara, tanah endapan di bagian tengah, dan tanah campuran di bagian selatan. Suhu udara rata-rata di wilayah ini adalah sekitar 20°C (Suparmini et al. 2013). Jumlah Masyarakat Baduy berkisar 12.000 orang. Luas keseluruhan desa ini sebesar 5000-an ha dengan 2000-an ha di antaranya merupakan hutan produksi. Hasil wawancara sesuai dengan literatur Suparmini et al. (2013) yang menyatakan bahwa luasan keseluruhan mencapai 5.101,85 ha.

Suku Badui dibagi menjadi 2, yaitu Badui-Luar (Panamping) dan Badui-Dalam (Tangtu). Badui-Dalam, biasa disebut Badui Tangtu. Badui Tangtu, berasal dari bahasa Sansekerta yang mengandung makna "benang," "silsilah," atau "cikal bakal." Sementara itu, dalam bahasa Sunda kuno, kata "tangtu" mengartikan "tempat" atau "pasti" (kata sifat). Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat Badui sendiri, istilah "tangtu" digunakan untuk merujuk kepada tempat yang menjadi cikal bakal atau pendahulu dalam konteks keturunan maupun pendirian pemukiman. Wilayah pemukiman Badui di luar pusat pemukiman Badui mengalami perkembangan, sementara daerah pemukiman Badui-Dalam hanya terdiri dari tiga desa. Badui-Dalam terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan nama kampung tempat tinggal, yaitu  Tangtu Parahiyangan: dengan kampung Cibeo, Tangtu Pada Ageung: dengan kampung Cikeusik, dan Tangtu Kadu Kujang: dengan kampung Cikartawana. Seluruh wilayah kampung yang ada dalam Badui Tangtu secara kolektif disebut sebagai "Telu Tangtu" (Tiga Tangtu) (Dini 2023).

Badui-Luar sering disebut sebagai Badui Panamping. Letaknya terpisah dengan Badui-Dalam dan dipisahkan oleh sebuah jembatan bambu yang melintang di atas sungai. Badui-Luar terdiri dari 53 kampung, beberapa di antaranya adalah Cipaler, Cikadu, Cigula, Cihandam, Cikadu, Gajeboh, Karahkal, dan sejumlah kampung Badui Luar lainnya (Senoaji 2005).  Menurut sejarah, penduduk Badui Panamping (Badui-Luar) ada yang secara turun-temurun menetap di daerah ini, ada juga penduduk yang berasal dari pindahan Badui Tangtu (Badui-Dalam). Perpindahan Badui-Dalam ke Badui-Luar disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pindah secara baik-baik karena sudah tidak kuat dengan lingkungan Badui-Dalam, diusir karena telah melanggar peraturan adat, dan melakukan pernikahan dengan masyarakat Badui-Luar. Hal ini dikarenakan aturan adat Suku Badui-Dalam dapat dikatakan bersifat lebih mengikat.

Terdapat beberapa perbedaan antara Masyarakat Badui-Dalam dan Badui-Luar, ditinjau dari peraturan adat. Perbedaan paling pokok antara kedua suku ini terletak pada pelaksanaan pikukuh atau aturan adat mereka. Suku Badui-Dalam tetap teguh mematuhi adat dan melaksanakan aturan adat dengan cermat, sebaliknya, hal ini tidak berlaku bagi Suku Badui-Luar. Pikukuh Badui adalah konsep “tanpa perubahan” atau “apa adanya”. Pikukuh Badui antara lain sebagai berikut. Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancur), lebak teu meunang dirusak (lembah tidak boleh dirusak), larangan teu meunang dirempak (larangan tidak boleh dilanggar), buyut teu meunang dirobah (buyut tidak boleh dirubah), lojor teu meunang dipotong (panjang tidak boleh dipotong), pendek teu meunang disambung (pendek tidak boleh disambung), nu lain kudu dilainkeun (yang lain harus dipandang lain), nu ulah kudu diulahkeun (yang bukan harus ditiadakan), nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan).

Makna yang dapat diambil dari pikukuh Badui adalah perlunya menjaga segala sesuatu dengan hati-hati, agar tidak ada tindakan manipulasi yang dapat mengakibatkan perubahan yang tidak seharusnya. Menurut pandangan masyarakat Badui, perubahan atau intervensi dapat mengganggu keseimbangan dalam hidup. Selain itu, pesan ini juga mengandung nilai-nilai tentang kebersamaan, di mana tidak ada perbedaan antara kelompok kaya atau miskin, juga antara penguasa dan rakyat biasa. Hal ini bertujuan untuk mencegah konflik dan mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis (Purwadi 2016).


Perbedaan lain dapat dilihat dari penerimaan teknologi bagi Masyarakat Badui-Luar dan Badui-Dalam. Masyarakat Badui-Luar masih menerima perkembangan teknologi. Apabila ada yang memiliki ponsel, maka diperbolehkan untuk digunakan. Berbeda dengan Badui-Luar, masyarakat Badui-Dalam melarang penggunaan teknologi, termasuk ponsel dalam keseharian mereka, utamanya apabila di dalam kawasan Badui-Dalam. Selain teknologi berupa ponsel, terdapat aturan menarik lainnya. Masyarakat Badui-Dalam melarang penggunaan kamera untuk mendokumentasikan apapun di area Badui-Dalam, sedangkan Masyarakat Badui-Luar tidak melarang penggunaan kamera untuk mendokumentasikan apapun selama di daerah Badui-Luar. Biasanya, kesempatan ini digunakan oleh para pengunjung untuk mendokumentasikan perjalanan selama di Badui, termasuk keunikan-keunikan yang ditemui sepanjang perjalanan.

Penggunaan transportasi juga memiliki perbedaan yang serupa. Masyarakat Badui-Luar diperbolehkan menggunakan transportasi termasuk apabila berpergian ke luar kota, asalkan tidak untuk menjadikan transportasi sebagai hak milik. Sedangkan masyarakat Badui-Dalam sama sekali tidak menggunakan transportasi dalam keseharian mereka. Untuk berpergian, masyarakat Badui-Dalam mengandalkan jalan kaki walaupun harus menempuh puluhan kilometer jika berpergian ke luar kota.

Cara berpakaian antara masyarakat Badui-Luar dan Badui-Dalam juga memiliki perbedaan. Masyarakat Badui-Luar identik dengan baju warna hitam dengan ikat kepala berwarna biru tua, sedangkan masyarakat Badui-Dalam identik dengan baju berwarna hitam putih dengan ikat kepala berwarna putih. Hal unik lainnya, Masyarakat Badui-Dalam tidak menggunakan bahan kimia termasuk detergen, sabun mandi, dan shampoo dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Badui menggenggam erat kearifan lokal tersebut demi menjaga keseimbangan alam, salah satunya adalah kualitas air dan menghindari pencemaran. Masyarakat Badui-Dalam juga menolak masuknya listrik ke dalam desa mereka. Masuknya listrik dianggap akan mengganggu keseimbangan hidup warga Badui-Dalam.

Masyarakat Badui-Dalam menjalani kehidupan yang sangat sederhana dan bersahaja. Mereka masih memegang teguh cara hidup yang diterapkan oleh leluhur mereka dan tidak mudah dipengaruhi oleh gaya hidup perkotaan yang mengutamakan kekayaan material, kenyamanan, dan kemewahan. Kehidupan mereka bersatu dengan lingkungan alam, termasuk hutan. Masyarakat Badui-Dalam menggunakan sumber daya hutan sesuai kebutuhan saja. Mereka juga menjaga hutan ini agar tidak mengganggu keseimbangan ekosistemnya dengan cara-cara yang telah diwarisi dari generasi ke generasi, yang diwujudkan dalam tindakan sederhana yang ramah terhadap lingkungan.

Suku Badui menggunakan struktur pemerintahan nasional yang tunduk pada hukum negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang tunduk pada adat. Masing-masing desa dipimpin oleh seorang Puun. Puun dipilih oleh masyarakat secara musyawarah. Pemilihan Puun dilakukan oleh menunjukan secara langsung oleh Puun sebelumnya. Penunjukan ini tidak serta merta dilakukan secara bebas, melainkan seorang Puun yang menunjuk tersebut telah mendapatkan petunjuk dari mimpi. Selain itu, juga dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Puun sangat dihormati oleh masyarakat Badui-Dalam. Puun dibantu oleh jajarannya dalam melaksanakan tugasnya, yaitu Girang serat, Tangkesan, Jaro Tanggungan 12, Jaro Tujuh, dan Jaro Pamarentahan. Meskipun Masyarakat Badui merupakan bagian dari Indonesia dan tunduk pada siapapun yang menjadi pemimpin negara, akan tetapi Masyarakat Badui memiliki keistimewaan. Masyarakat Badui tidak memiliki KK (kartu keluarga) sehingga tidak memiliki hak suara dalam pemilihan umum (tidak boleh mencoblos secara hukum adat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun