Pada setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia dan dikenal dengan sebutan May Day. Tentu saja, peringatan hari Buruh ini bukan hanya sekadar ritual tahunan yang hanya menuntut kesejahteraan pekerja belaka, akan tetapi lebih dari itu, hari buruh diperingati sebagai bagian dari mengingatkan penguasa dan pengusaha atas pemenuhan hak-hak pekerja yang sering kali diabaikan. Di Indonesia, sehari setelah peringatan hari buruh internasional, tepatnya pada tanggal 2 Mei, diperingati sebagai hari Pendidikan nasional, di mana tanggal tersebut merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak Pendidikan Indonesia. Selain itu juga, tanggal 2 Mei merupakan momentum untuk kembali menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme bagi seluruh insan pendidikan.
Tentu saja, jika ditarik dari latar belakang peringatan kedua hari tersebut, maka tidak ditemukan benang merah di antara keduanya. Namun dalam tulisan ini, penulis mencoba menghubungkan nasib para pekerja yang memperingati kedua hari tersebut, yakni para Guru dan Buruh. Tentu saja, Guru bukanlah Buruh, dan Buruh bukan pula Guru. Â Namun sebaliknya, ada yang berpandangan bahwa Guru adalah bagian dari Buruh, karena mereka juga adalah bagian dari pekerja sebagaimana Buruh.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena negara memberikan ruang bagi munculnya pandangan-pandangan tersebut melalui regulasi yang dibuat. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sementara itu, dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 40 ayat 1 huruf (a) menyatakan bahwa salah satu hak dari pendidik/guru adalah memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Oleh karena guru juga adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, maka Guru juga merupakan Pekerja/Buruh.
Terlepas dari apakah Guru adalah juga Buruh, ataukah tidak. Namun hakekatnya, Guru dan Buruh adalah dua pilar penting dalam menggerakkan roda kehidupan bernegara, roda kehidupan bernegara berjalan dengan baik jika memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, dan ditopang dengan kehidupan ekonomi yang kuat pula. Hanya saja, negara sering alpa dalam menghadirkan rasa keadilan bagi warganegaranya, terutama para Guru dan Buruh.
Hal yang selalu menjadi isu hangat pada setiap peringatan hari Buruh dan hari Pendidikan Nasional adalah tentang kesejahteraan. Tuntutan-tuntutan tentang hak-hak dasar berupa pemenuhan penghasilan minimum pada penguasa dan pengusaha selalu disuarakan oleh para Guru dan Buruh. Namun terkait dengan sistem pengupahan, nasib buruh masih baik, karena regulasi tentang Upah  diatur oleh negara melalui Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Sementara penghasilan di atas kebutuhan minimum yang diperoleh seorang guru sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terutama pada pasal 15 mengklasifikasikan pendapatan penghasilan antara guru yang diangkat satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat. Hal ini terlihat jelas bahwa adanya standar ganda bagi guru dalam memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum. Di mana sistem penghasilan Guru ASN diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sementara guru Non ASN sistem penghasilannya diserahkan pada kesepakatan dua pihak. Padahal, keduanya memiliki beban kerja, tanggung jawab, serta peran yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa.
Bahkan dalam kenyataannya, guru Non ASN memiliki penghasilan yang lebih rendah dari upah minimum yang diperoleh seorang buruh. Kalau upah buruh berdasarkan UMR Provinsi/Kabupaten, maka penghasilan guru Non ASN, terutama guru honorer didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, bahkan terkadang nominal penghasilan yang didapatkan guru lebih rendah dari UMR yang diterima oleh seorang buruh.
Celakanya, para guru, terutama guru Non ASN tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka, kalau pun ada peluang untuk memperjuangkan kesejahteraannya, maka pasti diperhadapkan dengan ancaman pemutusan hubungan kerja secara sepihak, karena penyelenggara pendidikan sangat tahu bahwa di luar sana masih banyak lulusan guru yang antre untuk melamar di satuan Pendidikan yang mereka selenggarakan.
Situasi semacam ini juga sering dihadapi oleh para Buruh, di mana mereka juga tidak berdaya terhadap mekanisme kerja yang dibuat sepihak oleh pengusaha, hanya saja mereka diuntungkan dengan regulasi UMR yang ditetapkan oleh pemerintah yang memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana sistem penghasilan yang didapatkan oleh Guru ASN.
Dengan memperhatikan kondisi seperti ini, Negara tidak boleh hanya hadir dengan memberikan ruang waktu berupa hari peringatan secara seremonial sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras para Guru dan Buruh. Tapi, hendaknya negara wajib hadir sepenuhnya untuk memenuhi hak-hak mereka, karena di pundak para gurulah masa depan generasi anak bangsa dititipkan, begitu pun dengan para Buruh, lewat mereka pula roda pembangunan ekonomi bangsa dijalankan.