Sebagai salah satu generasi Wandan, penulis merasa amat khawatir tentang masa depan bahasa Banda (Tur Wandan). Kekhawatiran ini tentu saja memiliki dasar yang cukup kuat mengingat kondisi masyarakat Wandan yang semakin teralienasi dengan kehidupan sosial budayanya, terutama bahasa Banda sebagai bahasa pengantar tidak lagi mendapatkan tempat utama dalam ruang interaksi sosial masyarakatnya. Selain kesadaran kolektif penutur untuk menggunakan bahasa Banda yang semakin rendah, hal lain yang mempengaruhi adalah kepedulian pemerintah terhadap keberadaan bahasa ini, misalnya melalui program revitalisasi bahasa daerah yang hanya menyasar bahasa daerah tertentu dengan jumlah penutur yang cukup banyak, padahal seharusnya yang menjadi fokus perhatian adalah Bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur yang sedikit, seperti Bahasa Banda (Tur Wandan) di Provinsi Maluku. Â
Kondisi inilah yang mendorong beberapa anak muda Wandan untuk mencoba membangun kesadaran kolektif agar bahasa Banda (Tur Wandan) tetap mendapat tempat di tengah tengah Masyarakat Wandan yang semakin kosmopolit dengan jumlah penutur dari tahun ke tahun semakin berkurang, walaupun di sisi lain jumlah populasinya semakin meningkat.
Bahasa Banda (Tur Wandan) sendiri bukanlah bahasa dengan jumlah penutur yang banyak, diperkirankan jumlah penutur aktif hanya berkisar antara 3000-5000 penutur dari sekitar 7000-10.000 populasi orang Wandan yang bermukim di desa Banda Ely dan Banda Elat serta komunitas urban orang Wandan yang bermukim di Kota Tual, Kota Dobo, maupun Kota Ambon. Selain itu, dalam berbagai literatur, sangat sedikit pula diketahui tentang keberadaan bahasa Banda. Seperti yang dikemukakan oleh James T. Colins dan Timo Kartinen, bahwa sangat sedikit yang diketahui tentang bahasa Banda. Menurut keduanya, hanya sekitar 292 kosakata yang diketahui melalui Van Eijbergen (1864), Stresemenn (1927), Chlenov (1969), dan Wallace (1869). Kecuali beberapa contoh oleh Collins (1982, 1983, dan 1986). Dari situ kemudian, James T. Collins dan Timo Kaartinen menyimpulkan bahwa belum ada informasi yang dipublikasikan apalagi deskripsi tentang bahasa Banda pada abad ini. Dan barulah pada tahun 1994-1996, Timo Kaartinen melakukan penelitian secara mendalam terhadap bahasa Banda (Tur Wandan).
Membangun Kesadaran Kolektif
Mencermati kondisi demikian, maka sangatlah penting menggugah kesadaran kolektif Masyarakat Wandan tentang pentingnya pembiasaan penggunaan bahasa Banda (Tur Wandan) dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa upaya yang telah dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat Wandan tentang pentingnya melestarikan bahasa Banda (Tur Wandan) di antaranya melalui:
1. Pelibatan Pemerintahan Desa
Berdasarkan diskusi dan kajian yang dilakukan, maka salah satu kesimpulan yang didapat adalah bahwa untuk membangun kesadaran kolektif mayarakat Wandan tentang pentingnya pelestarian bahasa Banda adalah melalui pelibatan Pemerintahan Desa dengan membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang kewajiban menggunakan Bahasa Banda (Tur Wandan) dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan hal demikian, penulis bersama dengan beberapa generasi muda Wandan telah melakukan pertemuan dengan semua Kepala Desa mulai dari Desa Banda Ely hingga Desa Banda Elat. Dari pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya:
- Pemerintah Desa bersedia menyediakan anggaran untuk program pelestarian bahasa Banda (Tur Wandan);
- Mendorong adanya Peraturan Desa (Perdes) tentang kewajiban penggunaan bahasa Banda (Tur Wandan) dalam setiap interaksi sosial masyarakat;
- Bersedia memfasilitasi kegiatan pentas seni dan budaya dalam rangka pelestarian bahasa Banda (Tur Wandan).
Selain kesepakatan tersebut, Pemerintah Desa juga memiliki keinginan yang kuat mendorong agar Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pelestarian Bahasa Daerah.
2. Lembaga Pendidikan
Selain melakukan pertemuan dengan para Perangkat Desa, Penulis dan beberapa generasi muda Wandan juga melakukan pertemuan dengan para Kepala Sekolah dan Guru di setiap jenjang yang ada pada wilayah Desa Banda Ely dan Banda Elat. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya:
- Bersedia memfasilitasi pembelajaran bahasa Banda (Tur Wandan) di sekolah dengan memanfaatkan mata pelajaran muatan lokal yang terdapat pada struktur kurikulum nasional yang berlaku;
- Mewajibkan para guru dan siswa untuk berbahasa Banda (Tur Wandan) pada setiap hari tertentu di sekolah;
- Bersedia menyiapakan materi ajar maupun alat peraga pembelajaran bahasa Banda (Tur Wandan).