Banjarmasin – Racun Sangga, praktik ilmu hitam yang dikenal luas di Kalimantan, kembali ramai diperbincangkan. Fenomena yang selama ini hidup dalam tradisi lisan masyarakat, kini mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMB) yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian mendalam terkait Racun Sangga. Tim ini diketuai Abdus Salam dengan anggota Hamidatul Janah, Amalia, Ananda Yasyfa Nurhaliza Sugita, dan Muhammad Farid Fikriansyah. Mereka menggunakan pendekatan etnografi dengan tinggal bersama warga, mewawancarai korban, tokoh adat, tenaga medis hingga tokoh agama.
“Korban Racun Sangga biasanya mengalami gejala mirip infeksi kulit, seperti gatal-gatal, muncul bintik berisi cairan, bahkan nyeri hebat. Namun, hasil laboratorium tidak menemukan penyebab yang jelas. Hal ini yang membuat kami tertarik untuk menelitinya lebih jauh,” ungkap Abdus Salam, ketua tim riset.
Racun Sangga sendiri dipercaya dikirim melalui perantara khodam atau jin oleh seorang dukun dengan bantuan ritual, mantra, dan sesajen tertentu. Konon, semakin kuat ritual dilakukan, semakin berat pula penderitaan korban.
Hasil riset tim PKM-RSH UMB menemukan tiga dimensi utama fenomena Racun Sangga, yakni: medis (luka mirip infeksi tanpa sebab medis), psikologis (ketakutan, kecemasan, trauma), dan spiritual (dipandang sebagai kutukan atau sihir yang dilarang dalam ajaran Islam).
“Fenomena ini menunjukkan bahwa kesehatan fisik, mental, dan spiritual masyarakat saling berkaitan. Racun Sangga bukan sekadar mitos, melainkan realitas sosial yang nyata di Kalimantan,” tambah salah satu anggota tim.
Penelitian ini juga menyingkap sisi lain Racun Sangga yang sarat nilai kultural. Ia mencerminkan cara masyarakat menafsirkan sakit, mencari penjelasan saat medis tak mampu memberi jawaban, sekaligus menunjukkan kuatnya hubungan budaya, keyakinan, dan kesehatan.
Dengan temuan ini, tim PKM UMB berharap lahir pemahaman yang lebih komprehensif serta ruang dialog antara kearifan lokal, ilmu kedokteran, dan nilai spiritual. Harapannya, masyarakat tidak lagi terjebak stigma maupun ketakutan, tetapi mampu menyikapi Racun Sangga dengan lebih rasional, bijak, dan berlandaskan iman.