Mohon tunggu...
Sahrul Ramadhan Amry
Sahrul Ramadhan Amry Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi Penggiat Politik, sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat dan Revolusi Industri 4.0

24 Maret 2019   02:56 Diperbarui: 24 Maret 2019   03:05 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika masuk di lingkungan kampus, kita akan disuguhkan pemandangan khas iklan dan brand-nya para artis yang dikonsumsi oleh mahasiswa. Dari ujung kaki sampai rambut semuanya meniru gaya artis dan iklan televisi. 

Berpenampilan menarik dan gaya hidup kelas menengah atas menjadi pemandangan yang kita lihat setiap hari. Dari sepatu Adidas, Nike, New Balancedengan harga yang cukup mahal, namun tetap laris manis di pasaran. Dari pembersih muka yang diiklankan oleh Al-Ghazali dan Chelsea Islan, kita semua mengonsumsinya. Dari merek baju distro seperti Nimco, Starcross, Frogstone, kita pun juga mengonsumsinya.

Konsumsi bukan hanya soal membeli barang dan memakainya, ia bernilai sosial dan politis. Ia menentukan cara kita berinteraksi dan hidup di lingkungan sosial kita. Konsumsi merupakan perilaku yang sulit untuk ditolak oleh siapapun. 

Ia membangun sistem, organisasi, jaringan kerja, aturan, nilai, norma, dan hukum. Mahasiswa yang mengonsumsi produk-produk artis ini bukannya tidak sadar bahwa ia diperdaya oleh iklan, namun ia menginginkan eksistensi sosial dan menunjukkan citra diri bahwa ia merupakan seseorang yang mempunyai selera yang tinggi terhadap segala hal menyangkut barang-barang yang ia beli. 

Sekarang kita sudah tidak mengenal perbedaan antara artis dan mahasiswa. Kedua kategori sosial ini melebur menjadi satu, yang membedakan hanyalah profesinya saja. 

Mahasiswa yang tingkat perekonomiannya sebenarnya tidak menentu (masih mengandalkan kiriman uang orang tua) merasa bahwa ia pun bisa bergaya seperti artis papan atas. Ia bebas memilih dan itu merupakan persamaan hak. Bahwa yang boleh membeli produk mahal bukan hanya kelas menengah atas, namun mahasiswa pun boleh membelinya.

Demokrasi dan persamaan dalam hal mengonsumsi ini merupakan sebuah peradaban baru yang tidak kita temukan semasa negara ini masih terbelenggu kolonialisme dan imperialisme. Bahwa dulu yang boleh memakai jas dan sepatu kulit hanyalah Belanda dan golongan ningrat saja, sementara rakyat jelata dilarang memakainya karena tidak pantas bagi orang kere bergaya layaknya orang penggede. 

Di masa sekarang tentunya hal itu tidak akan terjadi, karena semua orang bebas memilih barang dan membelinya, tidak peduli status sosial-ekonominya, yang dipedulikan hanyalah Anda punya uang untuk membeli atau tidak! Tentunya hal ini lebih demokratis dan agak manusiawi, namun bukan waktunya kita untuk memikirkan perasan moral ini. 

Kita justru harus lebih berpikir rasional, mengapa gaya hidup seperti ini menjadi sistem sosial dan perilaku yang diterima oleh semua orang? Apa penyebab sebenarnya kenapa kita hidup seakan dijajah dan dieksploitasi oleh barang-barang konsumsi?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita perdebatkan dan diskusikan lebih serius, karena di sistem globalisasi dan pasca-industri ini kita berada dalam satu tatanan dunia yang bermain dengan sistem kapitalisme-industrial.

Sudah jelas bahwa kepentingan utamanya adalah semangat profit dan pemupukan keuntungan semaksimal mungkin, menekankan pentingnya sistem pasar bebas, pembukaan investasi dan meminimalkan peran pemerintah dalam menjalankan sistem ekonomi di sebuah negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun