Ketua PSSI sekaligus Menteri Pemuda dan Olahraga, Erick Thohir, bukan sosok baru di dunia olahraga. Sebelumnya, ia sukses membawa Perbasi dan basket Indonesia melesat tinggi. Di bawah kepemimpinannya, prestasi basket nasional meningkat signifikan, dan ketika menjadi Ketua Panitia Asian Games 2018, gelaran itu pun berjalan sukses dan mendapat apresiasi luas.
Erick Thohir memang punya rekam jejak mentereng di dunia olahraga dan bisnis. Mantan pemilik klub raksasa Italia, Inter Milan, serta saat ini terlibat dalam manajemen klub Inggris Oxford United, ia datang ke PSSI dengan visi besar: membawa sepak bola Indonesia melangkah ke panggung dunia, termasuk mimpi lolos ke Piala Dunia.
Langkah Erick pun cukup agresif. Ia memperkuat timnas dengan deretan pemain naturalisasi dari Eropa, memperbaiki manajemen, dan meningkatkan fasilitas. Namun, di tengah perjalanan, keputusan kontroversial muncul --- pemecatan Shin Tae-yong, pelatih yang telah lima tahun membangun timnas dari masa kegelapan.
Kabar berhembus bahwa pemecatan itu terjadi akibat kesalahan strategi pada laga kontra China. Sebagai penggantinya, Erick menunjuk Patrick Kluivert, legenda timnas Belanda, yang dianggap lebih berwibawa dan mampu mengatur pemain dengan pendekatan bahasa yang sama. Isu lain menyebut, salah satu alasan STY lengser karena kendala komunikasi dan gaya kepemimpinan yang keras.
Namun kenyataannya, tidak ada jalan instan menuju Piala Dunia. Setelah menempati posisi ketiga di babak sebelumnya dan berhasil menembus ronde keempat, Indonesia harus menelan pil pahit dua kali berturut-turut: kalah dari Irak dan Arab Saudi --- dua raksasa Asia Barat yang dikenal dengan gaya bermain cepat dan penuh drama.
Ya, ciri khas tim Timur Tengah selalu sama --- ketika unggul, mereka akan mengulur waktu dengan aksi teatrikal, atau yang sering disebut "drama guling-guling FC". Tapi persoalan utama bukan di sana. Kesalahan terbesar Indonesia justru datang dari internal: pilihan starting line-up yang tidak tepat.
Patrick Kluivert, seperti halnya Shin Tae-yong di masa lalu, tampak keliru menurunkan pemain-pemain baru dalam laga berintensitas tinggi. Nama-nama seperti Marc Klok, Beckham Putra, dan Yakob Sayuri seharusnya dimasukkan bertahap, bukan langsung di laga besar. Di level seperti ini, sekecil apa pun blunder bisa berakibat fatal.
Setelah kekalahan dari Arab Saudi, perubahan dilakukan pada laga kontra Irak. Permainan timnas lebih hidup dan menjanjikan, namun kembali saja nasib buruk datang: blunder fatal dari Rizky Ridho berujung gol lawan. Ironisnya, hampir semua kesalahan berujung gol dalam dua laga terakhir datang dari pemain Liga 1 --- sebuah catatan serius bagi kualitas kompetisi domestik kita.
PR Besar untuk PSSI dan Erick Thohir
Jika Indonesia benar-benar ingin menembus Piala Dunia, fondasinya bukan hanya di level timnas. Liga harus dibenahi terlebih dahulu. Kualitas kompetisi menentukan kualitas pemain. Dari sana lahir mental, teknik, dan kedisiplinan yang mumpuni.
PSSI harus punya peta jalan (road map) sepak bola 100 tahun ke depan, sebagaimana dilakukan Jepang. Mereka membangun sistem, bukan sekadar mengganti pelatih. Dari pembinaan usia dini, infrastruktur, hingga kompetisi yang sehat dan berkelanjutan --- semuanya berjalan terencana.
Masih ada waktu dua tahun lagi sebelum Piala Asia 2027. Indonesia punya skuad potensial, ditambah para pemain naturalisasi yang sudah mulai menyatu. Tapi jika akar masalah di Liga 1 dan pembinaan muda tidak diperbaiki, mimpi menuju Piala Dunia hanya akan jadi mimpi yang diulang setiap empat tahun.
Untuk saat ini, dengan segala drama, kesalahan, dan kurangnya pondasi sistemik --- Indonesia memang belum layak lolos ke Piala Dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI