Mohon tunggu...
sahlarafida
sahlarafida Mohon Tunggu... mahasiswa

saya adalah mahasiswa yg rajin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah yang Menghargai Nilai, Tapi Melupakan Nilai-Nilai

18 Juli 2025   15:02 Diperbarui: 18 Juli 2025   15:02 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa Sekolah Dasar (Sumber: Unsplash)

Di banyak ruang kelas, senyap yang tercipta bukan karena murid-murid tenggelam dalam perenungan, tetapi karena mereka takut salah. Takut nilai mereka jatuh, takut tidak sesuai standar. Hari demi hari, pendidikan formal menjadi ajang perlombaan angka. Nilai ujian jadi tolok ukur utama, sedangkan nilai-nilai kehidupan-seperti kejujuran, empati, rasa ingin tahu, dan kerja sama-terkubur di balik lembar-lembar soal pilihan ganda.

Sistem pendidikan kita sering kali lupa bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi pembentukan manusia seutuhnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak didorong untuk menghafal, bukan memahami. Ditekan untuk meraih angka sempurna, bukan mengeksplorasi proses. Mereka dipuji saat mendapatkan nilai seratus, tetapi jarang dihargai saat menunjukkan integritas atau keberanian bertanya "mengapa".

Ironisnya, bahkan sejak sekolah dasar, anak-anak sudah mengenal kata "peringkat". Mereka mulai membandingkan diri. Mereka tahu siapa yang juara kelas, siapa yang di bawah rata-rata. Dari kecil mereka dibentuk untuk berlomba, bukan berkolaborasi. Tak heran jika banyak anak tumbuh dengan kecemasan akademik yang tinggi, merasa identitasnya ditentukan oleh rapor, bukan oleh karakter atau keunikan pribadinya.

Nilai akademik memang penting, tak ada yang menyangkal. Tapi ketika itu menjadi satu-satunya tujuan, maka pendidikan kehilangan rohnya. Kita lupa bahwa pendidikan ideal seharusnya membentuk manusia yang berpikir kritis, berempati, berani salah, dan mampu hidup berdampingan dengan sesama secara manusiawi.

Seorang guru bisa dengan mudah memberi angka 90 pada sebuah tugas, tapi apakah ia juga memberi ruang bagi murid untuk berdiskusi, mengutarakan pendapat, bahkan menentang pendapat guru dengan argumen yang sehat? Dalam ruang kelas yang terlalu dikontrol oleh kurikulum kaku dan penilaian mekanis, kreativitas dan keberanian berpikir justru menjadi barang langka.

Anak-anak tumbuh menjadi pelajar yang tahu cara menjawab soal, tapi bingung menjawab tantangan hidup. Mereka mungkin hafal rumus fisika dan bisa menjelaskan reaksi kimia, tapi tak tahu bagaimana mengelola emosi saat kecewa, atau memahami perbedaan pendapat tanpa menyerang. Di sinilah letak persoalan besar pendidikan kita: terlalu mengejar hasil, dan terlalu sedikit ruang untuk proses menjadi manusia.

Tentu, bukan berarti semua guru dan semua sekolah bersikap demikian. Banyak pendidik hebat yang berjuang setiap hari menanamkan nilai-nilai di tengah sistem yang serba target. Mereka bukan sekadar pengajar, tapi juga pembimbing dan pendengar. Namun upaya individu sering kali kalah oleh sistem yang lebih besar, yang terus menuntut pencapaian numerik sebagai bukti keberhasilan.

Evaluasi dalam bentuk angka memang praktis. Ia memberikan kesan objektif. Tapi kehidupan nyata tidak pernah sesederhana itu. Seorang murid yang dapat nilai 70 tapi jujur dan pekerja keras, kadang lebih siap menghadapi dunia daripada yang selalu dapat nilai 100 tapi mengandalkan contekan. Di sinilah urgensi meninjau ulang paradigma pendidikan kita.

Bayangkan jika sekolah menjadi ruang aman. Tempat anak merasa boleh gagal, boleh mencoba, boleh bertanya "kenapa" tanpa takut ditertawakan. Tempat yang mengajarkan bukan hanya cara lulus ujian, tapi juga cara memahami diri sendiri dan orang lain. Pendidikan seperti inilah yang seharusnya menjadi cita-cita kita.

Kini, saat dunia berubah cepat, tantangan baru datang dari berbagai arah. Teknologi berkembang, pekerjaan berubah, dan kehidupan sosial makin kompleks. Dalam dunia seperti ini, anak-anak tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga ketahanan mental, etika, kemampuan bekerja sama, dan kesadaran akan keberagaman. Semua itu tak akan mereka dapatkan hanya dari hafalan dan nilai ujian.

Kita butuh pendidikan yang tidak hanya menghargai nilai, tapi juga nilai-nilai. Pendidikan yang memanusiakan murid, bukan menjadikan mereka angka-angka dalam statistik. Pendidikan yang menanamkan keberanian berpikir dan berempati, bukan sekadar menekan mereka untuk selalu benar.

Perubahan ini tentu tidak mudah. Ia menuntut keberanian dari semua pihak-guru, orang tua, sekolah, bahkan pemerintah-untuk memikirkan ulang apa arti keberhasilan dalam pendidikan. Apakah keberhasilan itu semata-mata nilai tinggi dan gelar prestisius? Ataukah ia mencakup kemampuan menjadi warga yang peduli, manusia yang berpikir, dan individu yang bahagia?

Ada banyak cerita murid yang trauma dengan sekolah karena perlakuan yang terlalu menekankan hasil akademik. Mereka kehilangan rasa percaya diri hanya karena tidak bisa mengikuti standar tertentu. Padahal, tiap anak punya cara belajar yang berbeda, punya keunikan yang tak selalu bisa diterjemahkan dalam bentuk angka. Pendidikan yang baik seharusnya mampu melihat itu.

Sebaliknya, ada pula cerita inspiratif tentang sekolah-sekolah yang mulai berani menerapkan sistem pembelajaran berbasis proyek, menekankan kolaborasi, dan memberi ruang bagi refleksi diri. Di sekolah seperti ini, murid tidak sekadar dididik, tapi juga dilibatkan. Mereka merasa dihargai sebagai individu yang punya suara, bukan hanya sebagai peserta didik yang harus patuh.

Sudah saatnya kita membongkar mitos bahwa pendidikan adalah soal ranking dan rapor. Sebab yang akan membentuk masa depan bangsa bukan hanya mereka yang pintar menghitung, tapi juga yang tahu cara memperlakukan sesama dengan hormat. Bukan hanya mereka yang cerdas menjawab soal, tapi juga yang mampu menghadapi hidup dengan etika, empati, dan keberanian.

Jika pendidikan adalah cermin dari masyarakat yang ingin kita bangun, maka mari pastikan cerminnya tak retak karena obsesi angka. Mari jadikan sekolah tempat anak-anak belajar menjadi manusia, bukan mesin pencetak nilai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun