Mohon tunggu...
Sahirah Irawan
Sahirah Irawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Still studying anywhere.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Toleransi Politik

3 Maret 2021   13:35 Diperbarui: 3 Maret 2021   19:21 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Representatif dari toleransi politik adalah adanya keberagaman partai politik. Melihat ke belakang, di Indonesia pada tahun 50-an akan diberlakukan piagam Jakarta, tetapi karena ada aspirasi dari non muslim bahwa "konstitusinya akan berlaku diskriminatif jika hanya untuk orang Islam saja", ketika aspirasi-aspirasi itu disampaikan, disepakatilah. Tahun 2001-2002 Indonesia mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila. Mayoritas wakil-wakil kita adalah beragama Islam, tetapi merekalah yang menyadari dan melakukan kesepahaman untuk Pancasila sebagai dasar negara. Indonesia bersandar pada Pancasila, itu merupakan hadiah emas dari umat Islam untuk Indonesia, bahwa Islam tidak memaksakan kehendak negara ini menjadi negara Islam. Lantaran jika dipaksakan akan terjadi konflik dan diskriminasi.

Ada keragaman dan toleran, artinya menerima keragaman tersebut, itulah toleransi. Dalam studi politik mempelajari toleransi caranya sangat sederhana, misalnya dalam contoh toleransi politik; kita sebagai muslim apakah bisa menerima orang non muslim menjadi pejabat publik? Atau apakah boleh seorang perempuan menjadi anggota Dewan? atau lagi, di lingkup etnik misalnya; apakah boleh Tionghoa atau China mencalonkan menjadi pejabat publik? Orang toleran akan menjawab boleh. Toleransi akan mengatakan bahwa setiap orang punya hak, sama di muka hukum dan negara. Toleransi sosial misalnya apakah Anda siap bertetangga dengan gay? Atau Anda keberatan diperiksa oleh dokter (dr) perempuan? Atau perbedaan ideologi dalam konsep toleransi, misal; apakah keberatan jika orang komunis menjadi pejabat publik? Secara toleran, dia berhak menjadi pejabat publik, bukan karena paham komunisnya, tetapi haknya dan karena dia warga negara yang harusnya ditoleransi. Yang lebih penting adalah jika dia warga negara, dia tetap berhak mencalonkan diri. Apapun pahamnya. Namun di Indonesia hal ini jelas tidak berlaku, sejenis komunis, ISIS, HTI dilarang. Dari sisi aturan, dari perspektif demokrasi hal itu sebenarnya melanggar aturan, orang punya hak untuk menjadi komunis, ISIS, atau HTI. Selama dia manusia, jadi tidak boleh menghakimi orang karena perbedaan paham, itulah toleransi.

Untuk mewujudkan toleransi politik  secara penuh di negeri kita (Indonesia), ada hambatan. Bukan hanya hambatan plural tetapi hambatan konstitusional. Hambatan-hambatan tersebut yang membatasi antara boleh atau tidaknya suatu hal, atau sejenis ideologi untuk ada di Indonesia. Dengan adanya hambatan-hambatan tersebut sebenarnya mengajarkan kita warga negara Indonesia untuk mencintai Pancasila.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun