Mohon tunggu...
Sahel Muzzammil
Sahel Muzzammil Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Laman untuk berbagi pemikiran tanpa bermaksud menggurui

Bercita-cita menjadi pembelajar sampai akhir hayat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Filantropi Islam untuk Indonesia

1 Mei 2017   18:15 Diperbarui: 2 Mei 2017   00:05 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.banyuanyar.com/wp-content/uploads/2016/06/islam-ped.jpg

A. PENDAHULUAN

Setiap satuan waktu terkecil, Allah SWT senantiasa memberikan anugerah untuk dunia beserta isinya. Sungguh anugerah dari-Nya itu tidak terhitung dan tidak akan mampu dihitung oleh sesuatu apapun, kecuali oleh Ia sendiri.

Salah satu anugerah-Nya, yang dikenal sebagai rahmatan lil ‘alamin, adalah agama Islam yang diturunkan-Nya melalui Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Anbiya: 107, yang berbunyi sebagai berikut:

Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.

Sejalan dengan firman-Nya dalam Q.S. Al-Anbiya: 107, difirmankan pula oleh Allah SWT dalam Q.S. Al-Maidah: 3 tentang kesempurnaan Islam. Bunyi Q.S.Al-Maidah: 3 ialah:

… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu … .

Agama yang sempurna (Islam), yang Allah SWT turunkan melalui Nabi Muhammad SAW memang merupakan anugerah bagi seluruh manusia. Meski demikian, tidak seluruh manusia mampu melihat fakta tersebut. Sebagian manusia, dikarenakan ketidaksempurnaannya, tidak mampu melihat kesempurnaan Islam. Oleh karenanya bukanlah hal yang aneh jika di belahan bumi tertentu, sebagian kecil atau sebagian besar manusianya tidak memeluk atau bahkan membenci agama Islam.

Indonesia termasuk negara yang beruntung karena mayoritas penduduknya mampu melihat Islam sebagai anugerah dan oleh karenanya memeluk agama Islam. Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan sensus penduduk yang dilakukannya pada tahun 2010, mencatat bahwa Indonesia memiliki 237,6 juta penduduk dan 207,2 juta di antaranya memeluk agama Islam.[1] Kondisi demikian menjadikan Indonesia dan Islam berhubungan sangat erat, dan bahkan memiliki cita-cita yang sejalan. Cukup dengan mempelajari Al-Qur’an dan Pancasila, kesejalanan antara Indonesia dan Islam akan terlihat.

Sayangnya, fakta kesejalanan Islam dan Indonesia belakangan ini seringdikonfrontasi dengan pendapat-pendapat yang pada pokoknya menempatkan ajaran-ajaranIslam pada posisi kontra-NKRI. Oleh oknum-oknum tertentu, agama Islam seringdisebut sebagai agama kekerasan, non-demokratis, intoleran, diskriminatif, danlain-lain. Pendapat-pendapat serupa tuduhan itu tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan,karena hanya didasari dalil-dalil dangkal dan kesesatan berpikir (logical fallacy). Untuk menjawabpendapat-pendapat itulah tulisan ini dibuat. Harapannya adalah agar pendapat-pendapat tersebut tidak menjadi stereotip yang berkembang di masyarakatIndonesia, baik hari ini maupun di masa mendatang.

B. PEMBAHASAN

Sejatinya, dalam konteks hubungan antar-sesama manusia Islam dapat disebut sebagai agama filantropi. Filantropi berarti cinta kasih (kedermawanan dan sebagainya) kepada sesama.[2] Ajaran-ajaran Islam yang murni sangat menentang kekerasan dan diskriminasi, juga sangat menjunjung sikap demokratis dan toleransi. Oleh karenanya keliru apabila ajaran-ajaran Islam disebut kontra-NKRI. Semua nilai yang terkandung dalam Pancasila, jauh sebelumnya telah menjadi bagian dari ajaran-ajaran Islam. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan, adalah nilai-nilai dalam Islam yang dahulu disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sampai saat ini tetap disyiarkan oleh setiap pengikutnya.

Islam melarang berbuat kekerasan dan diskriminasi, serta memerintahkan untuk  bersikap demokratis dan toleran. Hal itu dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, dan sumber-sumber hukum (Islam) lainnya. Untuk memperjelasnya, simaklah uraian di bawah ini.


LARANGAN MELAKUKAN KEKERASAN DALAM ISLAM

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kekerasan sebagai:[3] (1) perihal (yang bersifat, berciri) keras; (2) perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; (3) paksaan. Berbuat kekerasan sangat dilarang dalam Islam. Dalil Qur’an yang paling populer tentang larangan itu ada dalam Q.S. Al-Maidah: 32, yang menyatakan bahwa barang siapa membunuh satu orang manusia lainnya (bukan karena orang tersebut membunuh atau membuat kerusakan di muka bumi), maka si pembunuh itu dianggap seolah telah membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang  siapa memelihara kehidupan satu orang manusia lainnya, maka si pemelihara itu dianggap seolah telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.

Secara kontekstual, ayat ini diturunkan Allah SWT untuk kaum Banî Isrâ’îl. Alasannya karena mereka telah mencapai puncak keburukan dalam pembunuhan. Mereka yang di bunuh oleh kaum Banî Isrâ’îl adalah manusia-manusia suci yang diutus Allah SWT sebagai nabi dan rasul-rasul.[4]

Penyebutan Banî Isrâ’îl secara khusus tidak menjadikan hukum yang Allah SWT tetapkan itu hanya berlaku untuk Banî Isrâ’îl. Menyangkut hal ini, dapat dirujuk penjelasan dalam tafsir Ibnu Katsir, dimana dikemukakan dialog antara Usman Ibnu Affan R.A. dan Abu Hurairah. Dialog tersebut diakhiri dengan pernyataan Usman Ibnu Affan yang pada pokoknya mengandung arti bahwa apabila Abu Hurairah membunuh seorang manusia, itu seolah sama dengan membunuh seluruh manusia.[5]

Penjelasan dalam tafsir Ibnu Katsir itu bersesuaian dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Maidah: 32. Hal itu sekaligus menunjukan bahwa hukum yang Allah SWT tetapkan dalam Q.S. Al-Maidah: 32 tidak hanya berlaku bagi kaum Banî Isrâ’îl, melainkan berlaku untuk seluruh manusia.

Larangan berbuat kekerasan dapat pula dilihat melalui ayat-ayat yang secara substansi memerintahkan berbuat lemah lembut. Mengenai hal ini, dapat dirujuk Q.S. Ali-Imran: 159 yang berbunyi sebagai berikut:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Q.S. Ali-Imran: 159 merupakan tuntunan yang Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad SAW. Penjelasan-penjelasan dalam ayat ini sebenarnya bertolak dari peristiwa yang terjadi dalam perang Uhud, yang oleh Quraish Shihab disebut dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemahlembutan Nabi Muhammad SAW. Beliau bermusyawarah dengan kaum muslimin sebelum memutuskan berperang, juga menerima usul mayoritas mereka walau Nabi Muhammad SAW sendiri kurang berkenan. Nabi Muhammad SAW tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markasnya, tetapi hanya menegurnya dengan halus dan lain-lain.[6] Sesungguhnya dalam ayat ini dijelaskan bahwa sifat lemah lembut Nabi Muhammad SAW itu adalah rahmat dari Allah SWT.

Bagi umat muslim, perilaku Nabi Muhammad SAW adalah patokan untuk berperilaku. Oleh karenanya Q.S. Ali-Imran: 159 sejatinya merupakan tuntunan pula untuk seluruh umat muslim. Lemah lembut dan anti kekerasan, itulah sebenar-benarnya karakter bagi muslim yang taat kepada Allah SWT dan cinta kepada Rasulullah SAW.


LARANGAN MELAKUKAN DISKRIMINASI DALAM ISLAM

Perbedaan perlakuan terhadap sesama (berdasarkan SARA, kekuatan ekonomi, dan sebagainya) merupakan hal yang dilarang dalam Islam. Di atas telah disebutkan Q.S. Al-Maidah: 32 yang menunjukan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an semua manusia (apapun ras, keturunan, dan agamanya) adalah sama dari segi kemanusiaan.[7]

Persamaan perlakuan terhadap sesama adalah bagian dari keadilan, dan keadilan adalah bagian dari ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisâ: 135 sebagai berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Perintah Allah SWT untuk berperilaku adil dapat pula ditemukan dalam Q.S. Al-Maidah: 8, yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dapat dilihat bahwa Q.S. Al-Maidah: 8 ini memiliki redaksi yang serupa dengan Q.S. An-Nisâ: 135. Namun dalam Q.S. An-Nisâ: 135, penekanan yang diberikanadalah supaya berbuat adil meskipun itu terhadap diri sendiri, orang tua, maupun kerabat. Sedangkan dalam Q.S. Al-Maidah: 8, penekanan yang diberikan adalah supaya tetap berbuat adil meskipun terhadap suatu kaum yang dibenci.

Berdasarkan firman-firman Allah SWT di atas, menjadi jelas bahwa Islam menolak segala bentuk diskriminasi. Islam menghendaki keadilan ditegakan terhadap siapapun tanpa terkecuali. Sebab, seperti yang Allah SWT katakan, adil itu lebih dekat dengan takwa.


PERINTAH BERSIKAP DEMOKRATIS DALAM ISLAM

Istilah demokratis merupakan pengembangan dari kata demokrasi yang secara etimologis berasal dari kata demos (rakyat), dan kratos (pemerintahan). Istilah demokrasi sendiri saat ini telah memiliki banyak definisi. Menurut Rahmat Yasin, saat ini definisi demokrasi yang paling populer adalah definisi yang diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat ke-16). Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[8]

Jauh sebelum dikenalnya nama Abraham Lincoln, Nabi Muhammad SAW sebenarnya telah mempraktikan sikap dan perilaku yang di era kekinian disebut sebagai sikap dan perilaku demokratis. Lihatlah kembali halaman sebelumnya, dimana Q.S. Ali-Imran: 159 dijelaskan. Seorang utusan Allah SWT, Khalifah teragung bagi kaum muslimin, sebelum memutuskan berperang masih terlebih dahulu bermusyawarah dengan kaumnya. Ia bahkan menerima usul dari mayoritas kaumnya meskipun ia sendiri kurang berkenan dengan usul tersebut. Setelah melihat contoh-contoh tersebut, masihkah ajaran Islam dapat disebut tidak demokratis?

Selain Q.S. Ali-Imran: 159 pun masih ada ayat lainnya yang sejatinya membuktikan Islam sebagai agama demokratis. Salah satunya ialah Q.S. Asy-Syûrâ:38. Bunyi ayat ini ialah:

Dan orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat dan urusan mereka adalah musyawarah antara mereka; dan dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan.

Setelah ayat-ayat yang lalu (ayat-ayat sebelum ayat 38 dalam Q.S Asy-Syûrâ) menguraikan hal-hal yang selalu dihindari oleh orang-orang yang wajar memperoleh kenikmatan abadi, ayat 38 Q.S Asy-Syûrâ bagaikan menyatakan bahwa kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi mereka yang benar-benar memenuhi seruan Tuhan, bagi mereka yang melaksanakan shalat secara berkesinambungan serta sempurna, bagi mereka yang urusan kemasyarakatannya diputuskan melalui musyawarah, dan bagi mereka yang menafkahkan sebagian rezeki yang Allah SWT beri untuk mereka.[9]

Ayat ini menempatkan musyawarah dalam urusan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kenikmatan abadi bagi orang yang menjalankannya. Berdampingan dengan itu adalah mereka yang taat kepada Tuhannya, mereka yang mendirikan shalat, dan mereka yang menafkahkan rezeki dari-Nya. Ini menunjukan bahwa Islam memandang musyawarah sebagai hal yang penting. Oleh karenanya merupakan kekeliruan apabila ajaran Islam disebut tidak demokratis.


PERINTAH BERSIKAP TOLERAN DALAM ISLAM

Berbicara tentang toleransi dalam Islam, ada satu ayat yang sangatdikenal oleh kaum muslimin, yaitu Q.S. Al-Kâfirûn: 6 yang berbunyi:

Bagi kamu agama kamu, dan bagi ku agama ku.

Ayat ini turun setelah ayat-ayat yang lalu menegaskan tidak mungkinnya ada titik temu dalam ajaran Islam dengan kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allah (Q.S. Al-Kâfirûn: 1-5). Oleh sebab itu, ayat ke-6 Q.S. Al-Kâfirûn menetapkan cara pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat, yakni bagi kamusecara khusus agama kamu, dan bagi kujuga secara khusus agama ku. [10]

Q.S. Al-Kâfirûn: 6 bukanlah satu-satunya ayat Qur’an yang mengandung konsepsi toleransi. Ada beberapa ayat lain dalam Qur’an yang dapat dijadikanrujukan ketika berbicara tentang toleransi, di antaranya adalah Q.S.Al-Baqarah:256 yang menyatakan:

Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat … .

dan Q.S. Saba’: 24-26 yang menyatakan:

… “Dan sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam kesesatan yang nyata”. Katakanlah: “kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kami pun tidak akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu”. Katakanlah: “Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di antara kita dengan benar, sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”.

Melalui Q.S.Al-Baqarah: 256, Allah SWT menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamakan Islam yang berarti damai. Kedamaian tidak dapat diraih jika jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.[11]

Sedangkan melalui Q.S. Saba’: 24-26, Allah SWT menggambarkan bagaimana seorang muslim seharusnya berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan lain. Meskipun sudah pasti setiap penganut agama tertentu menganggap agama yang dianutnya itulah yang paling benar dan agama selain yang dianutnya ialah yang salah, Allah SWT tidak menghendaki hambanya mempertontonkan anggapan itu, apalagi di tengah masyarakat plural.[12] Demikianlah Allah SWT menghendaki hambanya bersikap toleran. Maha suci Allah dengan segala firman-Nya.

C. PENUTUP

Membahas keindahan ajaran-ajaran Islam bukanlah perkara yang mudah. Ketika manusia (kecuali Rasulullah SAW) berusaha menjelaskannya, mungkin akan selalu ada keindahan yang luput dari pengungkapan. Sebab keindahan dalam ajaran-ajaranIslam yang mampu manusia tangkap, belum seluruhnya keindahan yang terkandungdalam ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Uraian-uraian di atas sudah pasti jauh dari kata lengkap, apalgi sempurna dalam mengungkapkan keindahan ajaran Islam. Meski demikian, uraian diatas telah cukup untuk menampik tuduhan-tuduhan bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama diskriminatif, agama non-demokratis, agama intoleran, dan agama yang kontra-NKRI. Islam hanya dapat disebut kontra-NKRI apabila NKRI itu telah menjadi negara yang tidak berketuhanan, diktator, negara yang tidak menegakan keadilan, dan lain-lain yang secara substansial berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila. Singkatnya, selama NKRI masih menempatkan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara, Islam tidak akan pernah kontra terhadap NKRI.

Fakta bahwa dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi berperilaku jahat (keras, otoriter,diskriminatif, intoleran, dan lain sebagainya) tidak memberi arti bahwa agama Islam mengajarkan penganutnya berperilaku demikian. Jika melalui fakta tersebut diambil kesimpulan bahwa agama Islam adalah agama yang mengajarkan keburukan, maka semua keyakinan dan agama yang dikenal di dunia ini patut pula disebutsebagai agama yang mengajarkan keburukan. Sebab selalu ada dan akan selalu ada manusia yang mengaku menganut suatu agama tetapi berperilaku menyimpang dari ajaran agamanya tersebut.

Perlu dikemukakan pula, tuduhan bahwa Islam kontra-NKRI secara tidak langsung merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap sejarah. Sejarah mencatat bahwa umat Islam berperan penting dalam memerdekakan serta mengisi kemerdekaan negeri ini. Banyak pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, mengorbankan jiwa dan raga mereka sambil mengucap takbir. Bahkan dasar negara yang sampai saat ini Indonesia miliki, tidak terlepas dari sumbangsih pemikiran-pemikiran umat muslim.

Pada akhirnya memang harus dipahami bahwa kelahiran Indonesia tidak terlepas dari ajaran-ajaran Islam yang dikebumikan oleh hamba-hamba Allah SWT. Tanpa adanya Islam, Indonesia tidak akan pernah lahir. Dan tanpa adanya Islam, Indonesia tidak akan bertahan hidup.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

[1] Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Politik 2016. (Jakarta: BPS. 2016). Hal.170.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun