Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Silap

18 Oktober 2019   11:18 Diperbarui: 18 Oktober 2019   11:31 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari website https://www.kayfabenews.com pada 18-10-2019 11:18

Frida segera menarik pakaiannya ketika sorot lampu senter menerangi semak-semak. Dia tinggalkan teman lelakinya yang masih tertidur pulas setalah mengambil semua isi dompetnya. Suara teriakan dan cacian terdengar jelas dibelakang mengiringi langkah kakinya yang semakin cepat. Dia berlari menuju sungai besar. Saat sampai di tepi sungai Aku mengambil bagian. Aku berjalan seolah sedang mencari kucingku yang hilang.

Dia mengambil bagian kembali ketika hendak memasuki bilik kos, membuang baju ke dalam bak dan melemparkan tubuhnya ke kasur. Aku datang menghampirinya, memperhatikan tubuhnya yang gemetar. Hanya dengan memperhatikan matanya, aku dapat mengetahui apa yang baru saja menimpanya.

Alih-alih menyapa, matanya justru melirik sinis padaku. Dengan napas yang tidak teratur dia menuduhku. "Kamu pasti yang memberitahu mereka."

"Kamu tidak perlu berprasangka terhadapku. Mengurai terang yang aku pancarkan menjadi praduga yang menyudutkanku. Mengabaikan kenyataan lain tentang faedah kehadiranku di Duniamu." Aku tahu jika kemarahannya tidak segera dihentikan, mungkin dia akan melakukan sesuatu yang merugikan kami.

"Tidak ada seorang pun yang tahu aku di sana kecuali dirimu. Tapi pemuda itu mendatangi kami seolah mengetahui sesuatu." Ucap Frida dengan mata nanar penuh air mata.

"Terkadang dirimu bersembunyi dalam keremangan yang jauh dari jangkauanku untuk menyimpan lembar-lembar rahasia yang sengaja kamu pendam bersama orang terkasihmu." Aku berdiri di depannya membelai rambutnya dan memilinnya dengan keempat jariku.

Kebekuan mendekap kami dan melahirkan kebungkaman baru. Seolah Frida tidak lagi ingin berdebat denganku. Dia membaringkan tubuhnya menghadap tembok membelakangiku. Aku tahu dia menangis saat itu.Aku biarkan dia menuntaskan kekesalan dan ketakutannya.

Mendadak seluruh kampung dipenuhi suara kentongan. Para pemuda berlarian memeriksa setiap rumah mencari perempuan yang lari dari semak. Sosok perempuan yang mungkin saja mereka kenal dengan baik. " Ini kampung agamis. Tidak boleh ternoda oleh ulah perempuan itu." Terdengar suara seorang pemuda mengumpat di jalanan gang samping kos Frida.

Frida duduk, menghapus air matanya.  " Setidaknya besok aku bisa makan." Dia menatapku bahagia.

"Ya, setidaknya kita tidak merasakan kelaparan." Jawabku mengapresiasi usahanya. Sebenarnya sudah dua bulan kami tidak cukup makan. Uang tabungan kami menipis. Sedangkan kami masih belum mendapatkan panggilan atas lamaran yang telah terkirim ke berbagai perusahaan di sekitar sana. Dengan begitu, aku memaklumi usahanya. Bahkan jauh dalam lubuk hatiku, berterima kasih atas semua yang dilakukannya.

Aku baringkan tubuhku di sampingnya. Mencoba mencari sesuatu yang mungkin dapat aku gunakan untuk menenangkan kekawatirannya. Aku ambil botol air mineral yang ada di atas meja, meminumnya beberapa teguk, memberikannya ke Frida dan memandangi keteduhan wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun