Mohon tunggu...
Sagita Primadini
Sagita Primadini Mohon Tunggu... -

menemukan kata

Selanjutnya

Tutup

Money

Minimarket Membeludak, Usaha Kecil Rakyat Mati

23 Desember 2013   19:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://www.pattayaphotos.net/images/7-eleven_update.jpg

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber : http://www.pattayaphotos.net/images/7-eleven_update.jpg"][/caption]

Membeludaknya minimarket modern dalam beberapa tahun terakhir ini membuat para pedagang rokok eceran yang  merupakan usaha kecil rakyat kecil, resah.

Maraknya minimarket modern tak lepas dari kebijakan pemerintah yang memberi kelonggaran bagi pemodal  menengah dan besar untuk mendirikan minimarket. Terlihat dari berdekatannya minimarket itu  satu sama lain. Padahal setiap minimarket rata-rata membutuhkan modal sekitar 400 juta. Hanya pengusaha kelas menengah dan atas saja yang mampu memiliki modal sejumlah itu.

Bahkan konsep minimarket yang mula-mula hanya untuk belanja sekarang sudah sangat berkembang misalnya minimarket yang menyediakan tempat nongkrong bagi pembelinya (berkonsep convenience store) misalnya Circkle K, Seven Eleven, dan Lawson, serta Alfamart dan Indomart yang mengikuti trend tersebut. Konsep minimarket semacam ini membutuhkan modal yang lebih besar lagi. Kebijakan ini membuat para pedagang pelan-pelan tersungkur.

Bandingkan dengan modal yang diperlukan untuk membuat sebuah kios rokok eceran sederhana di pinggir jalan. Paling mahal kios rokok eceran milik rakyat kecil ini membutuhkan modal Rp 10 – 15 juta. Sedangkan untuk penjual minuman botol, modal yang dikeluarkannya sekitar Rp 5 – 7 juta.

Di sini terlihat bahwa pemerintah sangat tidak pro rakyat kecil. Kebijakan pemerintah itu dilakukan dengan dalih untuk memajukan ekonomi dan tata ruang kota yang baik.  Masyarakat menjadi lebih suka berbelanja di minimarket karena lebih nyaman  karena sejuk dan bersih.

Padahal harga yang dipatok pedagang ini relatif murah dibanding minimarket sehingga untung yang dikantongi para pedagang itupun sangat tipis. Misalnya harga rokok Djarum Super di pedagang eceran  Rp 11.000 sedangkan di Alfamart atau Seven Eleven bisa mencapai Rp 11.400 – Rp 11.900. Contoh lain adalah minuman  Mi-zone di warung rokok seharga Rp 3.500 sedangkan di Seven Eleven bisa mencapai Rp 4.500. Meski lebih mahal, masyarakat lebih menyukai ke minimarket itu.

Jika harus bersaing, maka jelas pedagang rokok eceranlah yang akan mengalami kerugian sangat signifikan. Mereka kalah dan kemudian mati.

Dengan situasi ini, sebenarnya pemerintah (terutama pemerintah daerah) harus tanggap terhadap nasib para pedagang rokok eceran ini. Namun kenyataannya pemerintah hanya berdiam diri  dan tidak mempersoalkan itu dan menganggap seolah-olah tidak terjadi apa-apa terhadap hal tersebut.

Apakah Pemerintah telah dibeli oleh pemilik modal perusahaan-perusahaan minimarket tersebut? Hingga mereka hanya berdiam diri, lebih mementingkan isi dompet dan isi perutnya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun