Di tengah maraknya pendidikan formal yang berfokus pada nilai ujian, kurikulum seragam, dan orientasi sertifikasi, muncul sebuah gagasan yang sederhana namun sarat makna: Sekolah Rakyat. Meski tampak sederhana dan belum merata, gerakan ini menyimpan potensi transformasi sosial yang besar --- terutama jika kita meninjaunya dari lensa sosioantropologi pendidikan: bahwa pendidikan sejatinya adalah praktik sosial kultural, bukan sekadar aktivitas institusional.
Inisiatif Sekolah Rakyat mulai menarik perhatian publik dan politik ketika Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menyerukan implementasinya yang cepat di seluruh wilayah. Desain program ini sangat ambisius, mencakup fasilitas asrama, materi pembelajaran, seragam, laptop, bahkan dukungan orang tua dan bantuan renovasi rumah sebagai bagian dari paket terpadu. Pemerintah memposisikan Sekolah Rakyat bukan sekadar "program pendidikan", tetapi sebagai strategi holistik untuk memberdayakan keluarga dan masyarakat melalui pendekatan intervensi sosial yang terpadu.
Sekolah Rakyat yang telah beroperasi di beberapa daerah telah memberikan gambaran nyata bagaimana program ini di implementasikan. Fasilitas yang di sediakan seperti Asrama dan Ruang belajar sudah cukup baik dalam mendukung kenyamanan siswa. Dalam rutinitas sehari-hari siswa dilatih untuk mempraktikan kedisiplinan mulai dari bangun tidur dan menjaga kebersihan kamar hingga berolahraga, beribadah, dan mematuhi jadwal belajar dan tidur yang terstruktur yang semuanya merupakan komponen integral dalam pembentukan karakter.
Meskipun Sekolah rakyat ini memiliki visi yang menarik, bukan berarti implementasi sekolah rakyat di dunia nyata tidak menghadapi tantangan. Salah satu masalah utama dalam program ini yaitu Infrastruktur fisik, banyak daerah belum membangun gedung baru, dan memilih untuk memanfaatkan fasilitas yang ada terlebih dahulu,. Kendala seperti keterbatasan ruang, pendanaan pemerintah daerah, dan koordinasi antar lembaga masih menjadi kendala yang memerlukan pengelolaan yang baik. Namun disitulah letak menariknya program ini, Sekolah Rakyat sering kali dikelola secara swadaya. Tidak ada gedung megah, seragam mahal, atau ujian standar. Namun, di sanalah letak kekuatannya: pendidikan kembali menjadi milik rakyat. Masyarakat berperan aktif, bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pencipta proses pendidikan itu sendiri.
Dari sudut pandang sosioantropologi, penting untuk menyadari bahwa keberhasilan Sekolah Rakyat melampaui struktur dan fasilitas fisiknya. Pendidikan yang mampu mendorong transformasi sosial harus melibatkan dinamika kekuatan lokal, norma budaya, dan sistem nilai masyarakat. Pertanyaan utamanya adalah apakah warga akan menerima sekolah sebagai agen perubahan atau menganggapnya sebagai "proyek eksternal" ,keterlibatan guru dan fasilitator lokal dalam perencanaan dan pelaksanaannya sama pentingnya tanpa partisipasi mereka, sekolah berisiko menjadi entitas yang asing dalam Masyarakat.
Jika kita lihat lebih dalam mengenai program sekolah rakyat maka perlu diberikan perhatian lebih mengenai kelanjutan setelah lulus. Meskipun komitmen untuk menyediakan beasiswa dan kesempatan kerja telah digagas, masih ada pertanyaan tentang apakah "ekosistem lokal" termasuk dunia usaha, universitas, dan jaringan ketenagakerjaan benar-benar siap menyerap para lulusan ini. Tanpa kesiapan tersebut, Sekolah Rakyat berisiko menjadi sekadar program pendidikan formal biasa, dan gagal mendorong transformasi sosial yang sesungguhnya.
Sekolah Rakyat merupakan gerakan sosial-budaya : sebuah upaya pendidikan yang muncul dari dorongan masyarakat sendiri untuk melepaskan diri dari siklus kemiskinan, alih-alih inisiatif pemerintah yang bersifat top-down. Gerakan ini menumbuhkan kesadaran bersama bahwa warga negara bukanlah penerima intervensi yang pasif, melainkan agen transformasi yang aktif. Dipandang sebagai forum pertukaran budaya, Sekolah Rakyat berpotensi untuk meremajakan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan tanggung jawab sosial, sekaligus menyelaraskan pendidikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, meskipun skala dan jangkauannya masih kecil, kapasitas transformatifnya dapat menjadi kekuatan dasar bagi perubahan masyarakat yang lebih luas.
Namun demikian, agar gerakan akar rumput ini dapat bertahan, gerakan ini harus didukung oleh kelanjutan politik yang konsisten, sumber daya keuangan yang berkelanjutan, keterlibatan masyarakat yang bermakna, dan evaluasi berkelanjutan. Dengan komponen-komponen ini yang bekerja secara harmonis, Sekolah Rakyat dapat berkembang menjadi laboratorium sosial untuk Indonesia yang lebih berkeadilan tidak hanya memajukan akses pendidikan tetapi juga keadilan struktural yang lebih mendalam dalam masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI