Gelombang demonstrasi yang terus berlangsung belakangan ini seakan menjadi cermin wajah demokrasi kita. Ia memperlihatkan adanya keresahan yang tumbuh di masyarakat---tentang kebijakan yang dianggap merugikan, ketidakadilan yang dirasakan, hingga tuntutan perubahan yang terus disuarakan.Â
 Namun, di balik riuhnya massa di jalanan, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah demonstrasi benar-benar lahir murni dari suara rakyat, atau ada skenario besar yang mengaturnya?
Media dan ruang digital memainkan peran vital dalam menjawab pertanyaan itu. Kamera, headline, dan potongan video di media sosial mampu mengubah demonstrasi dari sekadar aksi lokal menjadi drama nasional. Framing yang dipilih media bisa menampilkan wajah demo sebagai perjuangan heroik, tetapi bisa juga menggarisbawahi sisi anarkis dan menakutkan. Inilah yang membuat publik sering terbelah: apakah kita sedang menyaksikan perjuangan tulus, atau sekadar sebuah panggung kekuasaan yang diatur dengan rapi.
 Tak bisa dipungkiri, mobilisasi massa yang cepat, logistik yang tersusun rapi, hingga narasi yang seragam sering kali menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan tertentu di baliknya. Keresahan rakyat memang nyata, tetapi ia bisa diarahkan, dikemas, bahkan dieksploitasi untuk tujuan politik. Â
 Demonstrasi pun akhirnya tidak hanya menjadi ekspresi rakyat, melainkan juga strategi politik untuk menggeser legitimasi, membangun konsensus baru, atau menunjukkan kekuatan kepada lawan.
 Publik pun akhirnya ditempatkan pada posisi ambigu sebagai penonton. Mereka menyaksikan demonstrasi lewat layar televisi, membaca berita daring, hingga menyebarkan potongan video di media sosial. Namun penonton ini tidak pasif. Mereka ikut menafsirkan, berkomentar, membela, atau mengecam.Â
 Opini pun terbelah: ada yang memuja demonstran sebagai pejuang keadilan, ada pula yang mencaci mereka sebagai perusuh bayaran. Polarisasi ini jelas bukan kebetulan, melainkan bagian dari cara rekayasa sosial bekerja---menggiring masyarakat untuk memilih posisi, memecah belah solidaritas, dan pada akhirnya menguntungkan aktor tertentu.
 Karena itu, membaca demonstrasi tidak bisa dilakukan secara hitam putih. Tidak adil jika ia hanya dipandang sebagai ekspresi tulus rakyat, tetapi juga keliru jika dianggap sepenuhnya dikendalikan oleh elite. Realitas jauh lebih kompleks: ada kepentingan berlapis-lapis, simbol yang multitafsir, dan narasi yang terus diproduksi ulang oleh media. Jalanan, dengan segala keramaiannya, memang bisa menjadi panggung besar rekayasa sosial.Â
 Tugas kita sebagai warga adalah tetap kritis, agar tidak sekadar menjadi penonton yang terseret arus drama politik, melainkan menjadi masyarakat yang sadar bahwa ada permainan kuasa yang sedang dipertontonkan di depan mata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI