Mohon tunggu...
Safa Buana Ramadhani
Safa Buana Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030145

Masih belajar menulis maaf kalau berantakan, semoga artikel disini bermanfaat. Selamat membaca semuanyaa!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah Pilu Joko Umbaran dan Wot Galeh Yogyakarta

23 Juni 2021   07:25 Diperbarui: 23 Juni 2021   08:18 4093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pintu masuk / brilio.net

Apakah kalian pernah mendengar nama Masjid Sulthoni Wot Galeh atau bahkan pernah mengunjunginya? Masjid yang berada di tengah area kebun tebu dekat dengan mabes pashkas AU Jogjakarta dan Bandara Adisutjipto yang tepatnya di daerah Wot Galeh, Berbah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Masjid ini didirikan pada masa Mataram Islam, tahun 1600 M dan milik Keraton Yogyakarta yang masuk dalam cagar budaya dan dijadikan oleh Keraton sebagai salah satu Masjid Pathok Negoro. Masjid ini tidak hanya berperan sebagai tempat beribadah, namun di samping masjid terdapat kompleks pemakaman yang cukup terkenal dan dijadikan tempat untuk mujadahan oleh beberapa ulama.

kompleks makam / correcto.id
kompleks makam / correcto.id

Menurut cerita yang beredar dan sebagai mitos banyak kejadian yang telah terjadi, yaitu apabila pesawat melintasi di atas makam tersebut maka akan terjatuh. Meskipun dekat dengan bandara dan pangkalan militer, tidak ada satupun pesawat yang berani melintasi di atas makam. Lalu, siapakah yang bersemayam di makam tersebut?

Dalam kompleks makam adalah makam dari Pangeran Purboyo, beserta keluarga, pengikut dan abdi dalem Pangeran Purboyo. Beliau adalah anak pertama yang sempat tidak diakui oleh ayahnya yaitu Panembahan Senopati. Kisah yang terjadi tidak hanya berdarah tetapi juga penuh prihatin dan haru.

Sebelum membahas tentang Pangeran Purboyo lebih lanjut, ada sebuah kisah tentang dua orang sahabat yaitu Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Dalam kisah yang beredar, Ki Ageng Giring yang bertapa dan ingin mendapatkan kemuliaan akhirnya mendapatkan wahyu berupa kelapa muda, apabila seseorang meminum air kelapa muda itu maka dia akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Suatu hari Ki Pemanahan datang kerumah Ki Ageng Giring dan melihat kelapa muda tersebut. Karena rasa haus yang tak tertahankan, akhirnya air kelapa itu diminumnya hingga habis tanpa mengetahui wahyu dari kelapa muda itu. Ki Ageng Giring yang mengetahui peristiwa tersebut menjadi kecewa.

Akhirnya terjadilah perjanjian antara 2 sahabat tersebut tentang siapa yang akan menjadi penguasa di tanah Jawa. Dengan niat mempererat ikatan persaudaraan dan demi membangun kekuatan politik maka Ki Pemanahan mengusulkan untuk menikahkan putranya yaitu Danang Sutowijoyo dengan putri dari Ki Ageng Giring yang bernama Roro Lembayung. Namun, apakah para mempelai menerima pernikahan ini?

Danang Sutowijoyo tidak bisa menolak permintaan ayahnya dan akhirnya mereka menikah, tetapi perjodohan ini tidak menyenangkan hati Danang Sutowijoyo. Karena menurut dia paras yang dimiliki istrinya buruk rupa. Tidak hanya itu saja, Sutowijoyo malu memiliki istri yang lebih tua umurnya dari dirinya.

Meski demikian ketika Roro Lembayung mengandung, Sutowijoyo memilih untuk menggenggam cita-cita menjadi raja di Jawa dan meninggalkan sang istri yang berada di desa. Saat kembali ke Mataram Sutowijoyo menggantikan posisi ayahnya menjadi penguasa Mataram dan gelar yang dia miliki yaitu Panembahan Senopati. Bahkan Sutowijoyo sudah menikah kembali dengan 3 istri dan memiliki 14 anak.

Roro Lembayung yang sudah ditinggal pergi begitu saja akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki lalu diberi nama Joko Umbaran, nama tersebut memiliki arti seorang anak lelaki yang terlantar. Nama ini cocok dengan kondisi yang dialami bayi laki-laki ini karena ditelantarkan ayahnya yang ingin meraih impiannya. Joko Umbaran menjalani kehidupan masa kecil hingga remaja bersama ibunya Roro Lembayung yang kini bergelar Kanjeng Ratu Giring.

Saat menginjak usia remaja Joko Umbaran mulai mempertanyakan siapakah ayah kandungnya, sang ibu yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjawab pertanyaan dengan mengalihkan perhatian. Tetapi, karena rasa keingintahuan sang anak dan terus mendesak ibunya agar menjawab, akhirnya sang ibu memberitahu tetapi dengan memberi teka-teki "ayahmu adalah pemilik alun-alun di Mataram".

Berangkatlah Joko Umbaran ke Mataram yang terletak di alas Mentaok atau Kotagede, saat diperjalanan Joko Umbaran bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya siapakah pemilik dari alun-alun itu. Akhirnya terjawablah sudah bahwa pemilik tersebut adalah Panembahan Senopati. Joko Umbaran yang mengetahui jawaban tersebut ingin menemui sang ayah tapi hal tersebut tidaklah mudah karena menemui seorang penguasa.

Joko Umbaran memiliki ide yaitu dengan sedikit membuat kekacauan sampai ditangkap prajurit Mataram, dengan begitu akhirnya dia dihadapkan kepada Panembahan Senopati. Lalu dia menceritakan bahwa dia adalah anak dari Roro Lembayung yang berasal dari Giring. Mendengar cerita tersebut, untuk diakui sebagai anak, Panembahan Senopati mengajukan teka-teki "Aku memiliki sebuah keris, tapi telanjang tanpa warangka (sarung keris). Coba tanyakan pada ibumu, di manakah warangka keris ini berada!".

Teka-teki ini membuat Joko Umbaran harus pulang untuk mendapatkan jawaban dari ibunya. Sesampainya dirumah, Joko Umbaran menceritakan apa yang terjadi dan mengatakan teka-teki yang diberikan kepada Panembahan Senopati kepada dirinya. Sang ibu paham maksud dari teka-teki tersebut dan tahu apa yang menjadi keinginan dari Panembahan Senopati yaitu nyawa dari Roro Lembayung, karena ingin menutup rasa malu dari khalayak ramai bahwa Roro Lembayung adalah istrinya.

Ketika dalam posisi Joko Umbaran mengelus-elus keris ligan itu maka Roro Lembayung merangsek kedepan, kemudian keris ligan itu menusuk ke dada dan dengan tambahan satu tekanan lagi keris itu semakin masuk kedalam. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Roro Lembayung berkata "Ini demi kemuliaanmu, nak". 

Kemudian, Joko Umbaran kembali ke Mataram menghadap ayahnya dan menceritakan semuanya yang sudah terjadi, Panembahan Senopati yang mendengar cerita tersebut langsung mengakui bahwa Joko Umbaran adalah anak kandungnya dan saat itu juga diberi gelar Pangeran Purboyo.

Pangeran Purboyo adalah putra tertua yang berasal dari istri pertama yang dahulu ditinggalkan, namun beliau bukanlah putra mahkota. Konon karena keturunan atau silsilah Pangeran Purboyo yang membuat ayahnya tidak berkenan menjadikan Pangeran Purboyo sebagai putra mahkota. Namun, ada alasan lain yaitu telanjur sakit hati karena sikap ayahnya kepada ibunya maka Pangeran menolaknya.

Meskipun Pangeran Purboyo bukan putra mahkota dan juga bukan penguasa Mataram, tetapi jasa-jasanya sangat banyak dan luar biasa. Dalam usia yang sudah senja, akhirnya Pangeran Purboyo meninggal pada bulan Oktober tahun 1676 ketika terjadi Pemberontakan Trunojoyo.

Pangeran Purboyo gugur dalam pertempuran tersebut karena dikeroyok oleh prajurit dari Makassar dan Madura dengan dibantu Belanda dan dimakamkan di Wot Galeh yang terletak di dusun Noyokerto, Sendangtirto, Berbah, Sleman. Beliau tidak dimakamkan di Imogiri karena bukan keturunan raja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun