Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ode buat Para Guru Zaman Kuno hingga Zaman Modern

15 Februari 2018   15:37 Diperbarui: 15 Februari 2018   15:49 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: www.umdah.co.id

Guru tewas di tangan muridnya, hebohlah beritanya. Kita perlu mengerek bendera setengah tiang tanda berduka bagi dunia pendidikan di Indonesia. Tewasnya Ahmad Budi Cahyono guru seni budaya SMAN 1 Torjun Sampang Madura itu menyadarkan dunia pendidikan, betapa beresikonya seorang guru dalam membangun insan cendikia, larik terakhir pengganti pahlawan tanpa jasa pada lagu Himne Guru pada zaman kekinian.

Kalau kita mau menyelusuri jejak-jejak kisah para guru pada jaman baheula, jaman kuno, peranan, martabat dan derajat guru sangat istimewa. Taruhlah pada kisah-kisah dunia persilatan, dunia kanguow di dalam cersil, cerita silat seperti kisah Kwe Ceng, Thio Boeki dan Yo Ko dalam Sin Tiauw Enhiong atau Sin Tiauw Hiap Lu karangan Chin Yung itu, pendekar-pendekar sakti itu sangatlah menghormati para suhu dan subo mereka. Mereka siap mati membela atau membalaskan dendam suhu atau subonya.

Dalam jagad kanguow, khususnya para murid kepala plonthos perguaruan Siuw Lim Swie, mereka sebelum turun gunung untuk membaktikan diri dan membela kebenaran, para hwesio itu digembleng dengan latihan-latihan dahsyat. Untuk memperdalam ilmu lwekang  ataupun ginkang mereka melalui proses latihan yang sangat berat. Tidak pernah mengeluh atau protes. Kalau membangkang malah dihajar habis-habisan.

Di dalam jagad pewayangan, sama saja. Murid siap mati untuk melaksanakan perintah sang guru. Para kesatria Pandawa Lima dari Negeri Amarta terutama Bima atau Werkudara sangatlah patuh dan hormat kepada gurunya Pandita Resi Durna. Padahal, Resi Durna guru bagi keluarga Bharata sering mencelakakan murid-muridnya para putra Prabu Pandu Dewanata demi membela para Kurawa.

Pada lakon Bima Suci  Bima disuruh mencari "Air Perwitasari dan Pusatnya Angin" oleh Bima diterima dengan utuh seadanya. Bima pun tanpa pikir panjang lebar, berangkat mencari air Perwitasari dan pusatnya angin. Bima terjun ke samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci lalu disuruh masuk lewat telinga menuju perut Sang Dewa Ruci dan akhirnya mendapat wejangan "Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu" mantra ilmu sakti yang dibeberkan sang guru sejatinya, Dewa Ruci.

Kisah-kisah para pahlawan superhero jagad pewayangan pun seperti Bima, Gathotkaca, Antareja, Antasena dan Wisanggeni, semenjak mrocot lahir sudah digembleng super dahsyat oleh para dewa dengan dimasukkan ke Kawah Candradimuka atau diadu dengan raja-raja sakti yang mengacau kahyangan.

Kembali ke dalam dunia nyata. Pada kultur perguruan olah kanuragan untuk mendapatkan ilmu kesaktian, kekebalan, ajian atau jimat para cantrik harus ngabdi sedemian rupa kepada gurunya. Prihatin, puasa dll. sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dan kesaktiannya. Dilakoni saja tanpa protes atau lapor orang tua. Demikian pula para santri sangat patuh, hormat, mituhu pada kyainya yang menurunkan ilmu-ilmu agama.

Saya masih ingat, jaman saya kecil, tetangga saya disegani dan dihormati, ia lebih terkenal dipanggil Pak Mantri, setingkat sinder, maka sering dipanggil Ndara Mantri atau Ndara Sinder. Kalau jaman sekarang ya, penilik atau pengawas, setingkat lebih tinggi dari guru bahkan kepala sekolah. Memang di Tanah Jawa pada jaman kolonial guru dipanggil Ndara Guru. Masyarakat sangat menghormati.

Di wilayah kultur Melayu guru dipanggil engku untuk guru laki-laki dan encik guru perempuan. Di Malasya juga panggilanya seperti itu, ingat Ipin-Upin memanggil gurunya Cikgu. Ketika saya TK guru saya dipanggil Juffrouw, dan Mevrouw bagi yang sudah menikah. Saya tidak diajar oleh Meneer karena TK satu kompleks dengan SR, anak-anak SR memanggil gurunya Suster yang memang selibat. Nah, ketika saya di SD dan SMP ada guru yang dipanggil bruder. Waktu SD dan SMP sekolah saya dipisah gedungnya, laki-laki sendiri, perempuan sendiri.

Pada jaman pergerakan guru-guru di Perguruan Taman Siswa para gurunya dipanggil Ki bagi guru laki-laki dan Nyi guru perempuan yang sudah nikah, kalau belum menikah dipanggil Ni. Jaman Jepang guru dipanggil sensei, di madrasah atau sekolah berbasis keagamaan guru dipanggil uztad. Untuk lebih menghormati malah ada yang memanggil syech atau kyai. Uztad biasanya panggilan untuk guru agama, tetapi saya pernah memberikan ekstrakurikuler di sekolah IT (Islam Terpadu) semua guru dipanggil uztad. Ketika saya mengajar di sekolah nasional dwibahasa, Inggris dan Mandarin, gurunya dipanggil Laoshi, Sir dan Miss.

Begitulah kisah para guru dari jaman kuno, "zaman old" hingga "zaman now". Di zaman now, jaman milenial kekinian ternyata tantangannya, bebannya dan resikonya jauh lebih berat. Kalau guru jaman kuno sangat dihormati, satu profesi yang mriyayeni dipercaya dan disegani oleh masyarakat, zaman old walau bebas njambak, ngeplak murid tidak apa-apa, tetapi penghasilannya memprihatinkan, oleh karena itu dilecehkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun