Drama ini juga menyuguhkan nuansa romantis yang lembut, berbeda dari drama-drama populer yang sering menekankan konflik cinta segitiga. Romansa dalam Bon Apptit, Your Majesty tumbuh pelan, seperti adonan pajeon yang dipanggang dengan sabar, hingga akhirnya matang sempurna.
Namun, drama ini juga punya kelemahan. Alurnya di pertengahan episode agak melambat. Ada bagian di mana kisah cinta terasa repetitif, seolah hanya mengulang dialog tanpa kemajuan signifikan. Penonton yang terbiasa dengan drama cepat bisa merasa bosan.
Konflik utama juga terkesan kurang tajam. Drama ini lebih banyak menekankan suasana hati, interaksi lembut, dan kehangatan, sehingga bagi sebagian orang mungkin terasa terlalu ringan. Mereka yang mencari ketegangan atau drama besar mungkin merasa kurang terpuaskan.
Selain itu, meskipun visual makanan ditampilkan memikat, ada kalanya terasa overused. Beberapa penonton mungkin bertanya: apakah semua adegan harus berpusat di meja makan? Bagi saya pribadi, itu bukan masalah, tapi saya bisa memahami bila ada yang merasa terlalu bertele-tele.
Jika dibandingkan dengan drama lain bertema makanan seperti Let's Eat yang penuh keceriaan modern, atau drama fantasi seperti Rooftop Prince yang sarat intrik, Bon Apptit, Your Majesty berdiri di tengah: hangat, tenang, penuh rasa, tapi tidak selalu menegangkan. Itu kelebihan sekaligus kelemahan---tergantung dari apa yang dicari penonton.
Meski begitu, kelemahan itu tidak serta-merta membuat drama ini gagal. Justru, dengan ritme yang pelan, Bon Apptit, Your Majesty memberi kesempatan pada penonton untuk berhenti sejenak, bernapas, dan merasakan. Di dunia yang serba cepat, drama ini seperti jeda: seperti semangkuk sop ayam hangat di malam hujan, sederhana tapi menenangkan.
Dari sisi sinematografi, drama ini berhasil membuat makanan tampil seperti bintang utama. Kamera sering menyorot detil: uap panas yang naik dari mangkuk, tetes kuah yang jatuh pelan, atau potongan sayur yang masih segar. Semua itu membuat saya hampir bisa mencium aromanya. Tapi di balik estetika visual, yang paling kuat adalah emosi. Drama ini tahu bagaimana membuat makanan menjadi bagian dari narasi, bukan sekadar tempelan.
Menonton drama ini seperti duduk di meja makan panjang bersama keluarga besar. Ada tawa, ada canda, ada diam, ada rasa yang sulit dijelaskan. Dan saat layar menampilkan pajeon atau samgyetang, saya merasakan nostalgia: tentang malam-malam hujan di Jakarta ketika saya menyantap gorengan di pinggir jalan, atau tentang pagi Minggu ketika ibu memasakkan sop ayam kampung sebagai penghangat badan.
Akhirnya, bagi saya Bon Apptit, Your Majesty bukan hanya sebuah drama romansa fantasi. Ia adalah pengingat bahwa makanan adalah jembatan---antara masa lalu dan masa kini, antara Korea dan Indonesia, antara layar kaca dan kehidupan nyata.
Jika pajeon bisa mengingatkan saya pada martabak telur, samgyetang pada sop ayam kampung atau soto Betawi, dan kimchi pada asinan Betawi, maka drama ini sudah berhasil: ia membuat saya menemukan bagian diri saya sendiri di dalam kisah yang berasal dari budaya lain.
Bukankah itu inti dari sebuah cerita yang baik? Bukan hanya menghibur, tetapi juga membangkitkan rasa---rasa lapar, rasa hangat, rasa cinta, dan rasa keterhubungan sebagai manusia. Bon Apptit, Your Majesty bukan hanya tontonan, melainkan juga santapan jiwa---seperti hidangan hangat yang membuat kita pulang, meski hanya lewat layar kaca