Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dalang di Balik Hambatan Pembangunan Kilang

3 Oktober 2025   14:01 Diperbarui: 3 Oktober 2025   16:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan kilang minyak merupakan salah satu kebutuhan strategis Indonesia untuk mewujudkan kemandirian energi dan memperkuat ketahanan nasional. Namun, selama lebih dari empat dekade, Indonesia belum mampu membangun kilang baru meskipun kebutuhan energi dalam negeri terus meningkat dan impor bahan bakar semakin membebani neraca perdagangan, menguras devisa negara, dan melemahkan ketahanan energi nasional.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: siapa sebenarnya dalang di balik gagalnya pembangunan kilang baru di Indonesia? Apakah kegagalan ini sekadar akibat kendala teknis, ataukah ada jaringan kepentingan politik, mafia energi, dan tekanan asing yang dengan sengaja menghambat upaya Indonesia untuk mandiri dalam penyediaan energi?

Padahal dalam catatan sejarah, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir minyak mentah terbesar di dunia, terutama pada era 1970--1980-an ketika produksi minyak mencapai lebih dari 1,6 juta barel per hari.

Namun, seiring menurunnya kapasitas produksi akibat lapangan tua dan lemahnya eksplorasi, Indonesia berubah menjadi net importir minyak sejak awal 2000-an. Ironisnya, meskipun kebutuhan BBM terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi, Indonesia tak kunjung membangun kilang baru sejak Kilang Balongan (1994).

Akibatnya, kapasitas kilang nasional hanya sekitar 1,1 juta barel per hari, jauh tertinggal dari kebutuhan konsumsi domestik yang mencapai lebih dari 1,6 juta barel per hari pada 2023. Defisit inilah yang membuat impor BBM terus membengkak dan membuka ruang rente yang dinikmati oleh segelintir kelompok.

Ketiadaan pembangunan kilang baru selama puluhan tahun mencerminkan adanya persoalan struktural dalam tata kelola migas nasional. Salah satu faktor utama adalah keberadaan mafia migas yang menguasai rantai impor BBM.

Setiap kali Indonesia mengimpor BBM, terdapat potensi rente miliaran dolar yang bisa dinikmati oleh pihak-pihak tertentu melalui praktik mark-up harga, pengaturan tender, hingga permainan distribusi.

Bagi kelompok mafia, keberadaan kilang domestik justru dianggap ancaman karena akan mengurangi ketergantungan terhadap impor dan sekaligus memangkas ruang rente yang selama ini mereka nikmati. Oleh karena itu, pembangunan kilang seringkali diperlambat, digagalkan, atau dibuat sekadar proyek wacana tanpa realisasi nyata.

Selain mafia migas, pejabat korup juga memainkan peran sentral dalam melanggengkan status quo. Dalam berbagai kasus, pejabat publik memiliki keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan bisnis impor migas, baik melalui perusahaan cangkang, jaringan perantara, maupun hubungan patronase dengan pihak swasta.

Mereka lebih memilih mempertahankan mekanisme impor yang menguntungkan ketimbang memperjuangkan kedaulatan energi. Tidak jarang, pejabat yang seharusnya menjadi pengambil kebijakan justru berperan sebagai penghisap rente dengan memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri melalui kontrak impor jangka panjang. Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan yang sistemik dan membuat pembangunan kilang domestik tidak pernah menjadi prioritas nasional.

Selain itu, kepentingan asing juga menjadi variabel penting dalam kegagalan Indonesia membangun kilang baru. Perusahaan-perusahaan minyak global memiliki kepentingan besar untuk mempertahankan pasar ekspor BBM ke Indonesia. Dengan menjadikan Indonesia sebagai importir terbesar di Asia Tenggara, mereka memperoleh keuntungan stabil dari penjualan produk hilir.

Bagi negara-negara produsen minyak, posisi Indonesia sebagai pembeli tetap harus dipertahankan agar neraca perdagangan mereka tetap surplus. Dengan kata lain, membiarkan Indonesia bergantung pada impor BBM merupakan bagian dari strategi geopolitik energi global. Melalui berbagai mekanisme, mulai dari tekanan diplomatik, lobi politik, hingga pengaruh dalam negosiasi investasi, kepentingan asing kerap menghambat realisasi pembangunan kilang nasional.

Kegagalan proyek kilang seringkali ditutupi dengan jargon modernisasi atau upgrade kilang lama. Misalnya, proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) yang digagas Pertamina sejak 2014, hingga kini banyak yang belum mencapai target signifikan. Proyek kilang Tuban yang sempat digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional dengan investasi puluhan miliar dolar juga tertunda karena tarik-menarik kepentingan.

Tidak jarang, proyek tersebut kandas setelah proses panjang akibat tidak adanya kesepakatan dengan investor asing yang sejak awal lebih mengedepankan keuntungan ketimbang kepentingan nasional. Hal ini memperlihatkan betapa pembangunan kilang di Indonesia rentan dijadikan arena permainan politik ekonomi global.

Di sisi lain, retorika pemerintah mengenai kemandirian energi seringkali tidak sejalan dengan praktik di lapangan. Setiap pergantian pemerintahan, wacana pembangunan kilang selalu digaungkan sebagai bagian dari visi kedaulatan energi. Namun, kenyataannya, proyek-proyek tersebut selalu terbentur masalah birokrasi, korupsi, dan tarik-menarik kepentingan.

Banyak studi mengungkap bahwa regulasi di sektor migas justru memperkuat peluang rente. Misalnya, mekanisme penunjukan langsung dalam pengadaan impor BBM membuka ruang besar bagi mafia untuk bermain. Bahkan, pembentukan badan khusus pengawas migas, seperti BPH Migas, kerap dipolitisasi sehingga tidak efektif dalam mengawasi praktik rente.

Dampak dari ketergantungan impor BBM tidak hanya terbatas pada masalah fiskal, melainkan juga merembet pada aspek geopolitik. Sebagai negara dengan kebutuhan energi besar, Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia.

Setiap kenaikan harga minyak mentah otomatis menambah beban subsidi energi dan memperlebar defisit anggaran. Selain itu, ketergantungan terhadap impor membuat posisi tawar Indonesia lemah dalam diplomasi energi internasional. Dalam konteks ketahanan nasional, kondisi ini jelas membahayakan karena energi merupakan sektor vital yang tidak boleh dikendalikan pihak asing.

Mafia migas, pejabat korup, dan kepentingan asing membentuk segitiga kekuasaan yang sulit ditembus. Mafia migas menikmati keuntungan dari rantai impor, pejabat korup mendapatkan rente melalui jabatan, sementara kepentingan asing memastikan pasarnya tetap terbuka. Ketiga aktor ini saling menopang dan menciptakan status quo yang merugikan rakyat.

Mereka menghalangi reformasi struktural dan mempermainkan kebijakan energi agar tetap menguntungkan kelompok terbatas. Dalam logika ekonomi politik, hal ini disebut sebagai "path dependency", di mana sistem yang koruptif menciptakan mekanisme yang mengunci diri sehingga sulit untuk diubah tanpa intervensi besar.

Korupsi dan rente yang mengakar juga menjelaskan mengapa investasi asing dalam pembangunan kilang seringkali gagal. Banyak investor yang mundur setelah menyadari bahwa proyek kilang di Indonesia sarat dengan praktik rente dan ketidakpastian hukum. Mereka khawatir modal besar yang ditanamkan justru tersandera oleh birokrasi dan politik rente.

Hal ini memperparah citra Indonesia sebagai negara yang tidak ramah investasi di sektor strategis. Dengan kata lain, mafia migas dan pejabat korup tidak hanya menghalangi pembangunan kilang, tetapi juga merusak iklim investasi nasional.

Bila ditinjau dari perspektif ekonomi politik internasional, kegagalan Indonesia membangun kilang merupakan contoh klasik dari apa yang disebut sebagai "resource curse" atau kutukan sumber daya. Meskipun memiliki cadangan minyak dan pasar energi besar, Indonesia tidak mampu memanfaatkannya secara optimal karena institusi yang lemah dan korupsi yang merajalela. Sebaliknya, negara-negara lain yang mampu membangun kilang justru menikmati surplus energi dan meningkatkan daya tawar global mereka.

Contoh nyata adalah Singapura yang, meskipun tidak memiliki cadangan minyak, berhasil menjadi hub kilang dan perdagangan minyak dunia. Kontras ini semakin menegaskan bahwa masalah utama Indonesia bukan pada sumber daya alam, melainkan tata kelola yang buruk akibat dominasi mafia dan pejabat rente.

Ketidakmampuan membangun kilang juga mencerminkan lemahnya visi jangka panjang dalam kebijakan energi nasional. Pemerintah cenderung berpikir dalam kerangka lima tahunan yang sejalan dengan siklus politik, sementara pembangunan kilang memerlukan konsistensi jangka panjang.

Dalam kondisi seperti ini, mafia dan pejabat korup memanfaatkan kelemahan institusional untuk memasukkan kepentingan jangka pendek yang menguntungkan mereka. Hasilnya, Indonesia terjebak dalam lingkaran impor, subsidi, dan defisit energi yang tidak kunjung terpecahkan.

Masyarakat pada akhirnya menjadi korban terbesar dari permainan rente. Harga BBM yang tinggi, subsidi energi yang membengkak, dan lemahnya ketahanan energi semuanya ditanggung oleh rakyat melalui pajak dan pengurangan belanja publik. Sementara itu, mafia migas dan pejabat rente terus memperkaya diri tanpa tersentuh hukum.

Upaya pemberantasan mafia migas pun seringkali gagal karena mereka memiliki jaringan politik yang kuat. Bahkan, ketika pemerintah membentuk Satgas khusus untuk memberantas mafia migas, hasilnya tidak pernah signifikan karena aktor-aktor tersebut justru memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.

Dalam jangka panjang, ketergantungan impor BBM akan semakin membahayakan posisi Indonesia, terutama dalam menghadapi transisi energi global. Negara-negara lain mulai beralih ke energi baru dan terbarukan, sementara Indonesia masih berkutat dengan ketidakmampuan membangun kilang.

Kondisi ini berpotensi membuat Indonesia semakin tertinggal dalam peta energi dunia. Mafia migas, pejabat rente, dan kepentingan asing sesungguhnya bukan hanya menghambat pembangunan kilang, tetapi juga menghalangi transformasi energi yang berkelanjutan.

Untuk keluar dari jeratan ini, diperlukan keberanian politik (political will) yang nyata dari pemerintah. Pemberantasan mafia migas tidak bisa hanya sebatas jargon, melainkan harus disertai dengan reformasi struktural, transparansi dalam impor BBM, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pejabat korup.

Pembangunan kilang harus ditempatkan sebagai prioritas strategis, bukan sekadar proyek ekonomi. Selain itu, Indonesia harus berani menegosiasikan ulang hubungan energi internasionalnya agar tidak selalu berada dalam posisi subordinat.

Secara normatif, pembangunan kilang bukan hanya masalah teknis, melainkan soal kedaulatan bangsa. Energi adalah fondasi dari kemandirian ekonomi dan keamanan nasional. Selama Indonesia masih dikuasai oleh mafia migas, pejabat rente, dan kepentingan asing, kedaulatan energi hanya akan menjadi slogan kosong.

Sejarah panjang kegagalan membangun kilang harus dijadikan pelajaran bahwa tanpa reformasi mendasar, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran rente dan ketergantungan.

Dengan demikian, bahwa mafia migas, pejabat korup penghisap rente, dan kepentingan asing merupakan aktor utama di balik tak kunjung terbangunnya kilang di Indonesia. Ketiganya saling berkelindan dalam menciptakan status quo yang merugikan rakyat dan negara.

Persoalan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek geopolitik, ketahanan nasional, dan masa depan energi Indonesia. Jalan keluar hanya dapat dicapai melalui keberanian politik, reformasi institusional, dan kesadaran nasional bahwa kedaulatan energi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun