Hal ini memperparah citra Indonesia sebagai negara yang tidak ramah investasi di sektor strategis. Dengan kata lain, mafia migas dan pejabat korup tidak hanya menghalangi pembangunan kilang, tetapi juga merusak iklim investasi nasional.
Bila ditinjau dari perspektif ekonomi politik internasional, kegagalan Indonesia membangun kilang merupakan contoh klasik dari apa yang disebut sebagai "resource curse" atau kutukan sumber daya. Meskipun memiliki cadangan minyak dan pasar energi besar, Indonesia tidak mampu memanfaatkannya secara optimal karena institusi yang lemah dan korupsi yang merajalela. Sebaliknya, negara-negara lain yang mampu membangun kilang justru menikmati surplus energi dan meningkatkan daya tawar global mereka.
Contoh nyata adalah Singapura yang, meskipun tidak memiliki cadangan minyak, berhasil menjadi hub kilang dan perdagangan minyak dunia. Kontras ini semakin menegaskan bahwa masalah utama Indonesia bukan pada sumber daya alam, melainkan tata kelola yang buruk akibat dominasi mafia dan pejabat rente.
Ketidakmampuan membangun kilang juga mencerminkan lemahnya visi jangka panjang dalam kebijakan energi nasional. Pemerintah cenderung berpikir dalam kerangka lima tahunan yang sejalan dengan siklus politik, sementara pembangunan kilang memerlukan konsistensi jangka panjang.
Dalam kondisi seperti ini, mafia dan pejabat korup memanfaatkan kelemahan institusional untuk memasukkan kepentingan jangka pendek yang menguntungkan mereka. Hasilnya, Indonesia terjebak dalam lingkaran impor, subsidi, dan defisit energi yang tidak kunjung terpecahkan.
Masyarakat pada akhirnya menjadi korban terbesar dari permainan rente. Harga BBM yang tinggi, subsidi energi yang membengkak, dan lemahnya ketahanan energi semuanya ditanggung oleh rakyat melalui pajak dan pengurangan belanja publik. Sementara itu, mafia migas dan pejabat rente terus memperkaya diri tanpa tersentuh hukum.
Upaya pemberantasan mafia migas pun seringkali gagal karena mereka memiliki jaringan politik yang kuat. Bahkan, ketika pemerintah membentuk Satgas khusus untuk memberantas mafia migas, hasilnya tidak pernah signifikan karena aktor-aktor tersebut justru memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.
Dalam jangka panjang, ketergantungan impor BBM akan semakin membahayakan posisi Indonesia, terutama dalam menghadapi transisi energi global. Negara-negara lain mulai beralih ke energi baru dan terbarukan, sementara Indonesia masih berkutat dengan ketidakmampuan membangun kilang.
Kondisi ini berpotensi membuat Indonesia semakin tertinggal dalam peta energi dunia. Mafia migas, pejabat rente, dan kepentingan asing sesungguhnya bukan hanya menghambat pembangunan kilang, tetapi juga menghalangi transformasi energi yang berkelanjutan.
Untuk keluar dari jeratan ini, diperlukan keberanian politik (political will) yang nyata dari pemerintah. Pemberantasan mafia migas tidak bisa hanya sebatas jargon, melainkan harus disertai dengan reformasi struktural, transparansi dalam impor BBM, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pejabat korup.
Pembangunan kilang harus ditempatkan sebagai prioritas strategis, bukan sekadar proyek ekonomi. Selain itu, Indonesia harus berani menegosiasikan ulang hubungan energi internasionalnya agar tidak selalu berada dalam posisi subordinat.