Kapal selam, sistem rudal pesisir, dan kapal kombatan modern akan lebih efektif dan efisien dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia. Jika kapal induk dipaksakan, yang terjadi adalah pengaburan prioritas strategis yang sebenarnya lebih penting.
Dalam konteks politik domestik, rencana akuisisi kapal induk juga rawan dipolitisasi. Pemerintah bisa saja menggunakan narasi nasionalisme dan kebanggaan simbolis untuk memperkuat legitimasi, padahal secara militer keuntungan yang diperoleh sangat terbatas. Fenomena military populism ini justru berbahaya karena keputusan strategis mengenai alutsista diwarnai kepentingan politik jangka pendek, bukan analisis kebutuhan jangka panjang.
Dari perspektif biaya kesempatan, dana yang digunakan untuk membeli dan mengoperasikan kapal induk lebih baik dialokasikan untuk memperkuat diplomasi maritim. Dengan anggaran yang sama, Indonesia dapat memperluas kerja sama patroli bersama dengan negara-negara ASEAN, meningkatkan peran dalam Indian Ocean Rim Association (IORA), atau memperkuat kontribusi pada operasi perdamaian di bawah naungan PBB. Upaya semacam ini akan memperbesar pengaruh Indonesia secara regional dan global tanpa harus menanggung beban finansial yang besar.
Kemandirian strategis juga berisiko terganggu karena ketergantungan pada negara pemasok. Mengoperasikan kapal induk tua membutuhkan suku cadang dan perawatan yang mungkin tidak lagi diproduksi massal. Hal ini menimbulkan risiko logistik sekaligus diplomatik, terutama jika hubungan dengan pemasok mengalami gangguan.
Masalah lain yang sering diabaikan adalah aspek sumber daya manusia. Kapal induk memerlukan awak dalam jumlah besar dengan keterampilan khusus, mulai dari pilot pesawat tempur V/STOL, teknisi penerbangan, hingga personel pemeliharaan. Indonesia masih dalam proses membangun kapasitas SDM pertahanan yang modern. Memaksakan pengoperasian kapal induk justru dapat membebani sistem pendidikan militer yang ada, alih-alih memperkuatnya.
Secara normatif, kepemilikan kapal induk dapat mengubah citra politik luar negeri Indonesia. Selama ini Indonesia dipandang sebagai kekuatan menengah yang mengedepankan diplomasi damai dan memainkan peran sebagai honest broker. Dengan kapal induk, citra tersebut bisa bergeser ke arah negara yang lebih agresif dan mengedepankan kekuatan keras. Pergeseran ini berpotensi melemahkan kredibilitas Indonesia dalam mengadvokasi norma perdamaian regional dan global.
Melihat keseluruhan aspek tersebut, jelas bahwa akuisisi ITS Garibaldi berpotensi lebih banyak mendatangkan masalah dibandingkan manfaat. Kapal induk memang mampu menambah daya tarik simbolis dan citra kekuatan militer, tetapi risiko distorsi strategi, beban anggaran, potensi perlombaan senjata regional, hingga hilangnya kredibilitas diplomatik jauh lebih besar.
Keunggulan maritim Indonesia seharusnya dibangun melalui pendekatan yang lebih realistis, yaitu memperkuat armada kapal yang relevan dengan kebutuhan pertahanan aktual, membangun infrastruktur pengawasan maritim, mengembangkan industri pertahanan nasional, serta meningkatkan diplomasi maritim yang aktif dan inklusif.
Dengan demikian, kapal induk bukanlah jawaban atas tantangan strategis Indonesia. Justru keberadaannya bisa menjadi sumber distorsi geostrategi maritim yang melemahkan prioritas nasional.
Strategi maritim yang cerdas adalah strategi yang mampu menggabungkan kekuatan militer yang proporsional, diplomasi yang aktif, serta pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Hanya melalui jalur ini Indonesia dapat benar-benar memastikan kedaulatan dan kepemimpinannya sebagai Poros Maritim Dunia.
. Justru keberadaannya bisa menjadi sumber distorsi geostrategi maritim yang melemahkan prioritas nasional.