Melalui perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Meta, dan Amazon, Barat tidak hanya mengontrol aliran informasi global, tetapi juga menetapkan standar etika dan peraturan teknologi secara sepihak. Fenomena ini disebut oleh Shoshana Zuboff  sebagai "surveillance capitalism", yaitu bentuk kapitalisme baru di mana data pribadi menjadi komoditas utama.
Negara-negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur teknologi setara menjadi tergantung secara struktural, bahkan harus tunduk pada regulasi digital yang ditentukan oleh negara-negara G7. Dalam konteks ini, teknologi menjadi instrumen kontrol kultural dan ekonomi yang memperpanjang cengkeraman imperialis dalam bentuk baru.
Standar ganda Barat juga sangat kentara dalam isu perubahan iklim. Negara-negara maju kerap mendesak negara berkembang untuk menurunkan emisi dan menghentikan deforestasi, namun mereka sendiri menjadi penyumbang emisi karbon terbesar dalam sejarah. Menurut laporan Global Carbon Project (2023), Amerika Serikat merupakan negara kedua penyumbang emisi karbon kumulatif terbesar setelah Tiongkok.
Namun, tekanan terhadap negara-negara seperti Indonesia, Brasil, dan negara-negara Afrika untuk melindungi hutan dan mengurangi konsumsi energi fosil tidak disertai dengan kompensasi yang adil atau transfer teknologi yang memadai.
Bahkan, banyak perusahaan multinasional dari Barat justru menjadi aktor utama dalam eksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang, menciptakan paradoks antara retorika "hijau" dan praktik eksploitatif. Dalam konteks ini, agenda lingkungan menjadi kedok untuk melanggengkan dominasi global yang asimetris.
Diskursus demokrasi dan hak asasi manusia pun menjadi senjata retoris negara-negara Barat dalam mendikte sistem politik negara lain. Pemerintah-pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan strategis Barat sering dicap sebagai "otoriter", sementara rezim yang represif namun pro-Barat diberi label "mitra strategis". Misalnya, Israel, yang terkenal dengan pelanggaran HAM serius, tetap menjadi sekutu dekat Amerika Serikat dan Barat.
Sementara itu, negara-negara seperti Venezuela, Korea Utara dan Iran, yang secara politik anti-Barat, terus menerus dikenai sanksi dan embargo ekonomi. Amnesty International dan Freedom House pun kerap dijadikan alat legitimasi selektif dalam menggolongkan negara berdasarkan parameter demokrasi yang bias secara geopolitik. Ini menunjukkan bahwa narasi demokrasi yang dibawa Barat bukanlah prinsip universal yang konsisten, melainkan alat politik untuk mempertahankan hegemoni global.
Dalam bidang kebudayaan dan pendidikan, imperialisme Barat juga terus menyebar melalui dominasi kurikulum, bahasa, dan sistem nilai yang dijadikan standar global. Bahasa Inggris, sebagai bahasa utama dalam dunia akademik, telah menciptakan eksklusivitas dalam produksi dan distribusi pengetahuan.
Jurnal ilmiah bereputasi internasional sebagian besar berbasis di Barat dan memprioritaskan metodologi, teori, dan pendekatan yang sesuai dengan paradigma mereka. Hal ini mengakibatkan marginalisasi pengetahuan lokal, epistemologi non-Barat, dan bahasa-bahasa nasional.
Bahkan, pendidikan tinggi di negara-negara berkembang cenderung mengadopsi kurikulum dan orientasi riset yang mengimitasi model universitas di Eropa dan Amerika Utara, bukan menciptakan kerangka ilmiah yang kontekstual dan mandiri. Dengan demikian, terjadi kolonialisasi kognitif yang memengaruhi cara berpikir dan arah pembangunan bangsa-bangsa non-Barat.
Melihat keseluruhan dinamika ini, dapat disimpulkan bahwa nafsu imperialisme di balik standar ganda negara-negara Barat tidak hanya masih ada, tetapi juga semakin kompleks dalam bentuknya. Mereka menggunakan legitimasi moral, institusi global, dan kekuatan ekonomi untuk memaksakan tatanan dunia yang menguntungkan dirinya sendiri.