Dalam wacana hubungan internasional kontemporer, negara-negara Barat kerap menampilkan diri sebagai pembawa panji demokrasi, hak asasi manusia, dan tatanan global berbasis aturan (rules-based order). Namun, kenyataan geopolitik menunjukkan adanya standar ganda yang sangat mencolok, terutama dalam menyikapi konflik global, pelanggaran HAM, hingga praktik kolonialisme modern yang dibungkus dengan retorika liberal.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari warisan panjang imperialisme Barat yang terus berevolusi, tidak lagi dalam bentuk kolonialisme fisik, tetapi melalui penetrasi ekonomi, militer, dan ideologi. Hal ini memperlihatkan bahwa imperialisme belum usai, melainkan bertransformasi secara halus melalui institusi internasional, diplomasi koersif, dan narasi ganda yang menguntungkan negara-negara kuat.
Dengan demikian, penting untuk menguak motif imperialistik di balik praktik standar ganda negara-negara Barat, sebagai bagian dari upaya membongkar kemunafikan global yang merusak prinsip keadilan dan kesetaraan antarbangsa.
Salah satu bentuk nyata standar ganda Barat tampak jelas dalam respons terhadap konflik internasional, seperti invasi Rusia ke Ukraina dibandingkan dengan pendudukan Israel atas Palestina. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa bersatu mengutuk agresi Rusia, memberlakukan sanksi ekonomi besar-besaran, bahkan mengirimkan bantuan militer kepada Ukraina.
Namun, dalam konteks Palestina, respons yang sama keras tidak pernah diberikan kepada Israel, meskipun laporan dari organisasi internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International (2022) menyebutkan bahwa Israel melakukan apartheid terhadap warga Palestina. Amnesty International bahkan menyebut kebijakan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai bentuk apartheid modern yang melanggar hukum internasional.
Selain itu, Amnesty International dan Human Rights Watch juga menyoroti bahwa serangan Israel yang tidak proporsional sering menargetkan fasilitas sipil dan menimbulkan korban non-kombatan. Data dari Kementerian Kesehatan Palestina yang dikutip Anadolu Ajansi menunjukkan bahwa lebih dari 118.400 terluka dan 54.400 warga Palestina tewas di Gaza sejak eskalasi pada Oktober 2023 hingga Juni 2025.
Barat cenderung membela Israel dengan alasan "hak untuk mempertahankan diri", menunjukkan inkonsistensi yang mengarah pada pembenaran kekerasan berdasarkan kepentingan geopolitik mereka.
Kemudian, penerapkan standar ganda barat terjadi pada saat konflik 12 hari antara Iran dan Israel. Ketika serangan udara Israel melalui "Rising Lion" pada 13 Juni 2025 yang menyasar fasilitas nuklir, infrastuktur militer dan sipil Iran. Menyebabkan kematian para komandan militer, ahli nuklir serta 935 korban jiwa warga sipil. Iran membalas serangan tersebut melalui "True Promise III" dengan meluncurkan ratusan rudal dan drone kamikaze.
Sikap standar ganda barat terlihat jelas ketika serangan balasan Iran terhadap sasaran militer di Israel mendapat kecaman cepat dari negara-negara Barat. Negara-negara Barat segera mendesak Iran untuk meredam responsnya dan menegaskan pentingnya stabilitas, namun enggan mengutuk Israel atas serangan dan pelanggaran kedaulatan Iran.
Selain itu, standar ganda negara-negara Barat dalam menyikapi kepemilikan senjata nuklir Israel menjadi sorotan tajam dalam diskursus global mengenai non-proliferasi. Israel, yang secara de facto diyakini memiliki sekitar 80--90 hulu ledak nuklir menurut Federation of American Scientists, tetapi tidak menjadi subjek inspeksi atau sanksi internasional karena tidak pernah meratifikasi Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).