Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Paradoks Nasionalisme dan Ketergantungan Investasi Asing

25 Juni 2025   18:52 Diperbarui: 25 Juni 2025   18:58 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Investasi Asing kuasai Indonesia (Sumber Gambar: IndependensI)

Dalam konteks pembangunan nasional, nasionalisme merupakan fondasi ideologis yang menjadi penggerak semangat kolektif masyarakat untuk mencintai tanah air, menjaga kedaulatan, serta mengutamakan kepentingan bangsa di atas segala bentuk pengaruh luar. Namun, dalam realitas politik ekonomi global, nasionalisme ini dihadapkan pada paradoks besar ketika negara demi pembangunan ekonomi terpaksa bergantung pada investasi asing. Hal ini menimbulkan dilema antara idealisme menjaga kemandirian bangsa dengan pragmatisme untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui modal asing.

Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah membangun infrastruktur dan menggenjot pertumbuhan ekonomi adalah cerminan nyata dari paradoks ini. Sementara retorika cinta tanah air dikumandangkan dalam berbagai kebijakan dan pidato resmi, kebijakan ekonomi justru menunjukkan keterbukaan yang tinggi terhadap investor asing, bahkan dalam sektor-sektor strategis.

Paradoks ini semakin mencolok ketika melihat realitas ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai realisasi investasi asing di Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp. 900,2 triliun atau sekitar 55,3% dari total investasi nasional, menunjukkan bahwa lebih dari separuh pembiayaan pembangunan ekonomi Indonesia masih bersumber dari luar negeri. Negara-negara seperti Singapura, Tiongkok, dan Hong Kong menjadi tiga besar investor utama di Indonesia.

Dalam sektor pertambangan, misalnya, dominasi perusahaan Tiongkok seperti Tsingshan Group di kawasan industri Morowali dan Weda Bay menunjukkan bahwa kontrol terhadap sumber daya alam nasional semakin berada di tangan korporasi asing. Hal ini berpotensi melemahkan kedaulatan negara terhadap sumber daya strategis yang seharusnya menjadi instrumen utama kemandirian ekonomi nasional.

Nasionalisme dalam bentuknya yang substantif menuntut adanya kontrol domestik terhadap sektor-sektor vital. Namun, ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan internal yang memadai, ditambah dengan lemahnya industri dalam negeri, membuat investasi asing menjadi satu-satunya jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika proyek-proyek strategis seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, kawasan industri morowali, Two Countries Twin Parks (TCPP), dan waduk jati gede dibiayai sebagian besar oleh Tiongkok melalui skema utang dan joint venture, timbul pertanyaan tentang sejauh mana kemandirian ekonomi nasional masih dipertahankan.

Meskipun proyek ini membawa kemajuan infrastruktur, biaya pinjaman yang tinggi dan ketergantungan pada teknologi luar menjadi sorotan utama dalam diskursus kedaulatan ekonomi. Paradoks antara semangat nasionalisme dan kebutuhan akan kapital asing pun tidak dapat dihindari, terutama dalam negara dengan kapasitas fiskal yang terbatas.

Lebih jauh, ketergantungan terhadap investasi asing membawa implikasi pada aspek politik kebijakan. Negara yang terlalu tergantung pada modal luar cenderung lebih rentan terhadap tekanan politik dan ekonomi dari negara donor. Contoh paling nyata adalah bagaimana Indonesia harus menyesuaikan regulasi lingkungan dan ketenagakerjaan agar lebih ramah terhadap investor asing, sering kali dengan mengorbankan prinsip-prinsip perlindungan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.

Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), yang disahkan pada tahun 2020 dan dikritik keras oleh serikat pekerja serta aktivis lingkungan, dianggap sebagai wujud nyata kompromi terhadap kepentingan asing atas nama kemudahan berinvestasi. Meski pemerintah mengklaim undang-undang tersebut akan meningkatkan daya saing dan menyerap tenaga kerja, kenyataannya adalah banyak pasal dalam UU ini yang justru melemahkan posisi tawar pekerja lokal serta memperlonggar standar perlindungan lingkungan.

Di sisi lain, globalisasi ekonomi memang telah menghapus batas-batas negara dalam hal mobilitas modal, teknologi, dan tenaga kerja. Dalam konteks ini, keterbukaan terhadap investasi asing bukan semata-mata pilihan, melainkan suatu keniscayaan dalam menghadapi kompetisi global. Negara yang menutup diri dari arus modal internasional justru berisiko tertinggal dan mengalami stagnasi ekonomi.

Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika keterbukaan ini tidak diimbangi dengan kerangka regulasi yang kuat dan strategi industrialisasi nasional yang berkelanjutan. Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, misalnya, berhasil memanfaatkan investasi asing sebagai batu loncatan menuju kemandirian industri, bukan sebagai ketergantungan permanen. Negara-negara ini menerapkan nasionalisme ekonomi yang adaptif yakni, tetap membuka diri terhadap asing namun dengan tujuan jangka panjang untuk menguasai teknologi dan memperkuat pelaku ekonomi domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun