Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Diskursus Maslahah: Harmonisasi Hukum Islam dan HAM Internasional

21 Februari 2024   05:23 Diperbarui: 21 Februari 2024   06:29 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukum (sumber gambar: iStock/Kagenmi)

Pertemuan antara Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional menjadi arena diskursus yang menarik, terutama dalam upaya memahami dan menggabungkan dua sistem hukum yang berakar dalam nilai-nilai dan konteks budaya yang berbeda. Diskursus ini mengarah pada konsep "Maslahah," yang merujuk pada kemaslahatan dan kesejahteraan umum dalam Hukum Islam. Harmonisasi antara Hukum Islam dan HAM Internasional menjadi tantangan dan peluang yang harus dieksplorasi untuk mencapai keadilan dan perlindungan hak asasi manusia yang universal.

Di antara berbagai norma dan ajaran yang ditegaskan oleh para pakar fikih dalam menerapkan hukum Islam, konsep mashlahah (kemaslahatan) dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan Islam sepanjang waktu. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Karnali, "prinsip kemaslahatan memiliki cakupan yang cukup luas, melibatkan berbagai sasaran baik yang bersifat idealis maupun pragmatis, dengan tujuan menjaga standar pemerintahan yang baik."

Prinsip ini juga berperan dalam memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap otoritas legislasi perundang-undangan dalam berbagai komunitas Muslim. Dengan kemaslahatan, dapat dicapai keseimbangan antara harapan yang mungkin terlalu idealis dari pemerintahan di pihak masyarakat dan upaya masyarakat untuk lebih bermakna dalam mengakui nilai-nilai Islam.

Konsep ini awalnya diperkenalkan oleh Imam Malik, yang merupakan pendiri mazhab fiqih Maliki. Selanjutnya, konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli fikih seperti Al-Ghazali dan Al-Thufi, yang masing-masing berasal dari Mazhab Syafi'i dan Hanbali. Pada abad keempat belas, Abu Ishaq Al-Syatibi lebih mengembangkan konsep ini sebagai dasar rasionalitas dan kemampuan hukum Islam untuk mengakomodasi perubahan situasi.

Konsep tersebut juga diartikan sebagai prinsip utama universalitas dan kepastian hukum Islam. Kini, kaidah hukum Islam yang bijaksana ini diakui oleh para ahli hukum sebagai wadah bagi benih-benih masa depan Syariat dan ketahanannya sebagai kekuatan hidup dalam masyarakat.

Istilah mashlahah (kemaslahatan) memiliki arti harfiah sebagai kepentingan atau kesejahteraan, dan dalam konteks fiqih Maliki, digunakan secara lebih spesifik untuk merujuk pada prinsip kepentingan publik atau kesejahteraan publik. Sering kali, istilah ini dikaitkan dengan mashlahah mursalah (secara harfiah berarti kepentingan yang dilepaskan) ketika kepentingan tersebut tidak terikat pada teks-teks khusus tetapi didasarkan pada pertimbangan kebaikan bersama. Dalam konteks ini, mashlahah sering diinterpretasikan sebagai mashlahah akummah, yaitu kepentingan dan kesejahteraan umat Muslim secara keseluruhan.

Namun demikian, penggunaan mashlahah untuk mencapai kepentingan atau kesejahteraan bersama umat tidak seharusnya menghambat aplikasinya yang lebih luas untuk melindungi hak asasi manusia dan kesejahteraan individu. Konsep umum mashlahah juga mencakup apa yang dapat disebut sebagai mashlahah syakhshiyyah, yaitu kepentingan atau kesejahteraan individu, dengan tujuan memastikan perlindungan hak asasi manusia.

Walaupun hak asasi manusia memiliki tujuan khusus untuk melindungi hak-hak individu, tujuan utamanya adalah memastikan kepentingan dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan, dimana pun mereka berada. Menjaga kesejahteraan individu pada akhirnya menjamin kesejahteraan masyarakat atau publik, dan sebaliknya. Oleh karena itu, prinsip mashlahah menjadi sangat relevan dalam konteks pembahasan hak asasi manusia dalam hukum Islam.

Dalam usahanya mengaitkan mashlahah dengan tujuan-tujuan umum Syariat (Maqashid Al-syariah), Al-Syatibi, mengemukakan tiga tingkatan hierarkis untuk menentukan cakupannya. Tingkatan pertama dan paling tinggi adalah kebutuhan yang tidak dapat diabaikan (dharuriyyat), yang mencakup apa yang disebut sebagai lima universal, yakni: agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Karena tidak dapat diabaikan, setiap elemen tidak hanya harus diutamakan tetapi juga dijaga dengan cermat. Beberapa cendekiawan Muslim kontemporer menyamakan lima universal ini dengan hak-hak asasi manusia (al-huquq al-fithriyyah).

Tahap berikutnya adalah yang dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan pokok (hajiyyat), yang merupakan penambahan dari kategori pertama dan mencakup kebutuhan yang jika diabaikan dapat menyebabkan kesulitan hidup, tetapi pelaksanaannya tidak akan menyebabkan keruntuhan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan ini bertujuan untuk memastikan adaptasi terhadap berbagai perubahan dalam kehidupan yang sesuai dengan hukum dan dengan demikian membuat hidup menjadi lebih mudah dijalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun