Mohon tunggu...
Saeful Apriliyanto
Saeful Apriliyanto Mohon Tunggu... Tukang Tidur Profesional

Live Forever

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ritme Stadion: The Stone Roses dan Identitas Kolektif Suporter

23 September 2025   10:33 Diperbarui: 23 September 2025   10:52 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar sumber : https://vt.tiktok.com/ZSDx2Db8J/

Stadion adalah ruang ritual. Setiap pertandingan sepak bola diiringi oleh berbagai bentuk ritual yang dijalani suporter: mulai dari memakai jersey klub, berkumpul sebelum pertandingan, hingga menyanyikan lagu-lagu tertentu. Lagu-lagu yang dinyanyikan di tribun bukan sekadar hiburan, melainkan medium untuk membangun rasa kebersamaan.

Musik The Stone Roses, ketika hadir di stadion, berfungsi sebagai bagian dari ritual itu. “This Is the One” misalnya, tidak hanya menjadi soundtrack sebelum pertandingan, tetapi juga berfungsi sebagai penanda transisi dari ruang profan ke ruang sakral stadion. Lagu ini menandai bahwa pertandingan akan segera dimulai, dan seluruh suporter harus menyatukan energi mereka.

Dalam teori ritual, Emile Durkheim (1912) menyebutkan konsep collective effervescence, yaitu momen ketika individu larut dalam energi kolektif sehingga merasakan ikatan emosional yang kuat dengan kelompoknya. Fenomena ini nyata terjadi di stadion ketika musik dimainkan: suporter yang berbeda latar belakang melebur menjadi satu tubuh kolektif. Musik menjadi pemicu dari effervescence ini.

Peran The Stone Roses dalam stadion tidak hanya terbatas pada Old Trafford. Musik mereka menjadi semacam simbol generasi yang menyatukan musik dan sepak bola. Dalam banyak kesempatan, nyanyian di tribun mengambil melodi dari lagu-lagu populer, termasuk karya The Stone Roses.

Contoh paling nyata adalah “This Is the One” di Old Trafford. Lagu ini pertama kali diputar secara resmi pada 2000-an, tetapi dengan cepat menjadi identik dengan atmosfer pertandingan Manchester United. Para pemain pun mengaku merasakan energi berbeda ketika lagu tersebut mengalun sebelum pertandingan. Bagi suporter, mendengarkan lagu ini di stadion adalah pengalaman yang lebih dalam dibanding mendengarnya di ruang privat, karena lagu itu telah menjadi milik kolektif, bukan lagi milik individu.

Selain itu, The Stone Roses sendiri dikenal sebagai band yang lekat dengan kultur sepak bola. Beberapa personelnya adalah penggemar berat klub lokal, dan mereka sering mengaitkan musiknya dengan semangat perlawanan yang juga hadir dalam stadion. Maka tidak mengherankan jika musik mereka diterima dengan baik oleh komunitas suporter.

Henri Lefebvre (1991) dalam teorinya tentang produksi ruang menekankan bahwa ruang tidak pernah netral, melainkan selalu diproduksi dan direproduksi oleh praktik sosial. Stadion bukan hanya ruang olahraga, tetapi juga ruang budaya yang penuh dengan simbol, identitas, dan makna. Musik adalah salah satu elemen yang membentuk produksi makna tersebut.

Ketika The Stone Roses diputar di stadion, makna stadion bergeser. Ia tidak hanya menjadi ruang olahraga, tetapi juga ruang musik, ruang budaya, dan ruang identitas. Stadion berubah menjadi arena di mana ekspresi musik dan olahraga saling bertemu dan menghasilkan pengalaman kolektif yang khas.

Identitas kolektif suporter tidak bisa dilepaskan dari simbol-simbol yang mereka gunakan. Musik adalah salah satu simbol terkuat karena mampu memicu emosi, ingatan, dan solidaritas. Ketika lagu tertentu diputar di stadion, suporter merasa memiliki ikatan yang sama meskipun mereka berbeda kelas sosial, usia, atau latar belakang.

The Stone Roses memberikan simbol musikal yang khas bagi suporter Manchester, dan lebih luas lagi bagi kultur sepak bola Inggris. Lagu mereka menjadi penanda identitas yang membedakan suporter satu klub dengan yang lain, sekaligus menyatukan mereka dalam kerangka budaya urban yang lebih luas.

Selain itu, musik juga sering digunakan suporter sebagai bentuk resistensi. Chants yang menggunakan melodi lagu populer sering kali berisi sindiran kepada lawan atau kritik terhadap manajemen klub. Dalam konteks ini, musik The Stone Roses yang sejak awal berakar pada semangat perlawanan, sangat cocok menjadi bagian dari identitas suporter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun