Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Money

Prospek, Tantangan dan Terobosan Pengembangan Lada

6 Maret 2018   13:01 Diperbarui: 6 Maret 2018   13:15 5371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuntutan permintaan pasar dunia terhadap rempah-rempah khususnya komoditas lada tidak bisa dibendung dan diremehkan. Masing-masing negara penghasil lada berkompetisi dalam meraih peluang tersebut dengan cara melakukan peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas lada. Indonesia saat ini tertinggal capaian produksi dan produktivitasnya dibandingkan negara-negara lain sehingga berpengaruh terhadap penurunan ekspor dan tingkat pendapatan petani. Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, mendapat manfaat dan peluang pasar dunia serta memperbaiki usahatani harus terus dilakukan oleh pemerintah, swasta dan petani dengan melibatkan peran serta seluruh stakeholder. Untuk itu berbagai kendala dan permasalahan dalam mengembalikan kejayaan lada Indonesia harus ditempuh dan dihadapi secara serius, kontiyu dan sistematis melalui program dan kegiatan pengembangan komoditas lada.Regulasi dan strategi pengembangan lada tidak bisa diabaikan mengingat semakin meningkatnya permintaan pasar dunia dan persaingan antar negara penghasil lada.

Subsektor perkebunan telah membuktikan sebagai subsektor yang dapat dihandalkan dibandingkan subsektor pertanian lainnya. Atas dasar itu, subsektor perkebunan sebenarnya layak mendapat prioritas dalam pembangunan khususnya dalam distribusi pembangunan. Perhatian ini sangat diperlukan khususnya bagi komoditas perkebunan yang telah menjadi sumber devisa seperti karet, kopi, lada, panili dan yang lainnya. 

Secara agregat, nilai neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia mengalami surplus. Namun demikian masih perlu dilakukan upaya khusus untuk terus meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing produk-produk di pasar internasional baik untuk kegiatan ekspor maupun untuk subsidi impor.

Selain perspektif komoditas perkebunan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa, tanaman perkebunan secara umum melibatkan banyak masyarakat petani sejak dari pembibitan, penanaman, perawatan, panen, pasca panen hingga ke pemasaran. Dengan demikian pertumbuhan produksi dalam negeri selain diharapkan mampu memenuhi permintaan dalam negeri, juga secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada gilirannya mampu menggerakkan perekonomian regional dan nasional serta menambah devisa negara.

Dalam sejarah Indonesia, lada merupakan komoditas yang memegang peranan penting. Sejak akhir abad ke-16, Indonesia merupakan pemasok utama dalam perdagangan lada dunia. Hingga saat ini, lada masih menjadi salah satu jenis rempah yang memberikan kontribusi utama dalam penerimaan devisa negara. Berdasarkan data BPS, pada kurun waktu 2012-2016, lada menyumbang nilai ekspor lebih dari USD 400 juta dengan rata-rata volume perdagangan mencapai 54 ribu ton.

Lada sebagai salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa merupakan produk tertua dari rempah-rempah yang diperdagangkan di pasar dunia (Wahid, 1995). Dewasa ini pemanfaatan lada tidak terbatas hanya sebagai bumbu penyedap masakan di rumah tangga dan penghangat tubuh saja, akan tetapi juga telah berkembang untuk berbagai kebutuhan industri, misalnya industri makanan dan kosmetik. 

Pendekatan jumlah penduduk akan menyebabkan permintaan lada semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari perilaku konsumsi masyarakat dan beranekaragam jenis makanan yang ditawarkan. Lada juga baik digunakan sebagai bahan untuk memperlambat proses perubahan mutu pada minyak, lemak dan daging. Disamping yang terkenal adalah dibuat sebagai minyak lada atau oleoresin (Unindo, 1996).

Prospek

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil utama lada dan mempunyai peranan penting dalam perdagangan lada dunia. Pasokan lada Indonesia berasal dari Provinsi Bangka Belitung yaitu lada putih dengan sebutan muntok white pepper dan dari provinsi Lampung lada hitam sebagai Lampung Black Pepper. Kontribusi lada (hitam dan putih) Indonesia di pasar dunia selama 5 tahun terakhir mengalami peningkatan.

Produksi lada tahun 2016 mencapai 82,17 ribu ton, besarnya produksi ini naik 0.82 persen dari produksi tahun 2015 yang hanya mencapai 81,50 ribu ton. Sementara produksi lada di tahun 2017 diperkirakan meningkat sebesar 0,97 persen atau 82,96 ribu ton dari tahun 2016. Dari besarnya produksi tersebut, di tahun 2016 total ekspor lada Indonesia mencapai 53,10 ribu ton. Ekspor lada pada periode yang sama di tahun 2016 hanya sebesar 23,56 ribu ton.

Impor lada pada periode Januari-Agustus 2017 hanya 690 ton, sedangkan impor lada pada tahun 2016 mencapai 2.663 ton. Hal ini menunjukkan bahwa impor terhadap lada mengalami penurunan signifikan yaiitu sebesar 74 persen. Ini membuktikan kondisi pertanaman lada Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga bisa mengembalikan kejayaan rempah Indonesia sebagaimana 500 tahun yang lalu.

Lima provinsi penghasil komoditas lada potensial adalah provinsi kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Penghasil utama adalah Kepulauan Bangka Belitung dan Lampung dengan nilai kontribusi terhadap produksi nasional sebesar 58,32 persen, sementara kontribusi provinsi lainnya sebesar 41,68 persen. Sementara potnsi pasar ekspor lada Indonesia ke luar negeri cukup besar, pasalnya terdapat negara-negara yang volume impornya sangat tinggi, seperti Amerika Serikat, Jerman, Vietnam, Thailand dan Jepang.

Permintaan dan Perkembangan Lada

Dari 3 negara penghasil lada ASEAN yaitu Indonesia, Vietnam, Malaysia dan negara lainnya, Indonesia memiliki luas tanaman yang paling tinggi dibandingkan negara lainnya yaitu sebesar 74,61 persen kemudian diikuti oleh Vietnam sebesar 19,15 persen, malaysia sebesar 4,70 persen dan selebihnya 1,54 persen negara lainnya. Sementara beberapa negara produsen lada terbesar di ASEAN rata-rata dari tahun 2009-2013 adalah Vietnam (55%), Indonesia (31,84%), Malaysia (9,31%) dan negara lainnya sebesar (3,85%).

Selanjutnya jika mencermati perkembangan produktivitas lada terbesar di ASEAN rata-rata tahun 2012-2016 dari 7 negara Kamboja memilki tingkat produktivitas tertinggi dibandingkan negara lain yaitu sebesar 6,193 Kg/Ha. Selanjutnya disusul negara lainnya yaitu Thailand (3,271 Kg/Ha), Vietnam (3,182 Kg/Ha), Malaysia (2,221 Kg/Ha), Philipina (1,758 Kg/Ha), Indonesia  (474 Kg/Ha) dan Brunei

Namun ditingkat dunia negara produsen lada terbesar rata-rata 2012-2016 memiliki situasi yang berbeda, dari 6 negara potensial yaitu Vietnam, Indonesia, Brazil, India, China dan negara-negara lainnya Vietnam masih mendominasi sebagai negara produsen lada terbesar (30,52%), Indonesia (17, 67%), Brazil (10,19%), India (10,05%), China 6,18%) dan selanjutnya negara-negara lainnya yaitu sebesar (25,39%). Namun dari sisi produktivitas negara Costarica memiliki angka tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya yaitu Kamboja, Rwanda, Thailand dan Vietnam sebesar 6,973 Kg/Ha.

Selanjutnya permintaan dunia terhadap lada kurang lebih sekitar 400 ribu metrik ton, sedangkan produksi di Indonesia baru berkisar 80-90 ribu metrik ton atau Indonesia baru memenuhi 20 persennya dari permintaan dunia tersebut. Konsumsi lada meningkat di pasar tradisional benua Eropa. Di Eropa, dimana harga lada naik sebesar 15 persen dan 45 persen di Amerika Utara sebagai negara yang warganya menggunakan lada sebagai bumbu untuk menambah rasa pada masakan mereka. Hal ini juga telah menyebabkan konsumsi lada di seluruh dunia meningkat sebesar 60 persen selama periode yang mencapai 430.000 ton lada lima tahun terakhir.

Saat ini, posisi Indonesia berada pada urutan ketiga dunia negara eksportir lada setelah Vietnam dan Brazil. Untuk lada putih, meskipun saat ini Indonesia masih merupakan pengekspor utama di dunia, namun posisinya terancam oleh Vietnam. Areal pengembangan lada tahun 2012 mencapai 177.787 hektar dengan produksi sekitar 87.841 ton, namun lima tahun berikutnya tahun 2017 areal pengembangan berkurang sebesar 167.626 hektar dengan total produksi sebesar 82.964 ton yang tersebar di 29 provinsi dan hampir seluruhnya dikelola oleh rakyat (99,90%) dengan melibatkan sekitar 316.200 KK petani di lapangan. Usaha lada mampu menghidupi sejumlah 1,62 juta petani di lapangan. Belum termasuk masyarakat yang terlibat dalam perdagangan dan industri perladaan.

Kontribusi produksi lada dari 6 provinsi sepanjang tahun 2015-2017 didominasi oleh provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 32,85%, provinsi Lampung sebesar 26,25%, provinsi Sumatera sebesar 10,64%, provinsi Kalimatan Timur sebesar 8,4%, provinsi Sulawesi Selatan sebesar 5,54% dan total dari penghasil lada provinsi-provinsi lainnya sebesar 16,30%. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki kontribusi nyata secara nasional dalam memproduksi lada, dimana kontribusi produksi lada beberapa Kabupaten sentra pada tahun 2016 di dominasi oleh Kabupaten Bangka Selatan sebesar 50,93% dan yang paling terendah kontribusisnya adalah Kabupaten Bangka Tengah yaitu sebesar 3,45%.

Selanjutnya setelah provinsi Kepulauan Bangka Belitung sentra produksi lada adalah provinsi Lampung dimana kontribusi produksi lada dari 6 kabupaten pada tahun 2016 di dominasi oleh kabupaten Lampung Utara sebesar 45,58%, kabupaten Lampung Barat sebesar 16,05%, kabupaten Way Kanan sebesar 14,65%, kabupaten Lampung Timur sebesar 10,54%, kemudian disusul oleh kabupaten Tanggamus dan kabupaten lainnya masing-masing sebesar 7,49% dan 5,69%.

Permasalahan dan Tantangan

Menurut Yusmichad, dkk. (2003), secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perkebunan antara lain: (1) Sebagian besar produsen perkebunan adalah perkebunan rakyat yang dikelola secara swadaya murni, kecuali teh. Oleh karena itu pertumbuhan produktivitas kebun jadi lambat, terutama pada perkebunan rakyat. 

Adapun hal ini disebabkan oleh teknologi yang diterapkan masih tradisional dan banyak tanaman sudah berumur tua dan rusak. Kualitas teknologi yang diterapkan petani mengalami kemunduran sejak krisis, karena mahalnya harga pupuk dan ketiadaan modal. Ketiadaan modal menyebabkan kegiatan peremajaan tanaman tua semakin sulit, yang menyebabkan produktivitas kebun makin rendah, (2) Kualitas hasil masih rendah karena sebagian besar produk yang dihasilkan adalah produk primer dan bagi petani tidak ada insentif harga untuk perbaikan mutu hasil, (3) Harga di tingkat petani umumnya rendah karena kurang efisiennya sistem pemasaran hasil, rendahnya mutu hasil dan terikatnya petani pada tengkulak pelepas uang (rentenir), (4) Maraknya penyerobotan tanah dan produksi perkebunan milik perkebunan besar (PBN dan PBS) oleh penduduk di sekitar kebun yang mengaku (claim) bahwa kebun itu adalah miliknya yang prosedur pembebasannya tidak adil. Hal ini dapat mengganggu kegiatan usaha perkebunan besar yang sudah ada dan mengambat masuknya investor baru  dan (5) Sistem kelembagaan ekonomi petani masih sangat lemah baik dalam kegiatan pengadaan input, usahatani, pengolahan maupu pemasaran hasil.

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pengurangan areal lada yang diakibatkan beberapa faktor antara lain: (a) kekeringan, (b) serangan penyakit busuk pangkal batang, hama penggerek batang dan bunga, serta penyakit kuning dan kerdil utamanya di Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara, (c) konversi areal lada baik untuk tambang maupun komoditas lain seperti kelapa sawit, karet dan lada.

Permasalahan yang dominan di lapangan adalah rendahnya produktivitas tanaman lada yang baru mencapai rata-rata 771 Kg/Ha pada tahun 2011dan 833 Kg/Ha pada tahun 2015 dari potensi di tingkat lapangan 2,5 ton/ha. Kondisi tersebut antara lain diakibatkan intensitas serangan hama/penyakit lada, belum menggunakan benih unggul, kurangnya pemeliharaan lada di tingkat lapangan dan lemahnya permodalan yang dimiliki petani.

Terobosan/Tindak Lanjut

Mempertimbangkan kondisi tersebut dan dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan pengembangan lada, upaya yang dapat dilakukan yaitu: (1) rehabilitasi, (2) perluasan tanaman lada dan (3) pengembangan sistem perbenihan lada melalui penciptaan varietas baru unggul (VUB) yang memiliki tingkat produktivitas tinggi. 

Upaya ini sangat positif dan pada umumnya akan memberikan dampak yang mampu menggairahkan masyarakat petani. Hal ini sesuai dengan visi pembangunan perkebunan 2014-2019 yaitu terwujudnya peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkebunan. 

Untuk itu Badan Litbang Pertanian melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan mulai tahun 2017-2018 melakukan program pengembangan perbenihan tanaman perkebunan mulai dari benih sumber hingga benih sebar. Hal tersebut dalam upaya untuk mengembalikan kejayaan lada nasional sekaligus upaya membangkitkan capain devisa negara. Peluang tersebut sangat besar dan dimiliki oleh Indonesia sebagaimana yang pernah dicapai sebelumnya yaitu lada Indonesia menjadi konsumsi pasar dunia.

Regulasi

Mutu lada Indonesia dikenal memiliki kualitas/mutu tinggi dibandingkan negara produsen lainnya. Keunggulan ini patut dipromosikan di dalam dan luar negeri, serta dipertahankan melalui teknik penanaman dan pengolahan lada yang sesuai praktik pertanian yang baik. Tidak hanya itu, langkah strategis ini juga perlu diperkuat dengan inovasi dan pemasaran di sektor hulu dan hilir. 

Inovasi dan strategi kebijakan yang tepat dan implementatif merupakan solusi dalam mengembangkan sektor lada di Indonesia. Inovasi yang didukung dengan strategi kebijakan yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah diyakini dapat mengembalikan kejayaan lada Indonesia di tingkat nasional dan dunia.

Selain aspek teknis hal yang sangat penting dalam peningkatan daya saing lada adalah perlunya kebijakan/strategi penguatan sistem agribisnis untuk peningkatan kesejahteraan petani dengan menempuh cara: (1) mengembangkan lada melalui perluasan areal pada lahan yang sesuai dengan menggunakan teknologi rekomendasi, (2) mempertinggi daya saing lada melalui peningkatan produktivitas, mutu hasil, dan diversifikasi produk dan (3) meningkatkan peran kelembagaan mulai dari kelembagaan di tingkat petani sampai kelembagaan pemasaran hasil yang berpihak kepada petani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun