Mohon tunggu...
Muhammad Sa'du
Muhammad Sa'du Mohon Tunggu... -

Menghadapi hidup dengan apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penguji Calon Pendamping ADD Jateng Dipertanyakan

9 Desember 2015   09:21 Diperbarui: 9 Desember 2015   09:34 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin kemarin, 7 Desember 2015 diadakan ujian untuk calon Tenaga Ahli (TA) dan calon Pendamping Desa (PD) untuk dana desa di Propinsi Jateng. Bisa jadi lebih dari 4.000 orang melakukan ujian tertulis, verifikasi dokumen serta wawancara. Ujian tersebut diselenggarakan oleh Bapermasdes.

Hanya saja, pantas disayangkan proses tes tertulis, verifikasi dokumen dan wawancara. Saya tidak tahu siapa yang membuat soal tertulis tapi yang mesti menjadi sorotan dalam ajang yang dibuka Gubernur Jateng Ganjar Pranowo itu pantas diragukan hasilnya. Ada banyak informasi yang berkembang terutama paska wawancara yang dilakukan tim seleksi. Saya mendapat info dari salah satu peserta bahwa penguji itu merupakan konsultan PNPM. Disini sudah jelas letak unfairness proses, karena calon-calon berkualitas apapun akan sulit diterima.

Ketika saya mencoba menerobos dan duduk-duduk di para calon Tenaga Ahli lebih parah model cek verifikasi dokumen maupun wawancara.

Pertama, Cek Dokumen terlalu teknis. Menurut penuturan salah satu TA yang sudah berpengalaman 12 tahun di pemberdayaan masyarakat mereka ditanya soal sertifikat. Padahal ketika ormas atau bahkan pemda mengadakan acara jarang memberi sertifikat. Atau ada pula yang menganggap dokumen itu sudah terlalu lama sehingga tidak dibawa. Hal itu dipertanyakan padahal si TA membawa dokumen yang terbaru, 5 tahun belakangan. Disitu ada beberapa bukti mengikuti pelatihan bahkan oleh lembaga donor tapi sama sekali tidak disentuh, di cek keasliannya atau ditanya apa saja terkait kegiatan/proyek tersebut.

Kedua, Tidak Faham UU Desa/pegang. Saat interview mereka sebenarnya tidak faham UU Desa. Hal ini diakui salah satu penguji pada peserta dari LSM. Ketika tahu yg mendaftar orang LSM, tidak banyak yang ditanya bahkan si penguji mengaku "Saya sebenarnya tidak faham UU Desa". Hal itu makin terlihat dari pertanyaan yang diajukan lebih banyak pada bunyi klausul. Harus difahami saat dilapangan yang dihadapi masyarakat itu bukan berkutat pada pasal. Melainkan lebih bagaimana mencari jalan keluar yang baik. Mereka bukan anak sekolah yang harus hapal. Bahwa tahu itu penting dan itu bisa berjalan seiring waktu.

Ketiga, Tidak bisa diajak diskusi. Saya saat melamar disebuah pekerjaan, dokumen itu hanya bukti pendukung tapi lembaga yang membutuhkan lebih suka mendiskusikan kapasitas yg saya miliki dengan kesesuaian lowongan yang dibutuhkan. Sehingga mengetahui kapasitas pelamar jauh lebih penting. Ketika mereka menanyakan tentang salah satu pasal mengenai BUMDes, saya tidak menjawab seperti bunyi klausul. Kemudian disalahkan tetapi saya berargumen bahwa membangun BUMDes itu harus dengan proses yang berkualitas bukan sekedar klausul. Penguji bilang "Tapi klausul tidak menyebutkan proses", gubrakzzz.

Keempat, Tidak menganggap menulis itu penting. Kebetulan salah satu pelamar seorang penulis yang cukup aktif di Kompasiana. Rupanya perempuan ini membawa beberapa buku mengenai perencanaan desa, pendampingan masyarakat dan lainnya. Namun si penguji ketika ditunjukkan karya tersebut bukannya disentuh, dibuka dan meminta si ibu itu untuk menjelaskan singkat terkait karyanya (karena berhubungan dengan kebutuhan TA yang memang sesuai) malah berujar "menulis itu tidak penting karena yang dibutuhkan itu untuk TA". Hellllooooww..... penulis itu justru orang yang secara kapasitas setidaknya sudah tuntas tentang pola pikir, alur/skema tahapan dan mendiskripsikan dalam karya. Artinya tugas sebagai TA akan lebih mudah dijalani karena konstruksi pemikirannya sudah tertata.

Kelima, Mereka hanya uji pengetahuan tidak pada ketrampilan semisal teknik fasilitasi, teknik mediasi, kapasitas problem solving, solusi maker, dan lainnya. Padahal point ini yang penting dimiliki oleh Tenaga Ahli. Penguji sepertinya memang kapasitasnya pantas dipertanyakan. Harusnya untuk ujian calon TA lebih banyak berdiskusi soal ragam ketrampilan fasilitasi, uji kasus, tantangan pendampingan dan beragam problem lainnya. Mereka bukan anak sekolahan yang mesti hapal ini itu.

Jika dilihat dari beragam Tenaga Ahli yang dibutuhkan disini, sudah sepantasnya kapasitas lapangan lebih penting dibandingkan pengetahuan tentang regulasi. Saya tidak tahu bagaimana sistem penilaiannya. Seharusnya komposisi penilaian pada kemampuan harus mendapat porsi tertinggi. Tapi berdasarkan pengalaman kemarin, saya percaya hanya orang PNPM saja yang bakal diterima. Karena kata teman saya, banyak yang dari PNPM serta mereka sebenarnya tidak banyak menguasai tools lapangan.

Proyek PNPM sendiri merupakan proyek HUTANG dari Bank Dunia yang harus kita cicil pelunasannya. Makanya kerja fasilitator PNPM ini bagaimana proyek jalan karena duit itu sudah dikucurkan. Kalau mau fair, tanyalah beragam fasilitator PNPM bagaimana mereka bekerja dengan standart gaji tinggi tapi kualitas prosesnya miskin. Karut marut pelaksanaan PNPM bisa kita googling di internet meski saya percaya ada juga yang berhasil dari sisi substansi.

Saya sudah mengikhlaskan bila tidak diterima hanya saya khawatir ADD akan mubadzir bukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa tapi sebatas membangun infrastruktur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun