Dalam perspektif agama Islam, perkawinan dipandang sebagai perjanjian suci antara dua individu yang dijalin dalam ikatan keluarga, dan di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam praktiknya, ada aspek-aspek hukum yang mengatur pelaksanaan dan konsekuensi dari perkawinan, termasuk mengenai perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan kesepakatan yang dibuat oleh pasangan suami-istri sebelum atau selama perkawinan untuk mengatur hak dan kewajiban terkait harta benda dalam perkawinan.
Perjanjian perkawinan yang sering juga disebut perjanjian pranikah atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan Prenuptial Agreement, jarang terjadi di dalam masyarakat Indonesia asli, karena masih adanya rasa erat hubungan kekerabatan dan adanya rasa saling percaya antara calon suami dan calon istri karena perjanjian perkawinan masih dianggap tabu dan masih sangat jarang dipraktikan dalam perkawinan orang Indonesia maka perjanjian perkawinan ini jarang dilakukan oleh calon suami istri sebelum melangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan berasal dari masyarakat Barat yang memiliki sifat individualistik dan kapitalistik karena melalui perjanjian perkawinan mengakui kemandirian dari harta suami dan harta istri, kapitalistik karena tujuannya untuk melindungi rumah tangga dari kepailitan dalam dunia usaha, artinya bilamana salah satu pihak diantara suami istri jatuh pailit maka yang lain masih bisa diselamatkan.
Dalam hukum positif Indonesia, perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Perjanjian ini mengatur pemisahan harta dalam perkawinan dan hak-hak keperdataan lainnya yang dianggap penting oleh kedua belah pihak. Perjanjian tersebut harus dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan dan disahkan oleh notaris serta didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil. Hukum positif juga memberikan ruang untuk perlindungan hak-hak suami dan istri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kombinasi antara ketentuan agama Islam dan hukum positif Indonesia dalam perjanjian perkawinan memberikan fondasi yang kuat dalam hal pengaturan hak dan kewajiban suami-istri, terutama terkait pengelolaan harta benda dalam perkawinan. Semakin pesatnya arus modernisasi yang terjadi saat ini, perjanjian perkawinan ini mulai dianggap oleh generasi muda saat ini sebagai hal yang patut diperhitungkan sebelum melaksanakan perkawinan, karena pada dasarnya perjanjian perkawinan adalah bentuk proteksi atau perlindungan apabila dikemudian hari terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan seperti perceraian, kematian atau salah satu pihak mengalami kepailitan. Pembuatan perjanjian perkawinan bukanlah suatu keharusan yang harus ada dalam perkawinan, tetapi lebih kepada sebuah pilihan hukum bagi calon pasangan suami istri untuk melakukannya atau tidak. Â
Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian PerkawinanÂ
Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur sebuah ikatan perkawinan. Di Indonesia, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak diberlakukannya KUH Perdata. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dipertegas kembali dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 tepatnya pada Pasal 29, namun yang dimaskud "perjanjian" pada pasal tersebut tidak termasuk taklak taklik (ucapan suami yang disampaikan setelah selesai akad nikah dalam sebuah pernikahan berupa janji talak atau janji melepaskan ikatan pernikahan yang dikaitkan pada sesuatu yang mungkin terjadi di kemudian hari dengan menggunakan salah satu dari kata-kata syarat seperti apabila, jika, kapan saja, seandainya, atau seumpamanya). Secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku dan mengikat para pihak/mempelai dalam perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perjanjian Perkawinan terdapat dalam Bab V, berisi satu pasal, yaitu pasal 29. Selanjutnya, dalam KHI tidak disebut rumusannya secara jelas seperti pengertian yang termuat dalam pasal 1313 KUHPerdata, namun demikian, KHI menyebutkan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah bukan perjanjian sepihak. Ketentuan ini dapat dipahami dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, perkawinan pasal 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52.
Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Agama Islam
Perjanjian perkawinan merupakan bentuk dari perjanjian yang dibuat antara calon istri dan calon suami yang akan melakukan perkawinan. Â Maka perjanjian perkawinan tersebut termasuk ke dalam aspek muamalah. Dalam aspek muamalah, secara fundamental para pihak calon istri dan calon suami tersebut diberikan kebebasan melakukan perjanjian apa saja, selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal tersebut telah sesuai dengan kaidah fiqih muamalah kontemporer bahwa hukum asal praktik muamalah adalah mubah atau boleh dilakukan, hingga ada dalil yang menunjukkan hukum kebalikannya. Sehingga perjanjian perkawinan hukumnya adalah mubah atau boleh, asalkan tidak melanggar atau bertentangan dengan asas-asas perjanjian dalam hukum Islam (Miftahul Haq, et al., 2023).
Pro dan Kontra Perjanjian Perkawinan
Pro
Perjanjian perkawinan memberikan manfaat yang lebih memudahkan pasangan yang sebelum atau setelah menikah antara lain seperti:
- Membangun hubungan suami istri menjadi stabil dan amanÂ
- Melindungi hak dan kewajiban baik yang dimiliki secara pribadi maupun bersama
- Mencegah konflik di masa depan
- Perjanjian perkawinan dapat dijadikan sebagai "tameng" dan dasar hukum bagi pasangan untuk melindungi hak mereka atas harta dan kekayaan yang dimiliki
- Memberikan kepastian hukum yang esensialÂ
Kontra
Dalam realitas kehidupan, perjanjian perkawinan masih merupakan hal yang tabu dalam masyarakat, terdapat pro dan kontra dalam perjanjian perkawinan tersebut. Berikut ini adalah hal kontra terhadap perjanjian perkawinan:
- Menunjukkan Ketidakpercayaan dalam Hubungan
Ini lebih merupakan mitos daripada kontra nyata terhadap perjanjian perkawinan. Sayangnya, perjanjian perkawinan telah mendapat reputasi buruk. Banyak orang keliru percaya bahwa perjanjian itu tidak romantis dan mencerminkan kurangnya kepercayaan mendasar dalam hubungan tersebut. Meskipun mempersiapkan dokumen hukum mungkin bukan hal paling romantis yang dapat Anda lakukan, hal itu tidak menunjukkan ketidakpercayaan atau kurangnya kepercayaan bahwa hubungan tersebut tidak akan bertahan lama.
- Kemungkinan adanya tekanan dan ketegangan emosional
Perjanjian perkawinan bisa menjadi topik yang sensitif. Pasangan mungkin merasa bahwa perjanjian ini bukanlah awal yang paling romantis untuk sebuah pernikahan dan perjanjian perkawinan terkadang dianggap sebagai bentuk kurangnya rasa percaya. Menjalani proses ini dapat menimbulkan ketegangan emosional dalam sebuah hubungan.
- Tidak secara otomatis mengikat secara hukum
Perjanjian perkawinan dapat diberlakukan, terutama jika tetap menguntungkan kedua belah pihak. Namun, pengadilan dapat mengesampingkan perjanjian perkawinan jika dianggap ada alasan ketidakadilan.
- Ketentuan perjanjian mungkin sudah tidak berlaku lagi
Kehidupan terus berubah, tetapi ketentuan perjanjian perkawinan tetap sama. Perjanjian mungkin perlu direvisi untuk mencerminkan perkembangan penting apa pun, seperti kehadiran anak, penyakit, atau perubahan situasi keuangan.
- Mungkin tidak memperhitungkan perubahan masa depan yang tidak terduga
Perjanjian perkawinan mungkin sudah matang saat disusun, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk melihat masa depan. Situasi masa depan yang tidak terduga sulit diatasi oleh perjanjian perkawinan.
- Potensi tekanan dan paksaan
Terkadang dalam suatu hubungan, salah satu pihak memegang kekuasaan dan kekayaan lebih besar daripada pihak lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan salah satu pihak dapat menekan pihak lain untuk membuat kesepakatan yang tidak sepenuhnya mereka sukai. Perjanjian perkawinan kemudian dapat digunakan sebagai sumber kendali dalam hubungan tersebut.
Kesimpulan
Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akibat hukum dari perkawinan mencakup hak dan kewajiban suami istri, dampak terhadap harta benda, serta hubungan antara orang tua dan anak. Dalam hukum Islam, perkawinan memiliki dasar dari Al-Qur'an, Hadis, dan pandangan ulama. Perjanjian perkawinan diakui selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sementara itu, hukum positif Indonesia mengatur perkawinan melalui berbagai regulasi yang mencakup syarat sah, pencatatan, dan pengaturan harta benda dalam perkawinan.
Perjanjian perkawinan, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif, memberikan perlindungan terhadap harta kekayaan dan menetapkan hak serta kewajiban suami istri. Perjanjian ini harus dicatatkan di lembaga resmi agar memiliki kekuatan hukum dan berlaku bagi pihak ketiga. Pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat berujung pada gugatan perceraian atau klaim ganti rugi. Dengan demikian, baik hukum Islam maupun hukum positif memberikan ruang bagi perjanjian perkawinan, menegaskan pentingnya kejelasan hukum dalam mengatur hubungan perkawinan serta perlindungan hak-hak suami istri dan pihak terkait.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI