Dua puluh empat jam di Dusun Gondang adalah sebuah ekstrak waktu yang disarikan dari esensi kehidupan nan hakiki. Pagi 5 Juni, pukul 06.00 WIB, udara dingin menusuk tulang layaknya sembilu, sapaan akrab angin Merbabu yang membelai kulit, membangkitkan spirit.Â
Setelah sesimpel seruput kopi hitam yang pahitnya adalah metafora dari realitas hidup, dan menikmati udara dingin yang membuat paru-paru serasa dicuci, saya menyaksikan sebuah orkestra agraris yang dimulai.Â
Para petani, bagai semut pekerja, sudah bergelut dengan bumi, tangan-tangan mereka cekatan memetik hasil panen, seolah sedang memanen harapan yang tumbuh dari keringat dan doa.Â
Di sisi lain, deretan tanaman holtikultura terbentang hijau, disirami secara alami, oleh embun dan curah hujan di Merbabu dengan penuh kasih, merawat tanaman menandakan betapa tulusnya upaya mereka dalam merawat kehidupan. Sepagi itu, di dusun Gondang, Desa Batur sudah berdenyut, mengukir kisah tentang dedikasi dan kegigihan.
Pukul 12.00 WIB, perjalanan spiritualitas agraris ini bergeser ke Pasar Rakyat di Lapangan Tajur Getasan. Lokasi ini, serupa dengan Gondang, adalah permata di kaki Merbabu, menjadi titik temu antara Salatiga dan Magelang. Â Pasar Rakyat ini bukan tempat transaksi ekonomi, melainkan laboratorium sosial tempat budaya berinteraksi.
Menyaksikan pentas seni di sana adalah sebuah revelasi, di mana setiap gerakan dan nada adalah proyektor narasi lokal yang kaya. Ditambah lagi, angin dari Merbabu yang "aduhai" itu, seolah menjadi pendingin alami yang membuai jiwa, mengajak kita untuk berlama-lama larut dalam atmosfer otentik ini. Ini bukan sekadar pasar, ini adalah parade kehidupan yang dirayakan dengan riang oleh warga di sana.
Ketika sang surya mulai condong ke barat, saya kembali ke homestay di tepian Dusun Gondang. Hamparan tanaman cabai dan terong yang hijau membingkai pandangan, seolah lukisan alam yang menyejukkan hati, mengingatkan pada ketenangan batin yang seringkali tergerus hiruk pikuk kota.Â
Malam mulai merayap, pelan-pelan dan di sinilah kehangatan Gondang yang sejati terkuak. Beberapa masyarakat Gondang, dengan keramahan khas wong Jowo (orang Jawa), mengunjungi rumah panggung kecil yang kini penuh kenangan.Â
Arang dibakar, menghasilkan perapian yang menghangatkan tubuh, bukan hanya secara fisik, melainkan juga secara emosional. Saya menyeduh 4 gelas kopi malam itu, ditemani tembakau khas yang dicampur cengkeh, sebuah elixir lokal yang menambah kenikmatan obrolan.