Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

‘Cinta’ dalam Segigit Coklat

17 Juli 2010   10:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
...cinta atau coklat???... (Google.pic)

[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="...yummmmmy, legitnya sampai ke hati...(Google.pic)"][/caption] Secangkir coklat hangat nan legit adalah teman paling oke saat kita sendirian di rumah terjebak hujan lebat yang belakangan ini datang dan pergi seenak perutnya sendiri tanpa menggubris pergiliran musim. Sensasi rasa nyaman yang timbul setelah mengonsumsi produk olahan coklat membuat kita ingin dan ingin lagi menyantap atau meminumnya. Kenapa bisa begitu? Kandungan senyawa kimia phenylethylamine dalam kadar tertentu pada coklat disinyalir merangsang peningkatan kandungan senyawa sejenis dalam otak manusia yang berhubungan dengan luapan emosi dan perasaan jatuh cinta. Mengonsumsi coklat dalam jumlah tertentu akan menghadirkan perasaan hangat, dicintai atau mencintai. Wah, pantas cewek-cewek di berbagai sudut dunia begitu antusias mengikuti ritual mempersembahkan coklat buatan sendiri pada cowok-cowok yang mereka sukai pada setiap tanggal 14 Februari. Sekarang ini dengan modal ceban, kita sudah bisa mendapat bermacam-macam produk olahan coklat yang dijual bervariasi antara 500 perak sampai 10 ribu. Selain itu berbagai coklat elite yang dibuat khusus oleh dapur-dapur coklat eksklusif dengan bandrol ratusan sampai jutaan rupiah juga ada. Pokoknya selalu tersedia coklat untuk semua kalangan. Tapi awalnya tidak begitu, lho… Nama ilmiah coklat, Theobroma cacao, memiliki arti ‘makanan para dewa’ dam suku Indian Aztec memanfaatkan biji-biji coklat sebagai upeti bagi raja yang disimpan dalam peti-peti khusus lalu ditimbun dalam gudang harta kerajaan. Pada abad ke-18, coklat menorehkan reputasinya di Eropa sebagai minuman aphrosidiac mahal yang hanya beredar di kalangan orang-orang kaya dan para bangsawan. Raja Montezuma selalu menenggaknya sebelum mengencani para selir dan Casanova meyakininya punya khasiat khusus untuk meningkatkan kemampuan seksual. Who knows? Istri raja Perancis Louis XVI yang konon selalu mendapat kiriman rahasia untuk memuaskan kerakusannya akan coklat harus menanggung efek samping dari konsumsi coklat yang berlebihan berupa melahirkan anak kembar sampai tiga kali. Entah benar atau tidak. Yang jelas, saking berharganya si coklat ini, pada tahun 1771 nilai tukar satu pon coklat vanilla setara dengan rata-rata upah mingguan para pekerja pertanian di Eropa. Ck ck ck. Cara mengonsumsi coklat yang semula terbatas hanya dalam bentuk minuman, akhirnya mengalami perkembangan di permulaan abad ke-19. Seorang ahli kimia dari Belanda bernama Conrad van Houten menemukan sebuah proses untuk memindahkan sebagian lemak dalam cairan coklat dan mengeraskannya hingga berbentuk batangan padat yang dapat digigit. Pada tahun 1876, Daniel Peter dari Switzerland menambahkan susu bubuk untuk membuat coklat susu dan lahirlah industri coklat modern. Tapi tentu saja seperti semua hal yang ada di dunia ini, coklat pun memiliki dua sisi. Sisi negatifnya antara lain adalah kandungan kafein dan theobromin dalam coklat disinyalir dapat menimbulkan efek kecanduan pada konsumennya, seperti teh dan kopi. Tentu saja hal ini buru-buru ditepis oleh perusahaan coklat Nestle. Laporan penelitian mereka yang berjudul ‘Chocolate : The Drug of Happiness’ menyebutkan bahwa adanya kafein dalam coklat mungkin dapat menimbulkan gejala-gejala tertentu sebagaimana yang biasa dialami oleh para pecandu kopi, namun kandungan phenylethylamine tidak terbukti menimbulkan efek serupa. Setidaknya begitulah yang diperlihatkan oleh tikus-tikus percobaan di lab… Lantas kenapa banyak perempuan tergila-gila pada coklat? Masih kata Nestle, hal itu karena coklat sering diberfikan pada anak-anak sebagai hadiah untuk menyenangkan hati mereka hingga dalam perkembangannya di usia remaja, mereka mengasosiasikan coklat dengan perasaan senang atau nyaman. Tambah lagi bombardir iklan di berbagai media yang mengaitkan pemberian coklat dengan perasaan gembira, cinta, dan kebahagiaan telah berhasil membuai kaum Hawa tersebut. So, mereka menyebutnya sebagai kecanduan psikologis… Namun tetap harus waspada dalam soal konsumsi coklat ini karena sebuah penelitian menyebutkan 1 di antara 6 orang berisiko mengidap alergi coklat dalam berbagai tingkatan dan menderita sakit kepala berat karenanya. Lakukan tes denyut nadi sebelum dan sesudah makan coklat. Kenaikan lebih dari 84 denyutan per menit merupakan tanda awal reaksi alergi. So, bon appétit. [caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="...cinta atau coklat???... (Google.pic)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun