Setiap pagi, mentari muncul perlahan, menyinari kabut tipis yang masih menggantung di atas permukaan Sungai Batang Merangin. Suara gemuruh arusnya, membelah sunyi desa. Di atas sungai itu, tergantung seutas sling baja yang tipis dan rentan. Di sanalah, empat wanita tangguh berjalan perlahan, seperti "Spiderman", menggantungkan hidupnya di seutas tali demi sampai ke sekolah tempat mereka mengabdi. Mereka bukanlah Spiderman, mereka adalah guru yang merupakan pahlawan pendidikan tanpa tanda jasa. Â Â
Pilunya pendidikan di pelosok ini terjadi di Desa Simpang Limbur Merangin, Kecamatan Pamenang Barat, Kabupaten Merangin, Jambi. Jembatan gantung sepanjang 144 meter yang menjadi penghubung utama antara desa ini dan seberangnya telah rusak parah. Papan lantai jembatan telah jebol sepanjang hampir tiga meter. Yang tersisa hanya sling baja di sisi kiri dan kanan. Tidak ada tempat berpijak yang aman, dan tidak ada pula pegangan kokoh.Â
Namun, justru dengan kondisi itulah, keempat guru wanita dari SDN 117 berjalan perlahan, bergelantungan, dan bertaruh nyawa setiap pagi. Mereka menyeberang bukan karena tidak tahu bahayanya, tapi karena anak-anak di seberang sana menanti mereka dengan penuh harap. Mereka melawan rasa takut dan risiko besar saat melintasi seutas sling baja yang tergantung di atas sungai itu, demi menjalankan kewajiban sebagai seorang guru.Â
Setelah kerusakan jembatan semakin parah dan perahu penyeberangan belum siap digunakan pagi saat itu, mereka tetap melintasinya demi tidak melewatkan satu hari pun proses belajar mengajar. Dengan ransel di punggung dan semangat yang tidak bisa diukur dengan angka, mereka menyisir tali sling seperti sedang menyeberangi batas antara hidup dan mati. Perjuangan yang sangat amat membekas di benak mereka, dengan penuh harap untuk memajukan generasi muda.Â
Tindakan ini bukan sekali dua kali dilakukan. Bahkan sebelumnya, menurut keterangan Kepala Desa Limbur Merangin, Sargawi, kondisi jembatan sudah rusak selama berhari-hari. Upaya perbaikan telah dilakukan menggunakan dana desa. Lantai jembatan bahkan sengaja dibongkar untuk diganti. Namun, pada pagi itu, saat para guru hendak menyeberang, para pekerja dan perahu penyeberangan belum ada di lokasi. Di tengah kondisi tersebut, mereka dihadapkan pada dua pilihan yakni menunggu dan membiarkan siswa terlantar tanpa diadakannya kegiatan pembelajaran, atau mengambil risiko menyeberang. Mereka memilih untuk tetap mengajar.Â
Perjuangan keempat guru ini menjadi bukti nyata bahwa semangat pendidikan di pelosok tidak pernah padam. Meski tanpa sorotan kamera dan tepuk tangan, mereka adalah garda terdepan masa depan bangsa. Mereka tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga simbol harapan, penguat semangat, dan pengingat bahwa masih banyak yang rela berkorban tanpa pamrih.Â
Sebagian besar murid SDN 117 berasal dari Desa Limbur Merangin. Maka, untuk alasan keselamatan siswa, proses belajar dipindahkan sementara ke gedung madrasah di sisi yang lebih aman. Namun, itu berarti para gurulah yang harus berpindah, menyeberang setiap hari. "Kalau anak-anak yang disuruh menyeberang, jelas sangat bahaya. Maka, kami sepakat guru saja yang datang ke sini," ujar Sargawi.Â
Apa yang dilakukan empat guru wanita ini mungkin tak masuk logika orang kota. Namun di balik aksi ekstrem itu, tersembunyi satu hal yang paling murni, yakni dedikasi. Mereka tidak digaji besar, tidak memiliki fasilitas memadai, dan tidak pula mendapat perlindungan layak. Tapi mereka tetap hadir, karena mereka percaya bahwa setiap anak, di manapun tinggalnya, berhak atas pendidikan.Â
Di atas derasnya sungai, para pahlawan itu berjalan bukan karena terpaksa, tapi karena memiliki tanggung jawab yang besar dan juga cinta. Tanggung jawab yang dipikulnya untuk mencerdaskan anak bangsa dan cinta pada profesi, cinta pada anak-anak negeri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI