Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang peran penting sebagai lembaga legistaltif yang menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Salah satu isu krusial ialah mengenai eksistensi DPR yang tidak dapat dibubarkan oleh Presiden maupun lembaga negara lain. Hal ini ditegaskan dalam UUD NRI 1945 dan menjadi bagian dari penguatan sistem presidensial pasca-reformasi. Dikutip dari Buku "Politik Ketatanegara Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945", Huda (2003:165) dimana, maklumat Presiden 23 Juli 2001 jelas akan bertentangan dengan konstitusi, karena prasyarat untuk dapat diberlakukannya keadaan darurat sebagaiman yang diatur dalam UU No.23 Tahun 1959 belum terpenuhi. Maknanya, walaupun UU 1945 memberikan kewenangan terhadap presiden untuk menyatakan keadaan darurat, tetapi pelaksanannya harus benar bisa terukur agar tidak menimbulkan kesan adanya penyelewangan kekuasaan dari presiden. "keadaan darurat jangan hanya menjadi otoritas diri seorang (subjektif) dalam menafsirkannya, tetapi paling tidak harus mendekati senyatanya keadaan dalam masyarakat.
Berdasarkan kajian yang dilaksanakan oleh berbagai kalangan serta fatwa Mahkamah Agung terhadap Maklumat Presiden 23 Juli 2001, menyimpulkan bahwa Maklumat Presiden sangat lemah posisinya dari perspektif yuridis :
- Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bukanlah wewenang presiden. UUD 1945 tidak memberikan wewenang yang sejauh itu kepada presiden.
- Menyelenggarakan pemilihan umum dipercepat menjadi tempo satu tahun, bukanlah wewenang presiden, disebabkan yang bisa menentukna percepatan pemilu adlah MPR, sebagaiman yang pernah terjadi pada periode kepemimpinan Presiden B.J. Habibie tahun 1999.
- Membekukan partai Golongan Karya (Golkar) sambil menunggu keputusan Mahkamah Aguing, dipandang sebagai bentuk intervensi presiden terhadap proses peradilan. Disebabkan, berdasarkan UU No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang boleh membekukan partai adalah Mahkamah Agung setalah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum, sementara kasus Golkar saat Maklmumat dikeluarkan tengah disidangkan oleh Mahkamah Agung.
Konsep trias politica pertama kali dicetuskan oleh Montesquieu (1689--1755), seorang filsuf politik asal Prancis, dalam bukunya L'Esprit des Lois (The Spirit of Laws, 1748). Inti gagasan ini adalah bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya dikuasai oleh satu tangan (monarki absolut), karena akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk mencegah tirani, kekuasaan negara harus dibagi ke dalam beberapa fungsi yang saling mengawasi. Untuk mempermudah memahami, mari kita buat skema dibawah ini :
PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA
Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang utama:
- Kekuasaan Legislatif. Cabang kekuasaan legislatif merupakan bagian dari kekuasaan yang menggambarkan kedaulatan rakyat karena tanggung jawab untuk menetapkan peraturan terletak pada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Dengan kata lain, kekuasaan legislatif menjalankan peran dalam pengaturan. Di samping itu, fungsi legislatif juga meliputi Inisiatif dalam pembuatan undang-undang, Diskusi mengenai rancangan undang-undang, Persetujuan untuk pengesahan rancangan undang-undang, Pemberian persetujuan untuk pengikatan atau ratifikasi terhadap perjanjian internasional serta dokumen hukum yang memiliki kekuatan mengikat lainnya.
- Kekuasaan Eksekutif. Kekuasaan eksekutif merupakan hak untuk menerapkan peraturan perundang-undangan. Bagian dari kekuasaan ini memiliki otoritas tertinggi dalam pengelolaan pemerintahan negara. Kekuasaan ini berhubungan dengan jenis sistem pemerintahan yang dijalankan oleh negara masing-masing. Contohnya, di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial, kekuasaan eksekutif dimiliki oleh presiden yang berfungsi sebagai pemimpin negara serta pemimpin pemerintahan.
- Kekuasaan Yudikatif. Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945 mengatur tentang adanya kekuasaan yang bebas untuk melaksanakan proses peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta lembaga peradilan di bawahnya. Ini termasuk peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, serta oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, secara ringkas, sesuai dengan UUD 1945, kekuasaan yudikatif di Indonesia dipegang oleh Mahkamah Agung, lembaga peradilan yang ada di bawahnya, dan Mahkamah Konstitusi.
Struktur pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan yang lebih jelas dan seimbang antar lembaga negara. Konstitusi hasil amandemen tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan menegaskan semua lembaga negara berada dalam posisi sejajar sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Hal ini dapat dilihat pada struktur dibawah ini :
Â
Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 7C UUD NRI 1945, menyatakan: "Presiden tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat." Rumusan ini merupakan hasil amandemen konstitusi untuk memperkuat mekanisme checks and balances antara legislatif dan eksekutif. Dengan adanya aturan ini, posisi DPR dijamin tetap eksis, sekalipun terjadi konflik politik dengan Presiden. Banyak orang sering bertanya, "Kalau DPR ribut terus dengan pemerintah, apa Presiden bisa membubarkan DPR?" Jawabannya sudah jelas yaitu tidak bisa.
Kenapa begitu? Karena konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sudah mengaturnya. Aturan ini dibuat setelah Reformasi 1998. Sebelumnya, posisi DPR pernah sangat lemah dan mudah dikendalikan oleh Presiden. Supaya hal itu tidak terulang lagi, UUD 1945 diubah, salah satunya dengan menegaskan larangan pembubaran DPR.