Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Setelah Pulih dari Covid-19

3 Januari 2021   16:59 Diperbarui: 4 Januari 2021   06:06 2119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada periode November 2020 hingga 1 Januari 2021, saya melakukan 6 (enam) kali test PCR (Polymerase Chain Reactio). Tiga yang pertama hasilnya negatif. Test yang keempat dan kelima positif. Lalu test PCR keenam kembali negatif. Alhamdulillah.

Cerita dan urusannya pun menjadi panjang serta merepotkan diri sendiri dan orang lain. Sebelum lanjut, mohon maklum jika artikel ini akan relatif panjang. Karena banyak catatan tambahan yang mungkin lebih bermanfaat dibanding plot utamanya.

Test 6 kali dalam 45 harian

Dalam rentang waktu sekitar 45 harian, pada periode November 2020 hingga 1 Januari 2021, saya melakukan 6 (enam) kali test PCR (Polymerase Chain Reactio). Tiga yang pertama alhamdulillah hasilnya negatif. Test yang keempat dan kelima positif. Lalu PCR keenam kembali negatif.

Test pertama: 14 November 2020

Saya melakukan test PCR dan hasilnya negatif, sebagai persyaratan untuk bisa terbang dari Amsterdam ke Jakarta. Di sejumlah Bandara di dunia, termasuk Bandara Schiphol Amsterdam, sebagian besar maskapai memang mensyaratkan semua penumpang harus membawa sertifikat hasil test PCR positif yang saat itu durasi berlakunya 14 hari sebelum terbang. Ada beberapa maskapai yang tidak mensyaratkan sertifikat PCR.

Test kedua: 16 November 2020. 

Saya seharusnya terbang pukul 18.00 CET pada 16 November 2020. Dan kebetulan pada Senin pagi itu, ada test PCR massal di lingkungan kerja, jadi saya ikut saja. Sekaligus ingin mengetes dan mengkonfrontir hasil PCR pertama (14 November 2020). Alhamdulillah, test kedua ini juga negatif. Dengan begitu, saya praktis terbang dari Amsterdam ke Jakarta dengan dua sertifikat PCR yang negatif.

Karena itu, selama perjalanan, saya cukup pede. Di pesawat, posisi duduk penumpang normal. Tak ada kursi yang dikosongkan. Pesawatnya hampir penuh. Termasuk ketika transit di Istanbul sekitar 3,5 jam. Saya beraktivitas normal di Bandara Istanbul.

Test ketiga: 25 November 2020

Karena naik pesawat dari Amsterdam ke Jakarta kurang lebih 15 jam, plus waktu transit, maka setelah tiba di Jakarta, saya melakukan test PCR lagi pada 25 November 2020, untuk memastikan aman dari paparan corona selama perjalanan. Hasilnya juga negatif.

Dengan demikian, perjalanan saya dari Amsterdam pada 16 November sampai tiba di Cengkareng pada 17 November 2020 bisa disimpulkan aman dari paparan corona hingga 25 November 2020.

Saya berada di Jakarta selama 13 hari (17 - 29 November 2020).

Karena PCR test 25 November tersebut masih berlaku, maka sertifikat itu juga yang saya gunakan untuk terbang dari Jakarta ke Amsterdam pada 29 November 2020, pesawat take-off pukul 21.40 WIB. Namun di Bandara Cengkareng, Istanbul dan Amsterdam tidak ada pemeriksaan sertifikat corona.

Dan selama penerbangan dari Cengkareng ke Amsterdam, fisik saya relatif normal dan stabil. Termasuk ketika transit di Istanbul pada 30 November 2020 selama kurang lebih 8 jam, yang saya manfaatkan untuk mengunjungi Masjid Ayasofya. Hari itu, dari Bandara ke kota Istanbul pergi-pulang menggunakan bus (sejenis bus Damri di Bandara Cengkareng).

Selanjutnya, Senin siang menjelang sore pada 30 November 2020, sekitar pukul 15.00 local time Istanbul, saya lanjut terbang dari Istanbul ke Amsterdam selama sekitar 3 (tiga) jam. Pesawat mendarat di Schiphol sekitar pukul 16.00 CET. Setelah urusan prosedural dan bagasi di Bandara, saya tiba di rumah di Den Haag sekitar pukul 19.00 CEST, dengan menggunakan Uber.

Sesuai protokol, setiba di Den Haag, selama periode lima hari (30 November hingga 5 Desember 2020), saya di rumah saja, karantina mandiri. Tidak masuk kantor. Tidak bertemu orang di luar rumah.

Dan selama periode 5 hari itu, beberapa kali memang saya merasakan stamina drop. Tapi kegiatan di rumah, termasuk work from home, tetap berjalan normal.

Test keempat: 05 Desember 2020

Melakoni karantina mandiri di rumah itu cukup membosankan. Maka untuk memastikan terpapar atau tidak oleh corona selama penerbangan Jakarta-Amsterdam, saya test PCR lagi di Den Haag. Harapannya, kalau hasilnya negatif, berarti saya bebas covid. Tapi test keempat inilah yang hasilnya positif.

Pada hari Sabtu itu, 5 Des 2020, saya melakukan test PCR pada pukul 10.15 CEST, dan saya menerima hasilnya via email sekitar pukul 18.00 CET. Begitu membacanya, saya coba untuk tenang. Terlihat satu kata yang membuat miris: positif.

Sekitar 2 jam kemudian, pihak MicrobenLab (lembaga yang memonitor kasus covid secara nasional Belanda) mengontak saya untuk mengkonfirmasi data pridadi: nama, alamat, nomor BSN (semacam nomor NIK di Indonesia), dan menegaskan bahwa saya positif, lalu meminta saya dan seluruh anggota keluarga untuk melakukan karantina mandiri di rumah paling sedikit 7 hari ke depan (sampai 12 Des 2020).

Test PCR kelima, 18 Desember 2020

Setelah berjibaku dan berharap-harap cemas selama 14 harian (5 hingga 18 Des 2020), saya memutuskan untuk melalukan test PCR yang kelima untuk memastikan status covid saya. Dan hasilnya ternyata masih positif. Artinya, saya masih harus melanjutkan karantina mandiri selama dua mingguan lagi.

Lalu pada 22 Desember 2020, saya menerima dua kali telepon dari GGD (Gemeentelijke Gezondheidsdienst), Den Haag, yang merupakan lembaga yang memonitor kasus covid di setiap kota di Belanda: pertama pukul 14.34 CEST selama 30 menit, dan kedua pukul 16.22 selama 15 menit, sebagai berikut:

Telepon pertama:

- Pihak GGD bertanya ulang secara lebih rinci tentang riwayat infeksi covid-19 saya, mulai dari Indonesia, perjalanan dari Jakarta-Istanbul-Amsterdam; kontak langsung selama di Belanda sejak 30 November 2020.

- Menanyakan kondisi kesehatan fisik selama masa karantina; kondisi masing-masing anggota keluarga serumah.

Telepon kedua (dokter epidemiogi di GGD) menyampaikan sebagai berikut:

- Setelah positif selama 13 hari (5 s.d 18 Desember), menurut dokter GGD, periode contiguous (menular) covid-19 saya dinyatakan sudah selesai pada minggu pertama. Meskipun saat ini (hasil test 18 Des 2020) masih positif. Sebab rata-rata kasus positifdi Belanda diarahkan untuk karantina selama satu minggu + 24 jam, dan setelah itu dinyatakan sembuh, selama tidak ada gejala serius, meskipun statusnya masih positif. GGD menegaskan, saya sudah boleh keluar rumah. Tidak perlu karantina lagi.

- Pihak GGD Den Haag menambahkan, seseorang yang terinfeksi covid-19 hanya potensial menularkan virus corona kepada orang lain pada periode satu minggu pertama. Setelah satu minggu, meskipun statusnya masih POSITIF, sudah tidak contiguous (tidak menularkan) lagi kepada orang lain.

* Ketika bertanya apakah saya harus melakukan test PCR untuk memastikan status? Dijawab bahwa tidak perlu lagi melakukan test PCR untuk memastikan status. Sebab kalaupun test PCR lagi, kemungkinan besar hasilnya akan tetap positif untuk jangka waktu selama 8 (delapan) mingguan, terhitung sejak pertama kali mengalami gejala awal. Pihak GGD berargumen bahwa test PCR hanya bisa mengidentifikasi symptom covid-19, tapi tidak bisa memastikan apakah seseorang masih atau tidak contiguous (menularkan) lagi.

Meskipun keterangan pihak GGD Belanda cukup rasional, namun saya memilih tetap melanjutkan karantina mandiri di rumah, minimal selama dua minggu lagi sejak test 18 Desember 2020. Tetap tidak masuk kerja, dan lebih banyak istirahat.

Test PCR keenam, 01 Januari 2021

Setelah melakoni karantina mandiri di rumah selama sekitar satu bulan, sesuatu yang memang sangat membosankan, dan untuk memastikan status, saya kembali melakukan PCR test pada 01 Januari 2021 (hasilnya diterima 03 Januari 2021). Dan alhamdulillah, test PCR yang keenam ini hasilnya negatif, sudah bebas dari paparan virus corona. Senang dan bahagia rasanya.

Mengelola kepanikan

Menjinakkan kepanikkan memang bukan perkara mudah. Sebab begitu dinyatakan positif covid-19, sulit untuk tidak membayangkan lebih dari satu juta orang yang telah meninggal dunia akibat corona.

Dan kepanikan itu justru bisa muncul dari orang sekitar, terutama anggota keluarga inti: istri/suami, anak, kakak-adik dan handai tolang, termasuk para kolega.

Di awal-awal pandemi, dalam berbagai obrolan bersama kawan-kawan, saya sering menyampaikan bahwa pada akhirnya, sebagian besar orang berpotensi terpapar covid-19.

Sebab selama kita berkegiatan di luar rumah, kemungkinan terpapar covid-19 hanya persoalan waktu saja, apalagi setelah muncul varian baru corona virus (B.1.1.7) Keyakinan ini yang saya jadikan acuan untuk coba menjinakkan dan/atau mengelola kepanikan ketika akhirnya saya sendiri dinyatakan positif.

Pasien bergejala ringan

Kalau melihat kasusnya, saya kayaknya termasuk kategori pasien dengan gejala ringan, dalam artian tidak ada gejala serius. Saya sempat demam ringan. Juga batuk-batuk, tapi karena saya termasuk perokok berat, batuk memang menjadi bawaan sepanjang tahun.

Hanya setelah terpapar covid-19, batuk saya memang agak lebih kencang, kering, disertai dahak.

Sebagai catatan, kebetulan juga saya memang tidak memiliki comorbid (penyakit bawaan). Jantung, tekanan darah, kolestrol, ginjal, asam urat, dan gula darah relatif normal secara konstan.

Namun sejak dinyatakan positif covid pada 5 Des 2020, saya merasakan beberapa gejala berikut:

- Tidur tidak bisa pulas lama. Terbangun setiap dua atau tiga jam, karena mengalami sakit kepala berat disertai rongga mulut kering (kayak dehidrasi). Kondisi ini berlangsung selama lima hari pertama (5 hingga 9 Des 2020).

- Dari waktu ke waktu (tidak konstan) merasakan pegal yang cukup parah di bagian paha. Titik pegal itu sesekali pindah ke betis (gejala ini juga berlangsung selama 5 hari pertama).

- Entah kebetulan atau karena covid, saya sempat beberapa kali mengalami sakit gigi, justru pada gigi yang menurut dokter gigi, mestinya tidak sakit lagi, karena sarafnya sudah dimatikan.

- Sempat mengalami penurunan tingkat sensitivitas penciuman (tapi tidak sampai hilang). Jika diilustrasikan dalam skala 1 sampai 10, daya penciuman saya menurun sekitar 3 poin, hanya tersisa 7 (catatan: indera pengecap rasa manis-asam-pahit-asin-pedas, alhamdulillah tetap normal).

- Secara umum, selama satu minggu pertama itu, dalam setiap putaran 24 jam, saya merasakan stamina cukup bagus dari pukul 12.00 sampai sekitar pukul 22.00. Selebihnya agak drop.

Dan semua gejala tersebut relatif sudah berhenti pada Kamis, 11 Desember 2020. Dengan kata lain hanya berlangsung sekitar satu minggu pertama.

Sesak napas

Salah satu gejala yang benar-benar saya antisipasi selama masa karantina adalah kemungkinan sesak napas. Sebab berdasarkan banyak kasus, gejala serius covid-19 yang paling serius adalah mengalami kesulitan bernapas, yang bisa meningkat menjadi gagal napas, dan ujungnya adalah "lewat".

Alhamdulillah, selama masa karantina itu, saya tidak pernah mengalami kesulitan bernapas. Untuk ini, saya membeli Oximeter untuk mengukur kenormalan kadar oxygen di darah, juga alat yang disebut BoostOxygen (semacam tabung mini berisi oxygen). Tapi BoostOxygen itu tidak pernah digunakan.

Langkah antisipasi yang saya lakukan untuk mencegah sesak napas adalah rajin melakukan praktek istinsyaq (salah satu sunnat berwudhu), yakni menampung air di telapak tangan, lalu mengirup air itu ke hidung, sehingga terasa semacam ada hentakan sampai ke ubun-ubun. Tujuannya untuk membersihkan rongga/lubang hidung. Dan setiap kali selesai melakukan praktek istinsyaq, napas memang terasa lebih lega dan plong.

Tracing lokasi terpapar

Saya tidak bisa memastikan kapan dan di mana persisnya saya terpapar covid-19. Namun dari segi rentang waktu, bisa dipastikan terjadi antara tanggal 25 November (sesaat setelah test PCR di Jakarta yang hasilnya negatif) sampai 5 Desember 2020, ketika PCR di Den Haag yang hasilnya positif.

Dengan kata lain, saya terpapar covid terjadi pada rentang waktu sekitar 10 hari: 4 hari di antaranya ketika masih berada di Jakarta (26 hingga 29 November); dua hari perjalanan udara dan transit di Istanbul (29-30 November); dan 4 hari (30 sd 4 Des 2020) berada di Den Haag. Periode 10 hari inilah yang mungkin menjadi waktu terpapar.

Adapun lokasi terpapar bisa di Jakarta; di pesawat Jakarta-Istanbul; Bandara Istanbul saat transit; waktu jalan-jalan ke Ayasofya Istanbul, atau dalam penerbangan dari Istanbul-Amsterdam. Atau bahkan dalam perjalanan darat dari Bandara Schiphol Amsterdam ke rumah di Den Haag yang ditempuh sekitar 45 menit (saya waktu itu menggunakan Uber).

Mendeklarasikan hasil test PCR yang positif

Berdasarkan undang-undang privasi cq rahasia pasien di Belanda (Wet Bescherming Persoonsgegevens/WBP atau Dutch Data Protection Act/ DDPA), saya sebenarnya berhak penuh untuk merahasiakan (tidak memberitahu) siapapun terkait hasil test PCR saya yang positif.

Meskipun demikian, setelah menerima hasil test positif, sebagai kewajiban sosial, saya berinisiatif dan memutuskan memberi tahu beberapa orang, termasuk anggota keluarga inti di Indonesia. Saya merasa berkewajiban mendeklarasikan status positif covid-19 saya, agar orang lain bersikap waspada.

Terkait soal rahasia ini, ada ungkapan Arab yang mengatakan, "sesuatu yang diketahui lebih dari satu orang, sebenarnya bukan rahasia lagi".

Resep jodoh-jodohan

Setelah sejumlah orang mengetahui bahwa saya positif covid-19, saya menerima banyak sekali tawaran resep medis dan herbal untuk proses pemulihan. Saking banyaknya, kalau dilakukan semuanya, perut akan kekenyangan dan terasa begah.

Sebagian resep itu bersifat standar: makan yang bergizi dan buah-buahan; mengkonsumsi suplemen-vitamin; melakukan olahraga ringan secukupnya; istrirahat total sambil terus berupaya memelihara suasana batin/hati.

Ada juga beberap resep herbal: berkumur-minum air lemon plus garam; minum air hangat campur madu. Saya juga sempat mengkonsumsi resep bawang putih cincang yang direbus hingga mendidih dan airnya diminum.

Karantina mandiri dan lika-likunya

Kebijakan nasional di Belanda, semua pasien covid-19 diarahkan melakukan karantina mandiri di tempat domisilinya masing-masing, khususnya pasien kategori OTG. Karena itu, di Belanda tidak ada pemusatan karantina, seperti Wisma Atlit dan beberapa hotel di Jakarta. Hanya pasien yang mengalami gejala serius (misalnya kesulitan bernafas) yang dirujuk ke rumah sakit.

Karena itu, sejak awal saya juga diarahkan untuk karantina mandiri di rumah bersama semua anggota keluarga. Protokol yang berlaku: jika ada satu orang yang positif dalam satu keluarga, maka semua anggota keluarga tersebut juga wajib karantina.

Dan karantina (yang bermakna isolasi) selalu tidak nyaman. Menjadi tahanan rumah, tak boleh kemana-mana. Dan persoalan serius yang berpotensi muncul adalah mekanisme pemenuhan kebutuhan harian selama karantina.

Untunglah di Belanda ada layanan belanja supermarket secara online. Sehingga kebutuhan harian dapat dipesan tanpa merepotkan orang lain. Sesekali juga memesan makanan melalui UberEat (semacam GoFood di Indonesia). Bisa juga order langsung ke restorannya atau melalui portal aplikasi pemesanan kuliner.

Beberapa sahabat dan kolega kerja juga secara tulus menawarkan dan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan harian. Dan untuk hal ini, saya mengucapkan terima kasih tak terhingga.

Selama karantina mandiri, hal paling sulit adalah menjaga jarak di dalam rumah antar sesama anggota keluarga, yang hampir mustahil dilakukan secara maksimal, khususnya jika di rumah hanya ada satu toilet. Sebab itu berarti sharing toilet dengan semua anggota keluarga, dan itu amat rawan menjadi pemicu penyebaran covid-19 antar semua anggota keluarga lainnya.

Saya kebetulan tinggal di rumah berlantai tiga, berhalaman, dengan tiga toilet. Karena itu, protokol jaga jarak di dalam rumah relatif masih bisa dilakukan, meskipun sekali lagi tidak bisa dilakukan secara maksimal. Dengan kata lain, risiko munculnya kluster keluarga tetap tinggi.

Catatan:

Pertama, setiap hasil test PCR hanya dapat menjadi "acuan sesaat" setelah test PCR dilakukan. Jika hasilnya negatif, maka status negatif itu hanya berlaku saat itu. Sebab begitu keluar dari lokasi test, selalu ada kemungkinan terpapar lagi virus corona dalam perjalanan. Kalau asumsi ini yang dijadikan acuan, mestinya test PCR dilakukan non-stop. Tapi sebaiknya memang test PCR dilakukan secara periodik, setiap bulan misalnya.

Kedua, bagi orang yang karena tuntutan pekerjaannya harus melakukan perjalanan (baca: penerbangan) reguler antar kota atau antar negara, test PCR menjadi bagian inti biaya operasional. Dan itu tidak murah. Di Indonesia, biaya test PCR sekitar Rp600 ribu sampai Rp900 ribu. Di Belanda, test PCR di klinik swasta sebesar 150 euros (sekitat Rp2,5 juta).

Seorang kawan di Amerika Serikat mengatakan, test PCR gratis di seluruh negara bagian. Tapi kalau mau test PCR dengan pelayanan khusus, yang hasilnya bisa diperoleh sekitar 3 jam setelah test, bayar 600 USD (sekitar Rp8,5 juta).

Kalau dirata-rata biaya test PCR sekitar Rp1 juta, dan jumlah kasus positif covid secara global, saat artikel ini ditulis, sudah mencapai sekitar 85 juta kasus positif, berarti peredaran duit terkait PCR sudah mencapai lebih dari Rp85 triliun (ini belum termasuk test PCR yang hasilnya negatif, yang jumlahnya mungkin lebih banyak dibanding yang positif).

Ketiga, dari enam kali test PCR itu, saya mencermati ada perbedaan metode usap (swab)-nya. Di semua negara, metode pengambilan sampel memang hanya di dua titik: tenggorokan dan lobang hidung.

Di Belanda, pengambilan sampel di hidung hanya dilakukan di satu lubang hidung (kiri atau kanan), dan menusuknya ke lobang hidung tidak terlalu dalam. Saya test PCR di Jakarta, pengambilan sampelnya di dua lubang hidung sekaligus (kanan dan kiri), ditusuk dalam banget, dan alatnya diputar-putar pula di dalam lubang hidung, sehingga mengakibatkan geli-geli perih dan air mata menetes.

Keempat, tak terhindarkan, melakukan enam kali test PCR dalam rentang waktu sekitar satu setengah bulanan mungkin bisa dikategorikan kombinasi antara waspada-dan-paranoid. Sering sulit membedakan keduanya.

Kelima, secara global, sebagian besar yang melalukan test PCR dan hasilnya positif adalah kategori OTG (Orang Tanpa Gejala). Artinya, jika tak melakukan test PCR sebenarnya santai saja. Begitu test PCR dan hasilnya positif, walaupun kategorinya OTG, urusannya menjadi panjang dan merepotkan.

Keenam, pencegahan selalu lebih baik. Mengindari segala kemungkinan terpapar dengan ketat mengikuti semua protokol kesehatan adalah cara yang jauh lebih aman dibanding terpapar meskipun menjadi pasien OTG.

Ketujuh, saat ini memang sudah ada vaksin. Tapi mendapatkan giliran vaksinasi juga belum dapat diprediksi, karena ada skala prioritas. Selain itu, jumlah ketersediaannya masih terbatas. Saya memperkirakan, virus corona ini masih akan terus mengintai sampai akhir tahun 2021. Dan kapasitas atau jumlah vaksin covid-19 ini mirip dengan jumlah perahu sekoci di kapal yang umumnya tidak pernah cukup untuk menyelamatkan semua penumpang.

Kedelapan, seseorang yang pernah positif covid-19 kemudian pulih, secara medis, umumnya diasumsikan akan memiliki imunitas (kekebalan) alami. Semoga. Namun periode atau durasi waktu imun alami yang diperoleh setelah pulih belum ada kesepakatan di kalangan para ahli.

Sebagai catatan, di Belanda, pada Agustus 2020, tercatat ada empat kasus pasien yang mengalami dua kali terpapar covid-19, dalam rentang waktu satu sampai dua bulanan. Semoga saya tidak mengalaminya lagi.

Kesembilan, setiap pasien covid-19 akan mengalami pengalaman dan gejala yang berbeda-beda. Sebab covid-19 akan "menyerang titik terlemah" pada tubuh setiap pasien. Karena itu, sebenarnya tidak ada resep atau perlakuan tunggal yang seragam terhadap semua pasien. Dan artikel ini hanya menggambarkan satu dari jutaan kasus di dunia yang berhasil pulih kembali.

Kesepuluh, bahwa untuk setiap penyakit yang "belum ada obat"-nya, keterangan dan testimoni seorang pasien atau mantan pasien bisa lebih akurat dan lebih recommended dibanding opini seorang dokter ahli.

Stay healthy! Salam sehat-afiat untuk semua.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 03 Januari 2021M/ 19 Jumadil-ula 1442H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun