Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tsunami Mengantar Korbannya ke Surga

1 Oktober 2018   17:00 Diperbarui: 1 Oktober 2018   17:34 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ratusan jenazah tergeletak kaku, tampilan wajah yang mengesankan berteriak kesakitan atau sesak napas, sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir. Beberapa sudah mulai menyemburkan bau menyengat.

Teronggok berjejer di tanah becek, yang bercampur sisa-sisa air asin tsunami, kumuh dan berantakan oleh tumpukan ragam sampah, sisa-sisa puing reruntuhan rumah kayu, atau serpihan pecahan perahu sampan yang hancur.

Jenazah-jenazah itu dibalut ala kadarnya dengan plastik kotor yang basah, terpal boyak, atau sekedar dedaunan. Mereka berserakan di sepanjang bibir pantai dari Palu ke Donggala. Sungguh membuat miris hati berbatu sekalipun.

Semua prihatin dan sedih. Jutaan ucapan duka dituliskan dan dipertukarkan. Tangisan dan cemas-harap menyeruak dari mereka, yang berhari-hari tak bisa tembus kontak dengan sanak famili atau sahabatnya di wilayah bencana.

Jembatan ambruk. Ratusan bangunan kokoh hancur tak berbentuk, rata dengan tanah. Komplek-komplek perumahan yang tersapu rata, belum bisa ditembus pada hari ketiga paska gempa.

Kapal-kapal terseret dari laut ke darat terbawa arus tsunami  dan begitu tsunami surut kembali ke samudra, kapal-kapal itu melintang di jalan-jalan darat. Mobil-mobil bertengger di atas reruntuhan atau bertindihan dengan mobil lain.

Jalan-jalan akses utama menuju Palu dan Donggala terputus oleh longsoran tanah atau ada bagian jalan yang retak menganga. Tak aman dilewati di dalam kota Palu - Donggala dan sekitarnya, tak satu  jalan pun yang tak retak.

Semua bersepakat, trauma horor tsunami Aceh 2004 kembali terulang, mungkin dalam skala yang lebih kecil, kali ini di tanah suku Kaili. Bencana hanya berlangsung beberapa menit namun menyisakan trauma bertahun-tahun.

Bersedih melihat kesedihan. 

Cemas mengikuti kecemasan. 

Gundah mengamati kegundahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun