Berdasarkan data Kemenlu RI (Juli 2017), jumlah WNI yang pernah atau hampir masuk ke Suriah, kemudian dideportasi ke Indonesia dari Turki (sebagian kecil dari Malaysia dan Singapura) berjumlah 430 orang (rinciannya: 193 di tahun 2015, 60 WNI di tahun 2016, 177 sampai Juli 2017). Dan jumlah itu terus bertambah. Data saya malah sudah mencapai angka 450-an WNI.
Di negara-negara Eropa, media menyebut warganya, yang pernah atau mau masuk Suriah untuk berjihad, lalu kembali ke negara asalnya disebut: returnee (yang kembali atau yang pulang).
Terkait mereka, ada dua pertanyaan kunci yang sulit dijawab: (1) Apakah mereka bisa diterima kembali menjadi warga Indonesia? (2) Ke depan, apakah mereka berpotensi menjadi cikal bakal pelaku teror di Indonesia.
Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab dua pertanyaan itu. Namun beberapa catatan berikut mungkin layak dicermati.
Pertama, hampir bisa dipastikan, ketika mereka meninggalkan Indonesia dengan tujuan bergabung dengan sebuah entitas asing, atau malah sebagian ingin hidup di wilayah yang dikuasai oleh Islamic State (IS) di Suriah atau Irak, sebenarnya mereka telah mentalak negara dan bangsa Indonesia.
Artinya, secara mental loyalitas sudah tidak utuh lagi. Kalau mau dengan bahasa romantis, mereka telah pindah ke lain hati.
Kedua, berdasarkan rekap data yang tersedia, sekitar 70 persen dari 450-an deportan atau returnee itu adalah wanita dan anak-anak. Artinya, hanya 30 persen yang laki-laki dewasa, yang diasumsikan telah atau berpotensi menjadi kombatan IS.
Konon dibanding warga negara lainnya yang datang ke Suriah untuk bergabung dengan IS, hanya WNI yang paling suka memboyong keluarga intinya (istri-anak).
Ketiga, angka 450-an returnee memang sangat kecil jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, kini berjumlah 255 juta jiwa. Tapi angka 450-an orang tidak bisa dianggap enteng. Sebab satu aksi teror saja sudah lebih dari cukup untuk menggegerkan jagat nasional.
Keempat, khusus untuk returnee wanita (ibu-ibu atau putri-putri) memang serba dilema juga, sih. Sebab asumsinya mereka ini hanya ikut suami. Namun, sesungguhnya asumsi bahwa mereka hanya ikut suami juga tidak terlalu valid. Dalam beberapa kasus, keberangkatan satu keluarga justru diprovokasi Sang Istri. Sebagian kasus malah terjadi begini: Sang Istri bersikeras berangkat ke Suriah. Karena suaminya gak berminat, Sang Istri malah meminta cerai. Daripada cerai dan dan mungkin karena sayang anak, Sang Suami pun ikut berangkat. Artinya, Si Istri lebih militan dibanding suaminya.
Kelima, terkait dengan anak-anak, juga mungkin perlu dibedakan antara anak-anak balita dengan anak laki-laki berusia 7 s/d 14 tahun. Sebab berdasarkan berbagai sumber, ISIS di wilayah Raqqa mengadakan pelatihan khusus untuk anak laki-laki usia 7 sd 14 tahun. Dan salah satu kekhawatiran utama terkait IS adalah generasi pelanjutnya.