Bahasa bukan sekadar kumpulan kata yang kita gunakan dalam komunikasi praktis, melainkan cermin yang memantulkan wajah suatu bangsa. Ia berfungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi praktis, tetapi juga sebagai penegas jati diri dan eksistensi bangsa di mata dunia. Kesadaran inilah yang melatarbelakangi lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang diikrarkan dengan lantang melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Sejak saat itu, bahasa Indonesia tidak lagi dipandang sekadar alat formal untuk berkomunikasi, melainkan menjadi nadi yang menyatukan bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Kesadaran kolektif itu tidak berhenti pada ikrar pemuda. Dari waktu ke waktu, berbagai upaya terus dilakukan untuk menjaga agar bahasa Indonesia tetap hidup dan diwariskan lintas generasi. Salah satu langkah strategis ialah menetapkannya sebagai bahasa pengantar di seluruh jenjang pendidikan. Ketentuan ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Artinya, keberadaan bahasa Indonesia tidak hanya dijamin melalui praktik sehari-hari, tetapi juga ditegaskan melalui regulasi negara. Upaya melalui jalur pendidikan dan hukum ini bukan semata memastikan keberlangsungan bahasa di dalam negeri, melainkan juga menjadi fondasi penting bagi pengakuan di tingkat internasional.
Puncak dari ikhtiar panjang itu tercermin pada 20 November 2023, ketika bahasa Indonesia mencatat sejarah baru dengan resmi diakui sebagai bahasa kesepuluh dalam Konferensi Umum UNESCO. Keputusan yang ditetapkan melalui Resolusi 42 C/28 di Paris ini menempatkan bahasa kita sejajar dengan bahasa-bahasa besar dunia, seperti Inggris, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, Rusia, Hindi, Italia, dan Portugis (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2023). Sejak saat itu, bahasa Indonesia dapat digunakan langsung dalam sidang internasional UNESCO, dan dokumen-dokumen penting lembaga tersebut pun dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita. Pengakuan ini jelas bukan sekadar simbol status, melainkan pengukuhan bahwa bahasa Indonesia memiliki daya tawar penting di kancah global.
Namun, pertanyaan yang tidak kalah penting muncul: bagaimana posisi bahasa Indonesia di tanah airnya sendiri? Pengakuan internasional tentu membanggakan, tetapi nilai sejati bahasa ada pada sejauh mana ia dicintai, digunakan, dan dimajukan oleh penuturnya sendiri, khususnya generasi muda.
Setelah bahasa Indonesia mendapatkan sorotan gemerlap pengakuan dunia di dalam negerinya sendiri, justru dihadapkan pada realitas yang perlu kita renungkan bersama. Contohnya di Kalimantan Barat, mayoritas masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan sehari-hari (Haryadi, 2020). Di tengah upaya pelestarian bahasa daerah, hal ini tentu menjadi sinyal positif yang menunjukkan partisipasi aktif masyarakat dalam mempertahankan bahasa ibunya. Akan tetapi, tidak jarang bahasa pergaulan ini justru merangsak masuk ke ruang lingkup yang lebih formal, seperti interaksi guru dan siswa di kelas.
Kondisi tersebut jelas menjadi alarm bagi dunia pendidikan kita, terlebih bagi Guru dan pemangku kebijakan, karena bukan tidak mungkin fenomena ini menjadi tantangan baru dalam pemartabatan bahasa Indonesia, terutama di ruang publik. Oleh karena itu, menanamkan pemahaman terkait kedudukkan bahasa perlu dilakukan sedari dini. Para peserta didik semestinya dibiasakan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan konteks dan fungsinya, karena penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan bukanlah tanpa alasan, tujuannya jelas agar seluruh anak bangsa dari ujung barat hingga ujung timur dapat merasakan napas kebangsaan yang sama.
Apakah Salah Menggunakan Bahasa Daerah di Ruang Kelas?
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 yang menekankan pentingnya bahasa ibu dalam proses pembelajaran. Bahasa daerah sejatinya diperkenankan dan didorong penggunaannya di sekolah, terutama di tahun-tahun awal jenjang pendidikan dasar (SD) sebagai bahasa pengantar. Berdasarkan Pasal 23 ayat (3) jelas tertulis bahwa "bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, atau bentuk lain yang sederajat pada tahun pertama dan kedua untuk mendukung pembelajaran".Â
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar sederajat diperuntukkan bagi sekolah-sekolah yang siswa-siswanya belum menguasai bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan literasi siswa yang belum lancar berbahasa Indonesia. Kebijakan ini juga didukung oleh peraturan lain seperti Permendikbud 37/2018 dan kebijakan Kurikulum Merdeka yang membuka ruang bagi muatan lokal, termasuk bahasa daerah untuk mendukung percepatan transformasi nilai dan demi mencapai generasi unggul.
Ekosistem Pengajaran Bahasa Indonesia yang Masih Lemah di Sekolah
Kualitas ekosistem pengajaran bahasa Indonesia tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan kurikulum, tetapi juga oleh kompetensi guru serta kemampuan siswa dalam menguasai bahasa. Jika salah satu elemen ekosistem ini lemah, maka proses pembelajaran secara keseluruhan akan terganggu. Persoalan mendasar yang dapat diamati secara langsung adalah rendahnya penguasaan bahasa Indonesia, baik di kalangan guru maupun siswa.
Satu di antara tolak ukur penguasaan guru terhadap bahasa nasional adalah skor Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Berdasarkan data peserta UKBI pada laman kemendikbud.go.id, jumlah guru bahasa Indonesia yang tercatat sebagai peserta hanya 9.983, sedangkan jumlah guru di Indonesia pada semester ganjil tahun ajaran 2024/2025 berada di kisaran 3,39 juta orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru belum memiliki sertifikasi tersebut (Kompas.com, 2025).Â