Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Tri Dharma Perguruan Tinggi dan Realisasi Nyata Kehidupan Bangsa

9 Juni 2015   07:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:09 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berbicara mengenai Tri Dharma perguruan tinggi Indonesia, berarti membicarakan tujuan atau visi dari perguruan tinggi Indonesia. Tujuan atau visi yang telah di tetapkan oleh setiap perguruan tinggi tersebut dimaksudkan agar perguruan tinggi dapat melahirkan individu – individu (dalam hal ini adalah mahasiswa) yang memiliki rasa tanggung jawab dan ingin lebih bermanfaat terutama bagi bangsanya. Maka dari itu agar dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik, setiap mahasiswa wajib untuk mengetahui apa saja maupun apa makna yang mendasar dari Tri Dharma perguruan tinggi. Kata Tri Dharma dapat di definisikan sebagai tiga janji. Tri Dharma mencakup Pendidikan, Penelitian dan pengabdian masyarakat.

Hal pertama dalam Tri Dharma adalah pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Karena pendidikan dapat memanusiakan manusia. Sebuah pernyataan yang sarat akan makna. Aspek yang membuat seorang manusia berbeda dengan hewan adalah akalnya. Sedangkan akal seseorang dapat dipertajam dengan pendidikan. Seseorang yang berpendidikan tidak akan tersesat dalam kehidupan, kecuali mereka yang menafsirkan pendidikan tersebut dengan ego dan keserakahannya sendiri.

Hal kedua adalah penelitian. Penelitian merupakan aktivitas terpenting dalam pembelajaran. Baik ketika akan merumuskan sesuatu atau sebagai pendukukng atas suatu hal. Tanpa adanya penelitian, suatu hal akan sulit dibuktikan validitasnya dan tanpa ada validitas seseorang akan sulit percaya akan hal tersebut. Dengan penelitian, seseorang dapat menemukan hal baru atau membuktikan hal yang sudah ada untuk menjawab keresahan atau pertanyaan – pertanyaan yang muncul dalam benak masyarakat.

Hal yang ketiga adalah pengabdian masyarakat. Point terpenting yang sangat luas jika dituangkan kedalam berbagai macam kegiatan sebagai realisasi ide yang dimiliki oleh segenap mahasiswa Indonesia. Pengabdian masyarakat ibarat langkah nyata atau pengamalan atas ilmu atau pendidikan yang diemban mahasiswa ditambah dengan berbagai penelitian yang dilakukan. Sebuah pepatah Arab (Al-Mahfudzot) berbunyi “Al-ilmu bi laa amalin kasyajarin bi laa tsamarin “ yang bermakna bahwa sebuah ilmu tanpa pengamalan bagaikan pohon yang tidak berbuah. Pun dengan pengabdian masyarakat bagi mahasiswa. Mahasiswa yang tidak melakukan pengabdian masyarakat bagaikan mahasiswa yang tidak bermanfaat. Karena ilmu yang diperolehnya selama ini hanya dipendam dan ditujukan hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kita tahu betul bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Berikut merupakan contoh kasus dari pendidikan yang dikutip dari megapolitan.kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi mengatakan, salah satu penyebab terjadinya kriminalitas yang menyeret pelaku anak usia dini dan remaja adalah kekacauan sistem pendidikan di Indonesia. "Sistem pendidikan kita sudah salah. Dari TK (taman kanak-kanak) sampai SD (sekolah dasar) anak-anak disuruh menghafal dan banyak PR (pekerjaan rumah). Memang cerdas mereka. Namun, jika cerdas, sedangkan ajaran moral dan etikanya minim, ya terjadi seperti kekerasan anak SD. Contoh kasus Renggo, tawuran, dan kekerasan seksual," ujar pria yang akrab disapa Kak Seto ini kepada Kompas.com, Senin (12/5/2014). 

Pemerhati anak tersebut menambahkan, pemerintah seyogianya mengembangkan satuan pola materi belajar di sekolah, dengan memberikan porsi 60 persen lebih untuk mengajarkan aspek kecerdasan etika, sementara sisanya adalah logika. "Sekarang, untuk apa anak-anak kita cuma bisa sekadar baca, tulis, dan hitung tetapi sikap kerja sama, menghargai sesama, santun, dan jujur tidak ditanam di diri si anak? Bagaikan mau membangun gedung, tetapi fondasinya tidak kokoh, ya bisa hancur," kata alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Seto memberi contoh, kasus-kasus negatif tersebut terjadi karena minimnya sosok keteladanan bagi anak dalam melakukan suatu tindakan. Oleh karena itu, mereka cenderung meniru hal yang salah dari lingkup eksternal, melalui media televisi, internet, lingkungan, dan sebagainya. Sebelumnya media memberitakan berbagai kasus kriminalitas yang menyeret sebagian besar anak usia dini dan remaja. Di antaranya adalah kasus penganiayaan siswa kelas V SD di Jakarta Timur dan tindakan bunuh diri siswi SMP di Tabanan, Bali. 

Ada pula kasus kekerasan seksual oleh Emon di Sukabumi, Jawa Barat; keterlibatan siswa dalam kekerasan tawuran antar-sekolah; menjamurnya remaja geng motor; jual diri remaja yang biasa disebut "cabe-cabean", dan masih banyak lainnya.”Sekali lagi saya sampaikan, sistem pendidikan harus segera ditata kembali. Dalam hal ini, pemerintah, yaitu kementerian yang berwenang, harus bertanggung jawab," imbuh Seto.

Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi, sistem pendidikan di Indonesia yang masih buruk merupakan pemicu utama terjadinya berbagai penyimpangan pada individu, terutama seluruh objek pendidikan.

Padahal jika dikaji kembali, pendidikan merupakan hal dasar yang paling penting dalam pembentukan karakter maupun dalam membentuk cara berpikir secara ideal dan rasional dilihat dari berbagai prespektif yang ada. Ketika yang salah adalah sistemnya, maka seluruh komponen pendidikan akan dipertanyakan keberhasilannya. Karena sistem merupakan hal utama yang mengatur jalannya konsep – konsep yang dirumuskan bagi objek pendidikan, yaitu murid maupun mahasiswa.

Selain itu, nihilnya kemajuan secara keseluruhan dan rendahnya moral yang dimiliki individu di Indonesia dapat dikatakan akibat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia itu sendiri. Berdasarkan data tahun 2013 dari bps.go.id, presentase Angka Partisipasi Murni (APM) dari SD/ MI sebesar 95,52%, SMP/MTs sebesar 73,73%, SMA/MA sebesar 54,12% sedangkan Perguruan Tinggi (PT) hanya 18,08%. Data – data tersebut menunjukkan trends yang menurun. Maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas warga Indonesia baru dapat menikmati pendidikan SD/MI pada tingkat 95,52%, diluar efektif atau tidaknya pendidikan tersebut.

Padahal anggaran dana untuk pendidikan di Indonesia yang diatur oleh UUD 1945 adalah minimal sebesar 20% dari APBN. Namun sangat kontras dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Sungguh ironi kondisi bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun