Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Kim Ji-young, Born 1982" dan Tiga Wajah Generasi Perempuan

2 Desember 2019   10:48 Diperbarui: 2 Desember 2019   16:30 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: courtesy of Lotte Entertainment

Credit: imdb.com
Credit: imdb.com
Di antara semua momen di dalam film, ada satu adegan yang paling menohok saya. Pada adegan flashback, ibu Ji-young bercerita tentang impiannya menjadi seorang guru, tetapi gagal karena harus mengasuh anak-anaknya. Ji-young kecil ikutan sedih dan malah bilang, oh, jadi ibu gagal jadi guru karena aku?

Sekonyong-konyong, saya jadi teringat ibu saya. Ia gagal melanjutkan pendidikan tinggi karena harus membantu perekonomian keluarga. Ia mengalah dan memberi prioritas pendidikan pada adik laki-lakinya. Saya pernah melihat rapor sekolah ibu, ia memang cukup pintar. Seandainya saja ibu bisa memenuhi impian itu, mungkin ia punya nasib yang jauh lebih baik. Ini juga persis dialami ibu Ji-young di masa mudanya.

Ibu saya juga harus gagal untuk yang kedua kalinya. Seperti Kim Ji-young yang baru menjadi ibu muda, ibu saya harus kehilangan pekerjaan yang cukup menjanjikan karena harus mengurus saya, si anak sulungnya. Mustahil rasanya jika ia bisa bekerja di tempat sedia kala sebab perusahaan lebih memilih pekerja yang usianya relatif muda ketimbang ibu saya yang saat itu sudah semakin menua.

Ibu saya tak mampu melawan bendungan sistem, ditambah tak punya bekal pendidikan tinggi. Sementara tokoh Kim Ji-young pada akhirnya mampu keluar dari tempurung, menjadi seorang ibu yang berbagi tugas mengasuh balita dengan suami sekaligus melanjutkan karier di luar rumah.

Saya juga jadi ingat bagaimana ibu selalu mewanti-wanti saya agar tak melepaskan karier jika suatu saat nanti sudah menikah dan punya anak. Belajar dari hidupnya yang mengalami ketidakadilan, ibu mendidik saya agar menjadi perempuan yang mandiri.

Bagaimana pun, perempuan dari generasi lama selalu berupaya menambal luka yang pernah dideritanya agar kelak tak lagi terjadi pada anak perempuannya. Begitu pula sebaliknya. Bagi Ji-young, saya, dan seluruh perempuan di dunia, ibu dan nenek menjadi sumber refleksi diri tentang apa itu "menjadi" perempuan, apa itu arti menjadi seorang anak, istri, sekaligus ibu.

Entah kenapa, bagi saya ikatan emosional garis matrilineal lebih kuat ketimbang patrilineal. Padahal, secara fisik saya lebih dekat dengan nenek dari pihak ayah karena pernah diasuhnya cukup lama ketimbang nenek pihak ibu yang mengasuh saya dengan waktu relatif singkat.

Saya menduga, mungkin itu karena ibu saya lebih sering menceritakan kehidupan nenek, tentang bagaimana ia menjalani peran sebagai seorang istri dan ibu. Sementara ayah saya tak pernah bercerita tentang orangtuanya dari sisi emosional. Mungkin itu pula yang menjadi alasan kenapa Kim Ji-young merasa lebih dekat dengan neneknya dari pihak ibu.

Saya jadi berpikir, kenapa film Kim Ji-young seolah-olah memandang sinis keluarga dari garis patrilineal? Hampir semua komentar-komentar pedas datangnya dari pihak ayah, terutama ibu mertua.

Saya sempat mengira, bukannya tidak mungkin si ibu mertua punya struggling-nya tersendiri atau punya pengalaman represi karena terlahir menjadi perempuan meskipun pada sisi-sisi tertentu mengamini patriarki? Seandainya di dalam film ibu Ji-young punya menantu perempuan dan merasa karier putra bungsunya terancam, mungkinkah ia akan memaki-maki sang menantu demi membela putranya?

Tapi saya berpikir lagi, Kim Ji-young ingin menyoroti bangun sistem, bukan persona semata-mata. Apa yang membuat ibu menantu jengkel karena Ji-young tak mampu menjadi seorang istri dan ibu yang setia pada aktivitas dapur maupun rumah, adalah sistem dan budaya patriarki itu sendiri. Ibu mertua terlanjur percaya bahwa patriarki menjanjikan hidup yang aman dan terjamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun