Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Wong Cilik dan "Swing Voters"

1 April 2019   19:59 Diperbarui: 1 April 2019   20:35 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto:http://eveline.wordpress.com

Sebetulnya saya bingung ketika mau nulis ini, akan dimasukkan ke dalam kanal politik atau traveling, tapi karena sebagian besar kawan menginginkan agar tulisan ini masuk ke ring politik, bek lah, apa sih yang enggak buat netijen.

Bagi saya, perjalanan menaiki kereta api seperti perjalanan meniti kehidupan, dari di dalam kereta kita disuguhi pemandangan yang menakjubkan di luar sana meskipun hanya hijau nyiur daun melambai atau sepetak sawah tetangga. Mereka seperti bercerita akan kisahnya, entah bahagia atau sekedar putus cinta.

Percayalah, kalian belum sepenuhnya manusia jika belum merasakan namanya naik kereta api. Untuk kereta kelas eksekutif, halah itu biasa, antar penumpang samping-sampingan bagaikan tetangga komplek. Jangankan ngobrol, untuk ngomong permisi mau ke toilet saja kita sungkan. 

Cobalah naik kereta ekonomi. Harganya masih lebih mahal satu pan pizza. Bahkan dulu, ketika kereta api kelas ekonomi belum AC, harganya teramat ekonomis, di bawah 50 ribu.  Tapi sekarang, reformasi Kereta Api semenjak era Jokowi menghasilkan hasil yang memuaskan.

Tapi untuk kereta ekonomi lihat sensasinya. Sensasi apa?

Di kereta kelas ekonomi, sudah lazim bahwa satu tempat duduk ada yang tiga orang, jika berhadapan total 6 orang. Bayangkan begitu guyubnya kereta kelas ekonomi itu. Kita saling merasakan sangitnya keringat satu sama lain, hmm..sangat Indonesia, sangat komunal.

Dan saya, hari itu, disebuah kereta kelas ekonomi bernama Progo, terjepit di antara empat pria dan satu wanita. Kiri saya tampaknya seorang pedagang sayur, berlogat Banyumas, ngapak. Kanan saya kelihatannya seorang buruh pabrik, wajahnya hitam, kurus namun kekar. Depan saya persis, duduk seorang pria tukang souvenir, beliau membawa rentetan gelang hasil karya tuna netra di Jogja. 

Samping kirinya seorang pria berkumis dan bergelang emas, tampaknya dia mandor borong, dan di pojok, duduk seorang gadis (mahasiswi) dengan dandanan seadanya dan gaya khas anak kekiniyan: Wajah menunduk menatap layar ponsel.

"Kang, Kamu jualan apa?" Tanya si pedangan sayur kepada si tukang souvenir, tentu dengan logat ngapak.

"Lha, kamu sendiri gak bisa lihat apa, saya pegang suvenir kang, untuk jualan di Jakarta, ini hasil karya anak-anak saya di Bantul" Jawabnya.

"Suvenir gitu kamu jual berapa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun