Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dari Sukarno, Marhaen, hingga Jokowi

6 Januari 2019   21:36 Diperbarui: 7 Januari 2019   08:21 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: https://www.youtube.com

"Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia"

"Tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!" Ujar seorang pelukis jalanan mengutip pidato Bung Karno saat sidang BPUPKI 1 Juni 1945.

"Saya mengenal Bung Karno lewat lukisan ini, semakin saya melukis, semakin saya mengenal beliau," ujarnya. Baginya Bung Karno adalah inspirasi. Bukan hanya bagi sang pelukis, tapi bagi banyak khalayak, Bung Karno adalah inspirasi sekaligus pelecut semangat.

Bung Karno menambahkan di dalam pidatonya: "Negara Republik Indonesia ini bukan milik satu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik golongan suatu adat-istiadat, tetapi milik kita semua".

Di dalam pidato itu jelas terlihat kemana arah bangsa ini dibentuk di awal, ini sekaligus mematahkan dominasi agama tertentu ketika perumusan Pancasila, dimana saat piagam Jakarta tercantum kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Tidak ada agama tertentu bagi Indonesia. Memang secara demografis Islam adalah mayoritas, tapi cita-cita bangsa ini di awal adalah bagi seluruh rakyat, sama rata, sama rasa. Akhirnya kalimat "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dihilangkan.

Penghilangan kalimat tersebut ternyata menimbulkan efek yang besar, salah satunya adalah pemberontakan DI/TII yang ditunggangi oleh kepentingan para eks tentara KNIL yang sakit hati karena tidak diterima masuk TNI padahal mereka bekas pejuang.

Tapi tindakan tegas diambil, DI/TII dimusnahkan. Artinya, tidak ada kans bagi seseorang atau kelompok yang ingin menguasai atau menonjolkan diri hingga ingin memisahkan diri dari Indonesia. Semangat Bung Karno diterapkan dengan baik oleh TNI.

Era berganti, Bung Karno boleh lengser, tapi semangatnya tidak. PNI, partai kendaraan Bung Karno, yang membawa semangat Marhaen dan demokrasi bertransformasi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Era kapitalisme ala Orde Baru telah membuat bangsa ini terpuruk, budaya korupsi berkembang, yayasan-yayasan yang dibentuk justru berubah menjadi funder bagi perusahaan-perusahaan elit keluarga. PDI yang membawa DNA Sukarno melalui anak wanitanya, Megawati dianggap ancaman. Baik ancaman bisnis maupun ancaman ideologi.

PDI digembosi, segala cara, namun itu tidak mempan. Tragedi 27 Juli 1996 justru semakin membuat nama Megawati melambung, Indonesia butuh reformasi. PDI pun menjadi PDI-P, huruf "P" dibelakang memiliki kepanjangan "Perjuangan", sebagai simbol mengenang perjuangan mereka untuk tetap bertahan melawan tiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun