Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pejabat Marah, Lagi Ngetren ya?

5 Januari 2015   22:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420445762723312183

[caption id="attachment_344969" align="aligncenter" width="600" caption="Marah-marah? (sumber foto : examiner.com)"][/caption]

Sewaktu menyerahkan hasil pekerjaan yang sudah direvisi untuk ke-6 kalinya, klien saya bercerita bahwa dia sempat didamprat oleh bosnya si pemberi project.

“Lho?  Saya sudah mengerjakan sesuai dengan e-mail dan pesan tertulis lainnya,” kilah klien saya ke sang bos.

Masih menurut klien saya, si bos yang belum lama menjabat sebagai Direktur HR itu kemudian ganti memarahi anak buahnya,

“Kamu itu gimana sih?!  Jabatan kamu saya naikin malah… dst dst…” ucap klien saya menirukan kata-kata si bos, “Dan dia marahin anak buahnya di depan saya.”

Saya tercenung sejenak mendengar kata-katanya.

Seorang Direktur HR – yang dalam bayangan saya pasti singkatan dari Human Resources – memarahi anak buahnya di depan orang lain!

Luar biasa! Super sekali!

Seorang HR sudah pasti lebih paham bagaimana me-manage manusia, dan dalam bayangan saya seharusnya Direktur HR itu sangat paham bahwa :

“Tidak pantas memarahi anak buah di depan orang lain, apalagi jika orang lain itu adalah orang luar.”

Mendadak saya teringat masa-masa ketika bekerja di sebuah Production House antara tahun 1994 – 1997.

Bos yang Sangat Ditakuti

Direktur sekaligus pemilik perusahaan tersebut adalah orang yang sangat ditakuti karena dia tak segan mendamprat karyawannya di mana saja, bahkan meski hanya kebetulan berpapasan di koridor kantor.  Beliau juga menolak setiap argumen yang diajukan bawahannya dengan kalimat khas,

“You nggak bisa begitu dong!”

Pokoknya setiap perintahnya harus bisa dilaksanakan.  Titik.

Beliau pernah memarahi karyawatinya – seorang lulusan S2 – dengan kata-kata “goblok!” sehingga yang dimarahi langsung menangis dan resign hari itu juga.

Karena sikapnya itu, siklus keluar-masuk karyawan di perusahaan tersebut berputar terlalu cepat.  Karyawan – apalagi yang satu lantai dengan beliau jarang ada yang bisa tahan bekerja di situ, rata-rata tak sampai setahun.

Terus, kenapa saya bisa sampai 3 tahun di situ?  Itu karena beliau tak pernah memarahi saya, bahkan konon beliau pula yang memerintahkan staf HRD untuk menerima berkas lamaran saya dan mempekerjakan saya sebagai Video Editor (padahal tadinya HRD menawari saya posisi sebagai Office Boy) hehehe…

Manajemen Marah-marah

Jika diperhatikan, belakangan ini para pejabat negara kita juga menunjukkan gaya kepemimpinan seperti mantan bos saya di Production House tersebut.  Marah, marah, dan marah di ruang publik – bahkan sampai terliput (atau diliput) media.

Saya mengistilahkan gaya kepemimpinan tersebut sebagai ‘Manajemen Marah-marah’.  Ketika sebuah sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, selalu harus ada orang yang dikorbankan terlebih dulu (dijadikan sasaran kemarahan) alih-alih mencari gambaran lengkap kesalahan tersebut ataupun melakukan evaluasi.

Dan – sekali lagi – semua dilakukan di depan kamera dan ditonton jutaan rakyat.

Show off?  Entahlah.

Namun yang jelas manajemen seperti itu sukses mempermalukan orang yang dijadikan sasaran.

Dalam buku “Menggugah Mentalitas Profesional & Pengusaha Indonesia” (penerbit Grasindo) disebutkan bahwa :

“Kita maklumi bahwa secara manusiawi ketika anak buah melakukan kesalahan, ada kecenderungan kita ingin memarahinya secara langsung di depan umum.  Bahkan kalau perlu anak buah itu kita permalukan sehingga tidak akan membuat kesalahan seperti itu lagi (semacam shock therapy).”

Sekarang kita baca paragraf berikutnya :

“Sebelum bertindak seperti itu, kita harus berpikir sejenak bahwa tidak seorang pun manusia bersedia dimarahi atau ditegur di depan umum karena hal itu menyangkut harga dirinya sebagai manusia yang akan terasa direndahkan.”

Sudah jelas?

Bayangkan saja bila diri kita yang dimarahi di depan orang lain – apalagi di depan keluarga, bagaimana nilai kita di mata orang lain?  Saya yakin kebanyakan kita akan berkata dalam hati,

“Saya nggak masalah ditegur bahkan dimarahi habis-habisan jika saya memang salah.  Tapi jangan di depan orang lain, apalagi di depan keluarga dong!”

Berikutnya, kita pasti merasa tak memiliki kepercayaan dan harga diri di depan orang yang terlanjur melihat kita dimarahi.  Kita merasa respek orang lain terhadap kita jadi turun.

Saya sendiri pernah emosi ketika ditegur dengan kalimat, “Lu kalo kerja yang profesional dong!” di depan orang lain.  Emosi saya tersulut karena waktu itu saya sedang beristirahat sejenak sekitar jam 3 dini hari setelah bekerja dari jam 5 sore .

Kembali ke topik.

Menurut pandangan saya, seseorang layak menjadi pemimpin karena ia memiliki kemampuan me-manage segala hal, termasuk emosi.  Dunia para profesional pun sepakat untuk mendahulukan otak ketimbang emosi dalam menghadapi sebuah persoalan.  Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu memanusiakan manusia, seseorang yang mampu memperbaiki kesalahan yang diperbuat orang lain dengan tetap menghormati orang tersebut sebagai sesama manusia.

Berat?  Mungkin.

Masih di buku yang sama, harga yang harus dibayar untuk gaya kepemimpinan seperti ini diantaranya :


  1. Mempermalukan anak buah di depan umum,
  2. Menimbulkan sakit hati pada anak buah tersebut, padahal sakit hati yang terpendam bisa menjadi masalah di kemudian hari,
  3. Teman sejawat anak buah yang melihat peristiwa tersebut akan menjadi takut karena jika kelak mereka melakukan kesalahan juga pasti akan diperlakukan seperti itu.  Anak buah yang lain malah jadi takut salah sehingga suasana kerja jadi serba salah,
  4. Citra pemimpin yang memarahi anak buahnya di depan umum juga menjadi buruk karena ia bisa dicap pemarah atau tidak tahu etika.

Kita sudah banyak menyaksikan ‘Manajemen Marah-marah’ ini di tahun 2014 silam, apakah gaya ini masih akan berlanjut di tahun 2015?

“Kasian banget tu anak buah, dimarahi di depan orang luar padahal kesalahannya murni karena si bos yang nggak ngecek laporan kerja si anak buah,” celetuk saya.

“Yaah… sekarang pemimpin yang marah ke anak buahnya memang lagi ngetren Mas,” kata klien saya.

Kami berdua tertawa sambil mengingat satu kalimat bagus dari teman saya :

"Marah itu tidak sama dengan tegas.  Tegas itu tidak berarti harus marah-marah."

Semoga tulisan saya kali ini menginspirasi.  Selamat sore!

Referensi :

Menggugah Mentalitas Profesional & Pengusaha Indonesia
Tulisan ini masuk kategori “Relationship” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun