Mohon tunggu...
Ryan Charlie
Ryan Charlie Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kelimpungan Mengurus Pangan

9 November 2018   17:40 Diperbarui: 9 November 2018   17:47 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Saat bicara swasembada pangan, kebanyakan orang hanya berpikir tentang Beras. Lantas melupakan bahan pangan lain yang angka konsumsinya tak kalah sedikit. Sebutlah, Jagung, Kedelai, dan Daging sapi. Dan kini, gonjang-gonjing urusan pangan negeri kita tengah gaduh membahas beras, usai tempo hari ramai mengupas beras.

Harga tanaman pangan yang menjadi bahan baku utama pakan ternak itu melonjak. Para peternak pusing. Dengan harga sekilo jagung pakan mencapai Rp5.000 lebih, maka peternak mandirilah yang paling merugi.

Sebab mereka harus memberi makan ayam-ayam setiap hari tanpa jeda. Sementara permintaan telur tengah lesu. Otomatis beban produksi yang dikeluarkan lebih besar dibanding hasil penjualan. Kondisi sulit ini pun terus berjalan selama neraca biaya produksi dan penjualan tak seimbang.

Akhirnya afkir dini menjadi pilihan terakhir untuk menekan kerugian. Daripada terus-menerus beli Jagung mahal demi pakan, lebih baik ayam-ayam itu dipotong saja. Kira-kira begitu pikir para peternak mandiri. Mereka frustasi? Boleh dikatakan seperti itu, meski dalam tataran belum ekstrem.

Apa potensi yang bisa disebabkan afkir dini? Harga telur yang naik, sebab kuantitas produksinya berbanding lurus dengan jumlah ayam-ayam produktif. Harga jagung pakan yang tinggi, berujung pada stabilitas harga telur. Ini keniscayaan.

Pemerintah pun diminta turun tangan menangani persoalan ini. Impor jadi pilihan terakhir. Produksi jagung yang diklaim Kementerian Pertanian melimpah, rupanya tak mampu menekan harga. Ini kali kedua masyarakat tertipu klaim surplus, setelah sebelumnya Kementerian Pertanian berkampanye surplus beras tapi harga ternyata melambung.

Kita patut waspada. Ini bukan pertama kalinya pemerintah mendatangkan jagung dari luar negeri. Dan sepertinya harga jagung bakal terus bergejolak di masa mendatang. Hasil produksi jagung pun meragukan. Apakah mampu mencukupi kebutuhan peternak?

Buktinya meskipun telah diklaim surplus hingga kran impor jagung pakan ditutup tahun lalu, para peternak malah mengganti jagung dengan gandum pangan yang harganya lebih mahal. Artinya, kebutuhan jagung bagi peternak tidak pernah terpenuhi.

Langkah pemerintah mengurus pertanian pun tidak kompak. Peraturan yang dibuat tak saling dukung antara hulu dan hilir. Contohnya, batas atas harga jual di pasar ditetapkan dan pedagang diwajibkan mematuhinya. Namun ketersediaan barang tak pernah benar-benar terjamin, produksi berantakan.

Ini bisa kita saksikan saat harga beras medium melonjak awal tahun ini. HET nyatanya tak mampu menekan gelojak harga. Bagaimana pedagang mau menjual sesuai HET bila harga pembelian sudah mahal di tingkat penggilingan?

Jadi tak usah heran bila tahun depan, harga pangan tetap tinggi. Harap diingat, penanaman tanaman pangan bergantung pada musim. Ditambah, fasilitas pasca panen di Indonesia belum memadai secara merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun