Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Majelis Taklim Perlu Diawasi?

27 Januari 2020   09:47 Diperbarui: 27 Januari 2020   09:56 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumen pribadi

Muncul peraturan baru tentang Majelis Taklim, yaitu Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29. Yang berisi setiap Majelis Taklim harus mendaftarkan ke Kementrian Agama melalui KUA. Kemudian setiap satu tahun sekali harus melaporkan kegiatannya ke Kementrian AgamaAnggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ace Hasan TB Ace Hasan Syadzily menilai terlalu berlebihan sebab itu bukan ranah negara. Mengingat, Majelis Taklim merupakan institusi informal dan non-formal yang tidak memerlukan pengaturan negara. Majelis Taklim juga bukan lembaga Pesantren yang layak mengeluarkan sertifikat atau ijasah.

Mengapa seakan pemerintah paranoid terhadap kegiatan masyarakat? padahal  Majelis Taklim adalah kegiatan alamiah di lingkungan masyarakat, terutama yang digerakkan oleh para ibu. Ini adalah wadah yang positif, sudah seharusnya pemerintah mendorong kegiatan ini bahkan memfasilitasi bukan malah menghambat bahkan mengawasi.

Di mana letak bahayanya sehingga perlu ada pengawasan? malah, Majelis Taklim adalah pergerakan solusi yang mampu menghantar kaum wanita menjadi pribadi yang lebih baik, sebab ia menjadi pelaku pencari ilmu. Dalam Islam tugas seorang ibu adalah Ummu wa rabbatul bait. Ibu dan pengatur rumah tangga sekaligus madrasatul ula, sekolah pertama bagi anaknya. Jika ia tak berilmu, bagaimana ia bisa mengerjakan amanahnya dengan sempurna.

Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan ketegangan interaksi antara penguasa dengan rakyat. Padahal ada lebih banyak persoalan yang lebih pantas difokuskan. Dan tentu jika interaksi tak bagus akan menimbulkan persoalan di sisi yang lain. Yang terparah adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penguasa.

Untuk apa disebut negara jika menetapkan kebijakan bak dalam hutan belantara? penguasa hadir bukan sebagai periayah atau pengurus umat, namun malah jadi penggusur kemaslahatan rakyat. Inilah corak kental sekulerisme, yang menjadi landasan diambilnya kebijakan. 

Semua berpijak pada akal manusia, beriman kepada Allah namun enggan beriman kepada SyariatNya. Lebih ironi lagi menabuh genderang perang terhadap rakyat sendiri. Asal berbau Islam, pantas untuk disingkirkan. Saatnya untuk cerdas, memilah dan memberitahukan kepada umat dan penguasa bahwa jika ingin keluar dari keadaan ini hanya satu solusinya, yaitu kembali dalam pengaturan Islam. 

Sebab Islam adalah agama yang sempurna. Tidak hanya mengurusi urusan akidah, namun juga hal yang lain yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Wallahu a' lam bish-showab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun