Mohon tunggu...
Rutmawati Br Aritonang
Rutmawati Br Aritonang Mohon Tunggu... Mahasiswi

Tidak ada kegagalan bagi mereka yang mau belajar dan berusaha tanpa takut terhadap resikonya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Bakar Tongkang : Kearifan Lokal Warga Tionghoa Bagansiapiapi, Provinsi Riau. Lestari Antar Generasi Penuh Makna

28 Mei 2025   23:34 Diperbarui: 28 Mei 2025   23:34 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Festival Bakar Tongkang (Sumber: Pinterest)

Sejarah Bakar Tongkang

Sejarah bakar tongkang di Bagansiapiapi diyakini bermula sejak tahun 1826. Pelaksanaan ritual saat itu masih terbatas pada komunitas tertentu dan belum mendapatkan pengembangan untuk menarik wisatawan. Ritual ini dianggap sebagai simbol kedatangan penduduk dari China yang bermigrasi ke Pulau Sumatera, tepatnya di Bagansiapiapi, Rokan Hilir. Menurut keterangan, mereka bukan berasal langsung dari Tiongkok, melainkan dari masyarakat Tiongkok Selatan yang telah bermigrasi ke Thailand. Menurut sejumlah sumber dan kisah, etnis Tionghoa pindah ke Sumatera karena mereka terusir akibat masalah politik dan konflik yang berlangsung di Thailand. Akan tetapi, sumber dan cerita lain menyatakan bahwa mereka datang untuk mencari rezeki dan kehidupan yang lebih layak akibat kehidupan mereka yang sangat sulit di tanah kelahiran.

Pada awalnya, mereka datang menggunakan tiga kapal tongkang, meskipun tujuan daerahnya belum diketahui secara pasti. Namun, kejelasan mengenai dua kapal lainnya masih belum diketahui. Menurut sumber lain, kedua kapal berlabuh di daratan pulau yang berbeda. Namun, beberapa orang berpendapat bahwa kedua kapal itu tenggelam. Jumlah warga China yang pertama kali tiba di Bagansiapiapi adalah sebanyak 18 orang. Rombongan tersebut dipimpin oleh individu Bernama Ang Mie Kui atau juga dikenal sebagai Ang Nie Kie. Penumpang kapal tersebut semuanya berasal dari keluarga marga Ang. Data dari Museum Tionghoa Rokan Hilir menunjukkan bahwa ada tujuh belas nama lain yang juga berada di kapal, yaitu Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, dan Ang Tjie Tui.

Dalam pelayaran tradisional, kapal sering mengalami guncangan akibat hempasan ombak laut. Kapal tongkang yang mereka naiki bergoyang-goyang di laut lepas tanpa tujuan yang jelas. Selama berhari-hari di laut berombak tinggi di Selat Malaka tanpa kepastian, rombongan yang dipimpin Ang Mie Kui akhirnya mendapatkan petunjuk jalan. Dalam pandangan mereka yang jauh, mereka melihat adanya percik-percik cahaya yang berkedip-kedip. Sumber cahaya kecil tersebut kemungkinan besar berasal dari hewan kunang-kunang yang berperan sebagai penunjuk arah. Setelah itu, kemudi kapal tongkang diarahkan menuju sumber cahaya. Pada akhirnya, Ang Mie Kui dan 17 penumpang kapal berlabuh di sebuah daratan yang kemudian disebut sebagai Bagansiapiapi. Tentu saja, kedatangan warga Tionghoa yang pertama kali ini disertai dengan kebiasaan dan budaya mereka, termasuk kepercayaan tradisional mereka. Mereka meyakini bahwa keberhasilan mereka mencapai daratan Pulau Sumatera berkat restu dan peranan dari dua patung dewa yang mereka bawa di kapal.

Mereka menaruh Dewa Tai Sun Ong Ya di bagian haluan kapal. Sementara itu, Dewa Kie Ong Ya ditempatkan di dalam kapal. Mereka mempercayai kedua dewa sebagai penuntun dan pelindung rombongan, sekaligus sebagai penentu arah hidup mereka di pulau yang baru. Saat mereka sampai di daerah yang baru, kegembiraan pun langsung terpancar. Mereka sepakat untuk tidak kembali ke daerah asal mereka lagi. Mereka akhirnya membakar kapal tongkang yang mereka tumpangi, sebagai lambang tekad dan sumpah mereka untuk memulai babak baru dalam hidup.

Pembakaran kapal tongkang yang mereka tumpangi diyakini sebagai tradisi yang dilakukan secara berulang-ulang.    
Pembakaran tongkang itu sendiri telah menjadi sebuah ritus tahunan yang dilakukan pada tanggal tertentu sesuai penanggalan Tiongkok. Pada awalnya, ritual bakar tongkang ditujukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya, tetapi kini tampaknya bergeser menjadi penghormatan terhadap jasa leluhur pertama yang membuat etnis Tionghoa di Bagansiapi-api berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Folisofi serta Makna Dari Tradisi Bakar Tongkang

Makna dan filosofi yang terkandung dalam Tradisi Bakar Tongkang ini sangat signifikan. Praktik ritual yang satu ini mengandung setidaknya lima makna dan nilai-nilai filosofi yang penting di Indonesia. Melalui Bakar Tongkang, sejumlah pesan moral yang mendasari karakter dan pemahaman etnis Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari disampaikan.

a. Lambang atau Simbol Permulaan Kehidupan Baru    
 
Pada awalnya, tradisi Bakar Tongkang memiliki makna sebagai tanda dimulainya kehidupan baru bagi etnis Tionghoa yang telah berlabuh di muara Sungai Rokan, Bagansiapi-api. Ini menandai awal kehidupan baru mereka, yang berasal dari tanah Fujian di Tiongkok Selatan dan singgah di Thailand, sebelum akhirnya 18 orang dari rombongan kapal tongkang mendarat di Bagansiapi-api ratusan tahun yang lalu. Tentunya, mereka perlu melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang berbeda dari daerah asal mereka untuk menjalani kehidupan baru ini. Mereka menyesuaikan cara hidup mereka dengan kondisi alam yang baru mereka temui. Hidup baru ini menunjukkan bahwa mereka telah meninggalkan masa lalu dan akan menjalani kehidupan yang penuh dengan perubahan. Kehidupan yang baru harus lebih baik dan membawa manfaat bagi generasi mendatang. Pengalaman hidup yang penuh tantangan di daerah asal menjadi pendorong semangat untuk melakukan transformasi dalam perilaku dan pola pikir. Selain itu, memulai kehidupan yang baru selalu berlandaskan pada ungkapan syukur atas karunia hidup dari Sang Pencipta. Hidup baru juga berarti melakukan introspeksi terhadap perilaku dan tindakan buruk lama yang telah dibuang jauh, agar tidak terulang kembali. Maka dari itu, babak baru dalam kehidupan dimulai dengan membuka lembaran yang bersih dan menulis sesuatu yang positif bagi kehidupan.

b. Penghormatan Kepada Para leluhur dan Dewa   
 
Dalam masyarakat Tionghoa, ritual Bakar Tongkang menjadi simbol kekuatan kepercayaan dan identitas budaya mereka.    
Percaya sepenuhnya kepada dewa yang telah membimbing mereka dapat memastikan perjalanan mereka ke negeri baru Bagansiapiapi berakhir dengan selamat. Kepercayaan yang bersifat abstrak secara batiniah diyakini telah membantu mereka mencapai keselamatan hidup di dunia. Kepercayaan akan tuntutan para dewa yang membawa keberuntungan ini terus dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kepercayaan terhadap Dewa Kie Ong Ya secara khusus menegaskan bahwa beliau telah membimbing perjalanan hidup mereka selama ratusan tahun dan tetap dihormati hingga saat ini. Generasi berikutnya dari etnis Tionghoa di Bagansiapiapi secara konsisten melaksanakan ritus Bakar Tongkang sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Masyarakat Tionghoa menyadari bahwa kehidupan mereka sekarang merupakan warisan dari nenek moyang yang harus dihormati secara terus-menerus. Jika bukan karena keberhasilan 18 leluhur yang mendarat di Sumatera dan menamai daerah itu Bagansiapiapi, etnis Tionghoa tidak akan mampu berkembang dan berkembang biak sampai saat ini. Mereka meyakini bahwa penghormatan kepada para leluhur berperan penting dalam menentukan keberhasilan di masa yang akan datang.

c.  Sikap Optimisme dan Kerja Keras    
 
Prinsip hidup yang diwariskan oleh leluhur etnis Tionghoa yang datang ke Bagansiapiapi adalah berjuang dan berkeyakinan. Mereka datang ke Bagansiapiapi untuk pertama kalinya semata-mata karena optimisme bahwa mereka mampu bertahan hidup di atas kapal tongkang setelah melakukan pelayaran tanpa tujuan, hingga akhirnya mereka berlabuh di sana. Dengan tanpa optimisme dan kerja keras, mereka sebagai nenek moyang tidak akan mampu melanjutkan kehidupan di tempat yang baru. Bukti konkret dari usaha mereka bertahan hidup dengan mengelola alam dan sumber daya muncul sejak mereka pertama kali tiba di Bagansiapiapi.

d. Upaya Menjaga dan Melindungi Alam Serta Lingkungan   
 
Semangat pelestarian lingkungan turut diwariskan melalui tradisi Bakar Tongkang. Sebagai wilayah yang baru dikembangkan, Bagansiapiapi awalnya mampu menyediakan bahan kebutuhan hidup yang cukup berlimpah. Dahulu, Bagansiapiapi merupakan penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, julukan tersebut sudah tidak ada lagi saat ini. Sumber kehidupan yang berasal dari persediaan alam tersebut masih terus ada hingga saat ini. Dengan demikian, Bakar Tongkang menjadi simbol pengingat kedatangan leluhur etnis Tionghoa dan juga sebagai langkah untuk menjaga dan melestarikan alam semesta.

e. Perasaan Cinta Terhadap Daerah Rantau    
 

Leluhur etnis Tionghoa secara alami dan tanpa perencanaan datang ke daratan Sumatera dan menamai daerah tersebut Bagansiapiapi. Para leluhur Tionghoa yang tiba telah menjadikan Bagansiapiapi sebagai tanah air kedua mereka. Mereka mengubah kehidupan mereka agar menjadi lebih baru dalam mengelola alam yang tersedia. Kesadaran ini kemudian menuntut mereka untuk mencintai daerah 'rantau' sebagai tempat tinggal yang baru. Tempat rantau tidak semata-mata sebagai tempat berhenti, melainkan sebagai rumah sendiri yang perlu dirawat dan dijaga. Kecintaan terhadap tanah rantau merupakan hal yang esensial agar leluhur etnis Tionghoa dapat bertahan hidup.

Pelaksanaan Ritual Bakar Tongkang

Ritual Bakar Tongkang dilaksanakan dengan melewati sejumlah tahapan perencanaan yang tertata dengan baik. yakni dimulai dari sebagai berikut.

a. Pembuatan Kapal Tongkang


Proses pembuatan kapal tongkang ini memerlukan perencanaan dan pengerjaan yang matang. Pembuatan replika kapal tongkang dilakukan jauh sebelum puncak ritual dilaksanakan. Bahan utama kapal ini adalah kayu, dan bentuknya mirip dengan kapal tongkang yang asli. Panjang kapal mencapai 8,5 meter dan lebarnya 1,7 meter. Sementara bobot kapal mendekati 400 kilogram. Biaya untuk membuat kapal tongkang ini diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Proses perakitan kapal memakan waktu antara 20 hingga 30 hari. Pembuatan kapal tongkang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh individu-individu tertentu yang memiliki sikap dan keterampilan yang baik. Adapun etika yang diterapkan, pembangunan kapal tongkang dimulai dengan melakukan sembahyang khusus kepada Dewa Kie Ong Ya. Tujuannya adalah untuk meminta arahan dan memastikan kelancaran selama proses perakitan kapal hingga puncak acara bakar tongkang. Kelenteng Ing Hok Kiong menjadi tempat pembuatan kapal atau tongkang tersebut. Dari sekian banyak kelenteng di Bagansiapiapi, kelenteng ini adalah yang terbesar dan tertua. Patung asli Dewa Kie Ong Ya yang dibawa saat pendaratan pertama leluhur etnis Tionghoa ke Bagansiapiapi pada abad ke-18 masih tersimpan di dalam kelenteng ini. Pada malam sebelum puncak acara, kesakralan kapal tongkang tersebut semakin dipertahankan. Di bagian depan kapal, terdapat gambar kepala naga yang tertutup kain merah. Simbol kepala naga menunjukkan kedudukan tertinggi dari dewa. 

b. Pengarakan Kapal Tongkang 
 
Setelah proses pembangunan kapal selesai, prosesi pengarakannya akan dilaksanakan menuju tempat khusus di halaman Kelenteng Ing Hok Kiong. Dalam menempatkan kapal tongkang, perlu juga meminta arahan dari dewa. Sebelumnya, replika kapal tongkang telah diarak mengelilingi pusat kota Bagansiapiapi, menarik perhatian banyak pengunjung dan wisatawan. Pada tanggal 16 bulan kelima Imlek, berdasarkan penanggalan lunar, proses pengarakan kapal tongkang menjadi puncak dari acara bakar tongkang. Pengarakan kapal harus dilakukan dengan prosedur yang benar. Kapal tongkang harus tetap terjaga. Orang yang memimpin prosesi ini dikenal sebagai Tang Ki, yang dipercaya telah dirasuki oleh roh dewa. Selama acara berlangsung, Tang Ki sering memperlihatkan aksi menusuk diri yang menyerupai debus. Aksi tersebut melibatkan menusuk mulut atau bagian tubuh lain menggunakan benda tajam dan pedang, tetapi tidak menimbulkan luka pada bagian tubuh yang disasar. Ribuan manusia menyaksikan arak-arakan kapal tongkang yang diangkut oleh puluhan lelaki dewasa. Replika kapal yang bergoyang-goyang di tengah kerumunan orang yang mengikuti upacara membuat tongkang itu tampak seperti sedang mengarungi lautan manusia. Dengan mengikuti arahan dari Tang Ki, posisi penempatan haluan kapal tongkang menjadi jelas. Selama pengarakan kapal berlangsung, biasanya juga diisi dengan pertunjukan barongsai dan berbagai aksi khas oriental, termasuk bunyi-bunyian yang beragam. Pada waktu yang bersamaan, upacara sembahyang kepada dewa di Kelenteng Ing Hok Kiong terus dilaksanakan. Setelah diarak, kapal tongkang pun sampai di titik peletakan yang akan dijadikan lokasi pembakaran. Menurut kepercayaan, titik awal kedatangan kapal leluhur etnis Tionghoa di Bagansiapiapi adalah di tempat peletakan kapal dan lokasi pembakaran. Selanjutnya, bagian samping lambung kapal diisi dengan Kimcoa, kertas berwarna emas yang sering dipakai dalam upacara sembahyang. Kimcoa memenuhi seluruh halaman tempat peletakan kapal tongkang. Kapal tongkang akhirnya berada dalam posisi yang siap untuk dilakukan ritual pembakaran.

Ribuan manusia menyaksikan arak-arakan kapal tongkang yang diangkut oleh puluhan lelaki dewasa. Replika kapal yang bergoyang-goyang di tengah kerumunan orang yang mengikuti upacara membuat tongkang itu tampak seperti sedang mengarungi lautan manusia. Dengan mengikuti arahan dari Tang Ki, posisi penempatan haluan kapal tongkang menjadi jelas. Selama pengarakan kapal berlangsung, biasanya juga diisi dengan pertunjukan barongsai dan berbagai aksi khas oriental, termasuk bunyi-bunyian yang beragam. Pada waktu yang bersamaan, upacara sembahyang kepada dewa di Kelenteng Ing Hok Kiong terus dilaksanakan. Setelah diarak, kapal tongkang pun sampai di titik peletakan yang akan dijadikan lokasi pembakaran. Menurut kepercayaan, titik awal kedatangan kapal leluhur etnis Tionghoa di Bagansiapiapi adalah di tempat peletakan kapal dan lokasi pembakaran. Selanjutnya, bagian samping lambung kapal diisi dengan Kimcoa, kertas berwarna emas yang sering dipakai dalam upacara sembahyang. Kimcoa memenuhi seluruh halaman tempat peletakan kapal tongkang. Kapal tongkang akhirnya berada dalam posisi yang siap untuk dilakukan ritual pembakaran.

c. Proses Pembakaran Kapal Tongkang
 
Ketika kapal tongkang sudah ditempatkan di pusat halaman Kelenteng Ing Hok Kiong, ritual pembakaran kapal tongkang pun segera dilaksanakan. Momen Go Cap Lak, yang merujuk pada waktu pelaksanaan ritual Bakar Tongkang, juga dikenal sebagai pelaksanaan Bakar Tongkang. Go menunjukkan bulan lima dan Cap Lak merujuk pada tanggal enam belas. Setiap tahun, perayaan Go Cap Lak berlangsung pada tanggal 16 bulan kelima lunar. Waktu pelaksanaan ritual Bakar Tongkang umumnya pada pukul 16.00 WIB atau jam empat sore.

d. Posisi Jatuhnya Tiang Kapal Tongkang   
 
Ketika prosesi pembakaran kapal tongkang dilakukan, itu menjadi momen yang selalu ditunggu oleh para pengunjung dan wisatawan. Banyak orang, mencapai ratusan ribu pasang mata, menyaksikan tiang utama kapal tongkang yang dibakar dan akan tumbang. Dalam tradisi yang berkembang, posisi arah jatuh kapal tongkang diyakini sebagai indikator sumber rezeki dan keberuntungan. Jatuhnya tiang ke permukaan bumi diyakini sebagai pertanda bahwa keberuntungan tahun berikutnya akan berfokus pada kegiatan di darat. Sebaliknya, jika menuju ke arah laut, usaha-usaha di bidang perikanan dan kelautan akan mendapatkan keberuntungan. Sejauh ini, sejumlah warga dari etnis Tionghoa masih berpegang teguh pada arah jatuh tiang utama kapal tongkang yang terbakar tersebut. Bahkan, turis mancanegara pun turut hadir menyaksikan acara ini, salah satunya karena ingin melihat ke mana arah jatuhnya tiang kapal tongkang. Mereka menganggap itu sebagai petunjuk dari dewa agar mereka mempersiapkan dan memperkuat usaha yang mereka jalani untuk tahun yang akan datang.

Bakar Tongkang bukan sekadar festival, tapi cerminan kekayaan budaya dan semangat persatuan masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi Provinsi Riau. Tradisi ini adalah warisan leluhur yang mengajarkan kita tentang sejarah, kerja keras, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Jadi, mari kita semua bergandengan tangan untuk terus menjaga dan memeriahkan Bakar Tongkang. Dengan begitu, kita tidak hanya merayakan masa lalu, tetapi juga memastikan bahwa tradisi istimewa ini akan terus hidup dan dikenal oleh generasi mendatang. Yuk, lestarikan Bakar Tongkang!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun