Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siswa Mantan Tinggal-kelas Itu Jadi Juara

23 Juni 2012   07:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:38 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340454912366045528

[caption id="attachment_196518" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Acara penutupan tahun pelajaran 2011-2012 berlangsung hari ini. Dimulai dengan kebaktian singkat, ceramah, sedikit acara ‘bebas’ – hiburan, dan berakhir dengan pembagian rapor. Ketika acara ceramah di barisan, juara umum dan juara setiap kelas dipanggil untuk menerima hadiah berupa buku tulis. Yang paling menarik bagi saya dari seluruh rangkaian acara ini adalah ketika pemanggilan juara satu-dua-tiga ini dari setiap kelas. Ketika tiba giliran kelas 7-4 untuk dipanggil juara kelasnya, keingin-tahuan saya lebih tergerak dibanding kelas lainnya. Juara pertama semester lalu menjadi juara dua, tukar tempat dengan juara kedua-nya. Juara kedua semester lalu jadi juara pertama semester ini. Siapa gerangan juara ketiga-nya? Ternyata juara ketiga semester lalu. Sebut saja namanya Rinal.

Rinal adalah siswa yang di-tinggalkelas-kan tahun yang lalu. Alasan pasti dan detailnya kurang tahu mengapa anak ini sampai tinggal kelas. Ini tahun pertama saya mengajar di sekolah ini. Yang jelas, anak ini bukan siswa yang suka berulah. “Nilainya tidak memenuhi syarat kenaikan kelas”, ujar rekan guru di awal tahun pelajaran yang lalu. Tapi lihat, sekarang dia sudah menjadi juara.

Tentang Ke-juara-an

Terus terang saya tidak menganggap kejuaran sesuatu yang sangat luar biasa. Sangat wow gitu! Tetapi, juga tidak menganggap kejuaran tidak perlu. Kejuaran adalah kompetisi. Dan kompetisi adalah persaingan. Persaingan selalu bertujuan supaya aku lebih unggul. Kemudian setelah menjadi yang terunggul, timbul rasa bangga yang rentan untuk menjadi pongah. Pribadi yang sombong, itulah titik kulminasi atau puncak ekstrim hasil dari persaingan. Kesombongan itu merasuk tanpa disadari. Dan menyenangkan penderitanya, tetapi menyakiti orang disekitarnya. Sialnya, pribadi yang sombong susah ditembus. Karena menganggap dirinyalah yang paling benar. Hampir se-level dengan Tuhan. Menggelikan memang melihat orang sombong. Dia sendiri membuat ukuran dan criteria. Dan dengan seenaknya, mengkotak-kotakkan orang sesuai dengan standar sempit, dangkal sekaligus bodoh. Tak sadar, setiap pribadi yang tampak bagi kita adalah puncak gunung es dari totalitas ke-diri-annya. Selalu saja orang yang kita rasa kenal betul, memperlihatkan sesuatu yang lain. Bahkan kita pun surprised dibuatnya!

Saya tidak mengharapkan anak atau siswa belajar semata-mata hanya demi untuk menyandang juara. Yang saya harapkan dari setiap siswa, berusaha memberikan yang terbaik dari dirinya sendiri. Tak perlu harus juara. Yang penting selalu berusaha untuk belajar dengan baik. Kejuaraan itu menjadi efek sampingan saja. Efek utama adalah anak yang lahir, tumbuh dan berkembang menjadi seorang terpelajar. Siswa berkarakter cerdas, kreatif-inovatif, dan berbudi luhur – rendah hati, peduli, mandiri namun bisa bekerja sama dan berjiwa kepemimpinan – sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan kematangan emosinya. Siswa tak perlu harus suka menjadi juara. Yang perlu, siswa harus suka belajar dan bertujuan menjadi terpelajar. Dan pada akhirnya, mereka toh akan menjadi juara. Juara setiap hari lagi. Juara sesuai dengan jenis kecerdasan dan keunikannya. Juara karena telah ungul dari ego-nya.

Rinal itu Bagaimana?

Di awal tahun ajaran yang telah berakhir ini, saya menemukan Rinal sebagai seorang yang minder. Seiring dengan berjalannya hari, kepercayaan dirinya semakin baik. Karena saya guru fisikanya, saya sangat tahu bagaimana deskripsi dinamika kemajuan belajarnya. Terakhir dia menjadi siswa yang percaya diri dan kemajuan inisiatif lebih dibanding teman sekelasnya dalam proses belajar-mengajar.

Tinggal kelas biasanya menjadi ‘situasi kritis’ bagi siswa. Dengan tinggal kelas, siswa akan lebih berbenah diri dalam belajar. Jika siswa tadi tidak lebih sungguh, biasanya, justru akan menjadi apatis dalam belajar mengajar. Dibutuhkan pengenalan, dorongan dan penguatan dari guru, supaya siswa menjadikan kondisi ini menjadi titik balik ke arah yang lebih baik.

Tinggal kelas juga menjadikan siswa lebih matang. Siswa yang mengalami tinggal kelas lebih memahami arti naik kelas daripada yang tidak. Lebih memahami arti sukses (juga arti gagal) daripada siswa yang mulus-mulus saja kenaikan kelasnya. Tapi bukan berarti, semua siswa ditunda saja kenaikan kelasnya. Maksud saya, tinggal kelas itu bukan sesuatu yang sangat buruk. Meninggal-kelaskan bisa sangat mendidik. Jadi tak perlulah para orang tua bersedih dan kecewa, dan kemudian menghakimi anak tadi. Ini namanya meninggalkan kelasnya berulang-ulang dalam sekali waktu. Kondisi mentalnya justru akan makin tergoncang!

Akh.. mengharukan nian tangis Rinal pagi tadi. Sampai tiga kali kami guru memberikan aplaus kepada anak ini. Aku yakin, Rinal lebih juara ketimbang siswa juara lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun