Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hasil Tabungan Pendidikan Gaya Bank

4 Agustus 2012   02:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:16 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13440665691350244735

[caption id="attachment_204556" align="aligncenter" width="560" caption="admin/ilustrasi (shutterstock)"][/caption]

Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid (atau siswa) hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. … Memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah bendadan gampang diatur – Paulo Freire, 1985, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, hal. 50 + 52

Berdasarkan pengalaman mengajar di beberapa sekolah, lima sekolah {dua SMP negeri, satu SMP swasta di kota, dan dua di desa (satu SMP negeri dan satu lagi SMA negeri, keduanya dengan akreditasi A)}, tampaklah bahwa gaya pendidikan kita sudah terbiasa dengan “gaya bank” dan sudahlah latah dengan konsep pendidikan ini. Pendidik yang punya niat untuk suatu visi pendidikan yang lebih mengakar, mendalam dan meluas akan berhadapan dengan ‘celengan’ yang senantiasa pasif dan menanti datangnya ‘pengisian’ -- tengah berhadapan dengan hasil investasi konsep pendidikan “gaya bank”.

Konsep gaya bank adalah peng-istilah-an oleh pakar pendidikan Paulo Freire pada kegiatan pembelajaran dengan ‘karakteristik’ (dan) skenario: 1. Guru mengajar, murid diajar, 2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa, 3. Guru berpikir, murid dipikirkan. 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan. 5. Guru menentukan peraturan, murid diatur. 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui. 7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya. 8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. 9. Guru mencampur-adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. 10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Ekstrim “Gaya Bank”

Barang kali guru, juga orang tua, tidak dengan sengaja menganggap bahwa anak semacam celengan. Celengan ini harus diisi duit (recehan) -- potongan-potongan informasi --sesegera dan sebanyak mungkin sebagai investasi ‘demi masa depan anak’. Ketika ujian datang maka isi celengan akan dikeluarkan. Makin banyak tabungan, maka hasilnya akan semakin baik.

Anak dikondisikan untuk tertib. Kelas yang hening adalah kondisi kelas terbaik. Tidak perlu banyak tanya. Yang penting, dengarkan ajaran gurumu. Ikuti terus aturan mainnya. Dengar, catat, hafalkan dan jawab pertanyaan-pertanyaan ujian persis seperti kata-kata buku teks.

Wacana-wacana pendidikan mulai strategi pembelajaran kontekstual, pedagogik kritis, metode problem solving atau problem based learning, teori pendidikan konstruktivis, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan karakter sampai pendidikan, tepatnya keterampilan, entrepreneurship di tingkat perguruan tinggi sedang hangat-hangatnya sekarang diwacanakan. Tapi apakah guru-guru (juga dosen) terutama yang sudah ikut diklat serta merta merubah mengubah gaya mendidiknya?

Kebanyakan para pendidik belum sampai ke tahap mendidik sebenarnya. Baru sebatas mengajar. Itu pun mengajarnya hanya dengan metode chalk and talk. Bahkan ada rekan guru menganggap bahwa sekolah itu semacam tempat penitipan anak semata. Berhasil tidaknya seorang anak tidak ditentukan oleh pendidikan. Tapi faktor nasib!

Dengan konsep pendidikan gaya bank, lahirlah generasi pasif, tidak begitu mendambakan perubahan, atau mendambakan juga tetapi begitu sinis-nya sehingga tidak melakukan apa-apa, tidak kreatif,tidak berpikiran terbuka, sempit dan dangkal. Jika masuk ke dalam ekstrim yang lebih buruk, lahirlah pribadi-pribadi yang malas berpikir, picik dan kelewat defensive-offensive apabila asumsi dan keyakinannya terusik. Hampir bisa dipastikan, orang pola pikir jenis terakhir ini adalah hasil investasi dari pendidikan gaya bank. Ajaran guru-nya dogmatis dan sebagaian besar wawasannya hasil indoktrinasi. Pengetahuan, apalagi pengetahuan yang berbau agama, merupakan barang jadi yang turun dari langit tanpa perlu melihat konteks.

Tentunya saya bukan sedang mengusung gagasan pendidikan pembebasan dengan falsafah untuk hidup sebebas-bebasnya. Dan memang pendidikan pembebasan yang lahir dari gagasan Paulo Freire bukan mendambakan kebebasan tidak berbatas. Hanya dengan ada batasanlah kita benar-benar bebas. Aturan atau tata tertib justru akan membuat hidup lebih bebas. Seperti halnya tertib lalu lintas zebra cross membuat kita lebih bebas untuk menyebrang.

Gejala Produk Konsep Gaya Bank

Kelas VII-4 dan VII-5 di SMP tempat saya mengajar adalah kelas yang sangat vakum, sama dengan kelas lainnya. Menjadi tantangan bagaimana membangun komunikasi dua atau multi arah pada kelas ini. Kecuali dua orang, tak ada siswa yang berani untuk bicara mengeluarkan isi pikirannya. Nyaris tidak ada inisiatif untuk memberikan pertanyaan. Padahal pembelajaran sudah dikondisikan sesantai mungkin. Tidak ada tekanan apalagi ancaman. Tak mungkinlah satu kelas siswa ber-kecerdasan intrapersonal, salah satu jenis kecerdasan dan yang juga mempengaruhi gaya belajar (Gardner) . Cara belajar yang cenderung dengan lebih banyak mengamati, dan di dalam pikirannya melakukan aktivitas mental dalam membangun dan menata pengetahuannya.

Saya terkadang heran dengan kondisi psikologis siswa yang cenderung takut-takutan ketika ditanya satu persatu. Keterdiaman dan takut-takutan mereka menyebabkan saya berpikiran bahwa tampaknya mental para siswa ini mengalami ‘ketertindasan’. Tapi apakah yang menindas mental mereka?

Saya tak habis pikir ketika saya bertanya, apa menurut kamu arti “komunikasi”, siswa-siswa SMP ini langsung dengan spontan membolak-balik halaman buku teks-nya. Atau ketika siswa diminta pengertian mereka tentang suatu istilah, terus saja memberikan defenisi dari teks, pengertian-hafalan tanpa ada pemahaman. Mereka belajar secara mekanistis. Mereka salah belajar.

Hal yang hampir sama juga terjadi di kelas X-6 dan XI IPS tempat saya mengajar matematika. (Saya baru mengajar di sini). Kecuali seloroh atau humor, kelas-kelas ini cenderung vakum.Tiba di dalam ruangan kelas, segeralah akan tampak betapa hasrat belajar siswa-siswa ini begitu minimnya. Masih jam pertama, mengambil buku dan meletakkan di atas meja dengan gontai. Ada yang menguap. Kalau saja guru tidak peka dengan kondisi ini, kelas ini tentunya akan menjadi kelas batu dan tak bernyawa, mati.

Siswa ini sudah terpola dengan kegiatan: menunggu, mendengar dengan pasif, dan mencatat oleh karena pengkondisian jenjang pendidikan sebelumnya.

Merubah Pola

Merubah konsep pendidikan gaya bank bukan hal yang gampang. Tak mungkinlah, kebiasaan gaya belajar selama enam tahun di Sekolah Dasar langsung berubah dalam waktu yang singkat, misalnya satu semester ketika sudah duduk di SMP. Apalagilah kalau sudah duduk di bangku SMA atau perguruan tinggi. Kalau pun ada yang mengalami perubahan radikal, adanya mahasiswa-mahasiswa yang memiliki ke-radikal-an berpikir secara konseptual, bepikir secara analitis-sintesis, atau kritis, kebanyakan timbul oleh faktor yang bukan dari ruangan kelas. Tetapi karena intens belajar dalam kelompok diskusi.

Langkah awal, dan bukanlah langkah yang pendek, adalah perubahan persepsi atau paradigm guru. Anak didik dan pendidik tidak terjebak dalam kondisi dikotomis. Realitas yang jadi objek. Siswa dan guru sebagai subjek. Siswa rekan belajar dari guru, guru rekan belajar dari siswa. Lahirlah peran, guru yang me-murid dan murid yang meng-guru. Siapa bilang guru tak perlu belajar dari murid? Justru guru harus lebih banyak belajar dari siswa.

Saya teringat dengan pendapat sastrawan besar kita, Pramoediya Ananta Toer, yang pernah saya baca. Tapi lupa entah baca dimana. Intinya seperti ini: pendidikan kritis sebaiknya diterapkan di keluarga sejak dini. Tak perlu menunggu ketika siswa sudah di bangku sekolah. Kalau tidak salah, katanya, mendidik mereka untuk berpikir kritis ketika di sekolah menengah sudah sangat terlambat.

Akhirnya saya mempertanyakan diri sendiri, seberapa kompeten-kah saya dalam mendidik? Seberapa kuatkah visi pendidikan yang saya tangkap? Seberapa humanis-kah?

Salam Pendidikan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun