Panitis menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tahu benar apa yang terkandung di dalam hati Benteng Surolawe itu. Sehingga karena itu diberanikan dirinya berkata.
"Besok itu belum terjadi. Kita masih dalam keadaan kita sekarang. Apa yang terjadi besok bukanlah suatu kepastian dari sekarang. Kita mendapat wewenang untuk menentukan hari besok. Hari kita sendiri."
"Ya," sahut Mas Hario Dalem "Paman benar. Tetapi apa yang kita lakukan besok pasti berdasarkan pertimbangan tentang hari sekarang dan hari kemarin.Â
Apakah dan siapakah kita sekarang dan kemarin. Dengan dasar itulah kita berbuat untuk besok."
"Ya. Kita sendiri adalah kelanjutan dari masa lampau. Tetapi tidak seharusnya apa yang kita lakukan besok harus senafas dengan apa yang kita lakukan kemarin," sahut Panitis "Dengan demikian maka tidak akan ada perubahan-perubahan di dalam diri manusia.Â
Tetapi perubahan-perubahan itu selalu terjadi. Seorang yang hidup karena pekerjaan yang nista suatu ketika akan dapat menjadi seorang yang alim dan berbudi.Â
Seorang yang baik hati, suatu saat dapat berbuat di luar batas kemanusiaan."
"Seorang pahlawan di medan perang juga suatu ketika bisa memilih untuk tinggal di kandang dan di sudut perapian," potong Mas Hario Dalem.
"Ya, itupun suatu perkembangan yang terjadi didalam diri manusia," sahut Panitis.
Mas Hario Dalem mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri.Â
Ditatapnya padang rumput yang sempit di hadapannya, kemudian di seberang padang rumput itu terdapat sawah-sawah yang tidak pernah ditanami selama kerusuhan terjadi di daerah ini.Â
Para petani yang memilikinya menjadi ketakutan untuk menggarapnya, sebab setiap saat laskar Tuban yang liar sering memerangi mereka.
Bersambung